Minggu, 13 Juni 2021

 

Merdeka Belajar Kampus Merdeka dan Roh “Universitas”

Budi Widianarko ;  Guru Besar UNIKA Soegijapranata, Anggota Pusat Kajian Pendidikan Tinggi APTIK & Trustee United Board for Christian Higher Education in Asia

KOMPAS, 12 Juni 2021

 

 

                                                           

Tergerusnya otonomi dosen muncul sebagai salah satu isu yang mengemuka dalam Diskusi Asosiasi Pendidikan Tinggi Katolik (APTIK) yang bertajuk “Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM): Dari Filosofis Hingga Praktis” di Uni- versitas Sanata Darma, Yogyakarta (7/5/2021).

 

Para dosen sudah bukan lagi satu-satunya penentu muatan, mutu dan pelaksanaan kurikulum di perguruan tinggi (PT). Mereka harus merelakan sebagian kekuasaannya diambil alih oleh para pihak yang berkepentingan terhadap pendidikan tinggi, terutama mereka yang menguasai dunia kerja, yaitu pemerintah, kalangan dunia usaha dan dunia industri (DUDI), dan kelompok masyarakat lain.

 

MBKM seolah muncul sebagai terapi kejut untuk mengembalikan otonomi PT untuk lepas dari rezim pendidikan tinggi yang kaku akibat saratnya aturan. Pemberian hak kepada mahasiswa untuk belajar di luar program studinya selama tiga semester, misalnya, dapat dipandang sebagai prakarsa menjebol sekat dan dinding PT. Asumsi yang dipakai adalah jika sebelumnya rezim pendidikan tinggi begitu kaku dan tidak lentur maka kini segenap pelaku utama ditantang untuk menjadi lentur atau adaptif jika tidak mau terlempar dari sistem. Dengan kata lain, PT sudah harus siap kehilangan hegemoni akademiknya.

 

Meskipun punya watak pragmatis dan simplistis, seperti menafikan keragaman akses atas sumber daya antar PT yang tersebar di Nusantara dan DUDI yang lebih terkonsentrasi di Pulau Jawa, sangat jelas kebijakan MBKM mengadopsi model PT kolaboratif (collaborative university). Menurut konsep ini, PT hanya akan dapat bertahan dan terus relevan jika membuka pintu bagi keterlibatan pemangku kepentingan eksternal dalam proses akademik.

 

Terlepas model manapun yang dipilih harus dipastikan bahwa roh “universitas” (Latin) tidak terkoyak, karena ia adalah saripati (essence) sebuah PT.

 

Birokratis-administratif vs kolaboratif

 

Charles Heckscher dan Carlos Martin-Rios (2013) menyindir bahwa modus operandi PT yang sudah dipraktikkan selama lebih dari seribu tahun harus diubah. Sudah terlalu lama para aktor utama PT (baca: dosen) mengandalkan asumsi bahwa mereka adalah profesional yang bekerja dalam suatu dunia yang kompleks dan sarat misteri — yang tidak dipahami oleh pihak luar, sehingga mereka hanya dapat dinilai oleh para sejawatnya saja.

 

Dalam ungkapan yang lebih keras, Piotr Zamojski (2020) menyebut bahwa hanya ada dua kondisi PT saat ini, mati atau kritis. Disebut kritis, karena PT saat ini berada di bawah tekanan dan kehilangan nilai serta relevansinya. PT hanya bertahan hidup dengan segala kerapuhannya.

 

Krisis yang dialami oleh PT saat ini merupakan imbas dari transformasi dunia yang lebih luas. Nyaris semua ranah di dunia saat ini semakin dipaksa tunduk pada logika ekonomi. PT akhirnya dikerdilkan menjadi sekadar lembaga penyedia jasa (service). Mengikuti logika ini, pendidikan tinggi dalam bidang ilmu apapun adalah sebuah produk yang khas (distinctive) dan menjadi komoditas dengan nilai pasar yang yang diharapkan lebih tinggi dari biaya produksinya. Nilai tambah adalah kata kuncinya.

 

Mengutip Slaughter dan Leslie (1997), Zamojski lebih lanjut menyebut bahwa yang terjadi adalah penjajahan pendidikan oleh logika ekonomi yang berkelindan dengan kapitalisasi pengetahuan serta komersialisasi riset. Kondisi ini memaksa PT untuk memastikan akuntabilitas dalam proses “produksi”-nya. Untuk itu rezim pendidikan tinggi kemudian menghadirkan birokratisasi, proseduralisasi dan juridifikasi (bureaucratisation, proceduralisation, and juridification) atas kegiatan akademik dalam PT.

 

Penerapan standarisasi yang berlapis-lapis pada berbagai kegiatan akademik para dosen dan mahasiswa bertujuan untuk memastikan efektivitas proses akademik yang ada. Pendekatan ini dikenal sebagai model birokratis-administratif untuk “usaha” (enterprise) akademik yang menjanjikan perbaikan efisiensi dan daya tanggap (responsiveness) PT. Model yang berfokus pada efisiensi, konsistensi dan pengendalian ini terbukti mencekik “leher” PT, karena memunculkan beban administrasi yang menggunung.

 

Alternatif untuk model birokratis-administratif adalah model PT kolaboratif. Esensi dari model kolaboratif ini adalah kerelaan PT membuka pintu dan merendahkan dinding untuk mengundang segenap pemangku kepentingan, baik internal maupun eksternal, terlibat dalam penentuan tujuan dan proses akademik. Meskipun begitu model ini cukup berhasil diterapkan di dunia bisnis. Mungkin atas dasar itu pulalah gagasan Menteri Nadiem Makarim tentang MBKM bermula.

 

Dalam model kolaboratif, yang menjadi prinsip utama bukanlah otonomi melainkan saling ketergantungan. Di satu sisi, pendekatan kolaboratif tampaknya lebih sesuai untuk proses produksi dan pertukaran ilmu pengetahuan daripada model birokratis-administratif.

 

Di sisi lain, model kolaboratif berlawanan dengan dua prinsip tradisional PT, yaitu otonomi profesional dan pengaturan mandiri (self-governance). Pengambilan keputusan dalam model kolaboratif melibatkan lebih banyak orang, mewakili berbagai pemangku kepentingan. Untuk tercapainya konsensus tentu diperlukan lebih banyak waktu.

 

Sudah bisa dibayangkan transisi dari model birokratis-administratif ke model kolaboratif tidak akan berlangsung begitu saja. Tentu ada dinamika yang sedang berlangsung di “dapur pacu” Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi saat ini – antara penyokong model birokratis-administratif dan model kolaboratif. Jika dinamika tarik-menarik antara kedua model ini berlangsung berlarut-larut, maka dunia pendidikan tinggi akan tersandera.

 

Roh “universitas”

 

Munculnya dua model, kolaboratif dan birokratis-administratif, bertumpu pada asumsi bahwa PT telah di ambang kematian atau setidaknya sulit beradaptasi dengan lingkungannya.

 

Kedua model itu oleh masing-masing penganjurnya, diyakini mampu menghindarkan pendidikan tinggi dari keterpurukan. Yang harus dipastikan adalah model manapun yang dipilih hendaknya tidak mengoyak roh pendidikan tinggi. Roh pendidikan tinggi atau yang dikenal sebagai “universitas” (Latin) adalah saripati (essence) sebuah PT.

 

Jangan sampai hanya demi memastikan kesesuain PT dengan tuntutan pragmatis DUDI kita harus melupakan roh “universitas”. Saripati sebuah PT adalah universitas magistrorum et scholarium – komunitas dosen dan mahasiswa. Sebagai sebuah komunitas pembelajar (community of learners), sejatinya PT terbentuk oleh praksis bukan oleh struktur kelembagaan.

 

“Universitas” menggambarkan kegiatan tertentu yang dibuat sekelompok orang dan dijalankan dengan cara tertentu pula. Komunitas kampus menghidupkan roh “universitas” setiap kali mereka belajar, mengajar, menyelenggarakan seminar dan konferensi, praksis yang membentuk saripati sebuah PT.

 

Dalam rumusan lain, roh “universitas” muncul saat orang berkumpul karena benar-benar tertarik untuk mempelajari sesuatu yang memikat perhatian mereka, hingga mereka melupakan status, posisi, peran, kekayaan (Piotr Zamojski, 2020). Roh “universitas” membawa warga kampus seolah menghilang dari dunia ramai dan mencurahkan perhatian sepenuhnya pada apa yang menarik untuk dipelajari.

 

Saat roh “universitas” hadir penuh dalam komunitas kampus maka terwujudlah kesukacitaan belajar (the joy of learning). Jika semua kampus mampu menciptakan ruang dan suasana yang memungkinkan segenap dosen dan mahasiswa larut dalam kesukacitaan belajar maka kebijakan pendidikan tinggi manapun yang dipilih tak terlalu jadi soal. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar