Merdeka
Belajar Kampus Merdeka dan Roh “Universitas” Budi Widianarko ; Guru Besar UNIKA Soegijapranata, Anggota
Pusat Kajian Pendidikan Tinggi APTIK & Trustee United Board for Christian
Higher Education in Asia |
KOMPAS, 12 Juni 2021
Tergerusnya otonomi dosen
muncul sebagai salah satu isu yang mengemuka dalam Diskusi Asosiasi
Pendidikan Tinggi Katolik (APTIK) yang bertajuk “Merdeka Belajar Kampus
Merdeka (MBKM): Dari Filosofis Hingga Praktis” di Uni- versitas Sanata Darma,
Yogyakarta (7/5/2021). Para dosen sudah bukan
lagi satu-satunya penentu muatan, mutu dan pelaksanaan kurikulum di perguruan
tinggi (PT). Mereka harus merelakan sebagian kekuasaannya diambil alih oleh
para pihak yang berkepentingan terhadap pendidikan tinggi, terutama mereka
yang menguasai dunia kerja, yaitu pemerintah, kalangan dunia usaha dan dunia
industri (DUDI), dan kelompok masyarakat lain. MBKM seolah muncul sebagai
terapi kejut untuk mengembalikan otonomi PT untuk lepas dari rezim pendidikan
tinggi yang kaku akibat saratnya aturan. Pemberian hak kepada mahasiswa untuk
belajar di luar program studinya selama tiga semester, misalnya, dapat
dipandang sebagai prakarsa menjebol sekat dan dinding PT. Asumsi yang dipakai
adalah jika sebelumnya rezim pendidikan tinggi begitu kaku dan tidak lentur
maka kini segenap pelaku utama ditantang untuk menjadi lentur atau adaptif
jika tidak mau terlempar dari sistem. Dengan kata lain, PT sudah harus siap
kehilangan hegemoni akademiknya. Meskipun punya watak
pragmatis dan simplistis, seperti menafikan keragaman akses atas sumber daya
antar PT yang tersebar di Nusantara dan DUDI yang lebih terkonsentrasi di
Pulau Jawa, sangat jelas kebijakan MBKM mengadopsi model PT kolaboratif (collaborative
university). Menurut konsep ini, PT hanya akan dapat bertahan dan terus
relevan jika membuka pintu bagi keterlibatan pemangku kepentingan eksternal
dalam proses akademik. Terlepas model manapun
yang dipilih harus dipastikan bahwa roh “universitas” (Latin) tidak terkoyak,
karena ia adalah saripati (essence) sebuah PT. Birokratis-administratif
vs kolaboratif Charles Heckscher dan
Carlos Martin-Rios (2013) menyindir bahwa modus operandi PT yang sudah
dipraktikkan selama lebih dari seribu tahun harus diubah. Sudah terlalu lama
para aktor utama PT (baca: dosen) mengandalkan asumsi bahwa mereka adalah
profesional yang bekerja dalam suatu dunia yang kompleks dan sarat misteri —
yang tidak dipahami oleh pihak luar, sehingga mereka hanya dapat dinilai oleh
para sejawatnya saja. Dalam ungkapan yang lebih
keras, Piotr Zamojski (2020) menyebut bahwa hanya ada dua kondisi PT saat
ini, mati atau kritis. Disebut kritis, karena PT saat ini berada di bawah
tekanan dan kehilangan nilai serta relevansinya. PT hanya bertahan hidup
dengan segala kerapuhannya. Krisis yang dialami oleh
PT saat ini merupakan imbas dari transformasi dunia yang lebih luas. Nyaris
semua ranah di dunia saat ini semakin dipaksa tunduk pada logika ekonomi. PT
akhirnya dikerdilkan menjadi sekadar lembaga penyedia jasa (service).
Mengikuti logika ini, pendidikan tinggi dalam bidang ilmu apapun adalah
sebuah produk yang khas (distinctive) dan menjadi komoditas dengan nilai
pasar yang yang diharapkan lebih tinggi dari biaya produksinya. Nilai tambah
adalah kata kuncinya. Mengutip Slaughter dan
Leslie (1997), Zamojski lebih lanjut menyebut bahwa yang terjadi adalah
penjajahan pendidikan oleh logika ekonomi yang berkelindan dengan
kapitalisasi pengetahuan serta komersialisasi riset. Kondisi ini memaksa PT
untuk memastikan akuntabilitas dalam proses “produksi”-nya. Untuk itu rezim
pendidikan tinggi kemudian menghadirkan birokratisasi, proseduralisasi dan
juridifikasi (bureaucratisation, proceduralisation, and juridification) atas
kegiatan akademik dalam PT. Penerapan standarisasi
yang berlapis-lapis pada berbagai kegiatan akademik para dosen dan mahasiswa
bertujuan untuk memastikan efektivitas proses akademik yang ada. Pendekatan
ini dikenal sebagai model birokratis-administratif untuk “usaha” (enterprise)
akademik yang menjanjikan perbaikan efisiensi dan daya tanggap
(responsiveness) PT. Model yang berfokus pada efisiensi, konsistensi dan
pengendalian ini terbukti mencekik “leher” PT, karena memunculkan beban
administrasi yang menggunung. Alternatif untuk model
birokratis-administratif adalah model PT kolaboratif. Esensi dari model
kolaboratif ini adalah kerelaan PT membuka pintu dan merendahkan dinding
untuk mengundang segenap pemangku kepentingan, baik internal maupun
eksternal, terlibat dalam penentuan tujuan dan proses akademik. Meskipun
begitu model ini cukup berhasil diterapkan di dunia bisnis. Mungkin atas
dasar itu pulalah gagasan Menteri Nadiem Makarim tentang MBKM bermula. Dalam model kolaboratif,
yang menjadi prinsip utama bukanlah otonomi melainkan saling ketergantungan.
Di satu sisi, pendekatan kolaboratif tampaknya lebih sesuai untuk proses
produksi dan pertukaran ilmu pengetahuan daripada model
birokratis-administratif. Di sisi lain, model
kolaboratif berlawanan dengan dua prinsip tradisional PT, yaitu otonomi
profesional dan pengaturan mandiri (self-governance). Pengambilan keputusan
dalam model kolaboratif melibatkan lebih banyak orang, mewakili berbagai
pemangku kepentingan. Untuk tercapainya konsensus tentu diperlukan lebih banyak
waktu. Sudah bisa dibayangkan
transisi dari model birokratis-administratif ke model kolaboratif tidak akan
berlangsung begitu saja. Tentu ada dinamika yang sedang berlangsung di “dapur
pacu” Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi saat ini – antara penyokong model
birokratis-administratif dan model kolaboratif. Jika dinamika tarik-menarik
antara kedua model ini berlangsung berlarut-larut, maka dunia pendidikan
tinggi akan tersandera. Roh
“universitas” Munculnya dua model,
kolaboratif dan birokratis-administratif, bertumpu pada asumsi bahwa PT telah
di ambang kematian atau setidaknya sulit beradaptasi dengan lingkungannya. Kedua model itu oleh
masing-masing penganjurnya, diyakini mampu menghindarkan pendidikan tinggi
dari keterpurukan. Yang harus dipastikan adalah model manapun yang dipilih
hendaknya tidak mengoyak roh pendidikan tinggi. Roh pendidikan tinggi atau
yang dikenal sebagai “universitas” (Latin) adalah saripati (essence) sebuah
PT. Jangan sampai hanya demi
memastikan kesesuain PT dengan tuntutan pragmatis DUDI kita harus melupakan
roh “universitas”. Saripati sebuah PT adalah universitas magistrorum et
scholarium – komunitas dosen dan mahasiswa. Sebagai sebuah komunitas
pembelajar (community of learners), sejatinya PT terbentuk oleh praksis bukan
oleh struktur kelembagaan. “Universitas”
menggambarkan kegiatan tertentu yang dibuat sekelompok orang dan dijalankan
dengan cara tertentu pula. Komunitas kampus menghidupkan roh “universitas”
setiap kali mereka belajar, mengajar, menyelenggarakan seminar dan
konferensi, praksis yang membentuk saripati sebuah PT. Dalam rumusan lain, roh
“universitas” muncul saat orang berkumpul karena benar-benar tertarik untuk
mempelajari sesuatu yang memikat perhatian mereka, hingga mereka melupakan
status, posisi, peran, kekayaan (Piotr Zamojski, 2020). Roh “universitas”
membawa warga kampus seolah menghilang dari dunia ramai dan mencurahkan
perhatian sepenuhnya pada apa yang menarik untuk dipelajari. Saat roh “universitas”
hadir penuh dalam komunitas kampus maka terwujudlah kesukacitaan belajar (the
joy of learning). Jika semua kampus mampu menciptakan ruang dan suasana yang
memungkinkan segenap dosen dan mahasiswa larut dalam kesukacitaan belajar
maka kebijakan pendidikan tinggi manapun yang dipilih tak terlalu jadi soal. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar