Model
Koalisi 2024 Djayadi Hanan ; Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina;
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) |
KOMPAS, 19 Juni 2021
Sejak Pemilu 2004 hingga
Pemilu 2019, koalisi pemilihan presiden (KPP) atau presidential election
coalition di Indonesia terbentuk
dengan satu pola: calon presidennya dicari dahulu, baru ditentukan
koalisinya. Jarak ideologis dan
program antar partai (kecuali isu agama) memang cenderung cair, sehingga
pengikat antar partai untuk berkoalisi yang lebih kuat adalah figur calon
presidennya. Selain itu, kepemilikan suara tiap partai juga cenderung
terfragmentasi (tidak ada partai dengan suara dominan), sehingga perlu dicari
tokoh lintas partai yang bisa menjadi ikatan koalisi. Pemilu 2019 yang
dilaksanakan secara serentak (concurrent) sebetulnya memberi kesempatan untuk
terbentuknya koalisi partai dengan pola kedua: partai-partai membentuk
koalisi dahulu, baru calon presidennya ditentukan kemudian. Namun karena ada
figur dominan calon presiden (Jokowi Widodo dan Prabowo Subianto), maka
koalisi 2019 lebih mencerminkan pola pertama. Partai-partai berkumpul atas
dasar ikatan mereka dengan calon presiden. Berbeda dengan 2019,
Pemilu 2024 ditandai oleh dua hal. Pertama, tidak ada petahana untuk pilpres.
Kedua, hasil riset opini publik berbagai lembaga yang kredibel menunjukkan
kemungkinan pilpres yang kompetitif. Sampai Juni 2021 belum terlihat bakal
calon yang dominan. Bahkan belum ada bakal calon yang memiliki elektabilitas
30 persen atau lebih dalam simulasi semi terbuka atau banyak nama dalam
berbagai survei tersebut. Jadi belum ada nama bakal calon presiden yang bisa
menjadi pengikat lintas partai hingga saat ini. Di sisi lain,
partai-partai, terutama yang ada di DPR, sudah bisa membentuk koalisi
berdasarkan persentase suara atau kursi yang mereka miliki. Maka, pembentukan
koalisi sangat mungkin juga menggunakan pola kedua tersebut. Tiga
model koalisi Karena dua pola
pembentukan koalisi itu mungkin terjadi di Pemilu 2024, maka bisa terjadi
tiga model koalisi. Model-model yang akan saya bahas berikut adalah contoh
penerapan yang mungkin dari dua pola itu. Tentu saja kita bisa membuat model
penerapan yang lain. Model pertama, partai-partai sudah punya persyaratan
sekaligus calon presiden dan wakil presidennya. Model ini tampaknya sedang
diusahakan PDI Perjuangan (PDI-P) dan Gerindra. Dari segi persyaratan,
kedua partai ini menguasai total 206 kursi DPR (35,8 persen). Keduanya juga
punya alasan historis dan kedekatan personal-organisasi untuk membentuk
koalisi. Megawati dan Prabowo pernah maju sebagai pasangan capres-cawapres
(2009), keduanya juga dekat secara pribadi, dan ada sejarah "Perjanjian
Batu Tulis" yang mendekatkan mereka. Bakal capres dan cawapresnya juga
sudah ada, Prabowo dan Puan Maharani. Namun, mengingat elektabilitas Prabowo
hingga saat ini masih belum dominan meskipun cenderung unggul,
keberlangsungan terbentuknya koalisi ini masih akan tergantung dinamika
elektabilitas tersebut. Model kedua adalah
sejumlah partai membuat kesepakatan berkoalisi lalu secara bersama mencari
capres-cawapres. Bila koalisi PDI-P dan Gerindra terbentuk, secara matematis
masih mungkin terbentuk tiga koalisi lagi (misalnya Golkar-PAN, PKB-Nasdem,
dan Partai Demokrat (PD)-PKS-PPP). Tentu saja kemungkinan matematis ini
secara politik tak mudah terwujud. Yang lebih logis secara
politik, partai-partai di luar PDI-P dan Gerindra bisa membentuk dua koalisi
lagi. Membentuk koalisi bisa karena relatif saling berdekatan (seperti PDI-P
dan Gerindra), bisa juga karena sama-sama relatif berjauhan dengan potensi
lawan. Misalnya, dari tujuh partai ini, ada tiga partai yang tidak pernah
berkoalisi dengan PDI-P dalam pilpres sejak 2004 yaitu PAN, PD, dan PKS. Maka
bisa saja ini terjadi lagi di 2024. PDI-P sudah memberikan sinyal bahwa sulit
baginya untuk berkoalisi dengan PD dan PKS. PD memang sejak dulu punya
halangan untuk lebih dekat dengan PDI-P, antara lain karena hubungan Susilo
Bambang Yudhoyono-Megawati yang kurang baik. PKS memang cenderung punya jarak
paling jauh dengan PDI-P dalam soal-soal menyangkut hubungan Islam dan
negara. Maka mungkin saja koalisi PAN-PD-PKS terbentuk. Selain kesamaan
sejarah, ketiga partai ini juga belum punya calon sendiri. Ada Agus Harimurti
Yudhoyono (AHY) dari PD, tapi untuk sementara elektabilitasnya masih belum
kompetitif sebagai capres. Empat partai lagi, Golkar,
PKB, Nasdem, dan PPP, tidak punya halangan yang berarti untuk membentuk
koalisi satu lagi. Keempatnya juga belum punya capres sendiri meskipun ada
aspirasi di Golkar dan PKB untuk memprioritaskan ketua umum masing-masing.
Jadi tidak ada halangan dari mereka untuk bersama-sama mencari
capres-cawapres. Tentu saja, seperti partai
lainnya, keempatnya punya pilihan lain, misalnya bergabung dengan
PDI-P-Gerindra, atau dengan poros PAN-PD-PKS, atau pilihan-pilihan lainnya.
Keempat partai ini tidak punya halangan untuk bergabung dengan poros
PAN-PD-PKS. Bergabung dengan PDI-P-Gerindra juga tak ada halangan berarti,
kecuali Nasdem. Ketua umum Nasdem mungkin agak sulit berkoalisi dengan
Gerindra mengingat rivalitas dengan Prabowo sejak mereka sama-sama di Golkar
dulu. Model ketiga koalisi
adalah seperti pilpres sebelumnya, sejak 2004. Partai-partai membangun
silaturahmi politik seluas-luasnya baik antar partai maupun dengan figur
potensial capres-cawapres sambil menunggu perkembangan elektabilitas mereka.
Ketika dinamika elektabilitas sudah mulai mengerucut ke dua atau tiga nama,
partai-partai mulai akan mengerucutkan pilihan koalisinya berdasar
pilihan-pilihan atas nama-nama potensial itu. Koalisi model pertama dan
kedua, akan lebih banyak mengurangi ketidakpastian dan bisa membuat partai
dan capres-cawapres lebih fokus bekerja. Koalisi model kedua dan ketiga
memerlukan lebih banyak waktu untuk terbentuk. Tingkat ketidakpastian di
model ketiga adalah yang paling tinggi, sangat mungkin terjadi saling salip
di jalan dan saling sikut di tikungan. Pilihan tentu saja
terpulang semua ke partai, karena pilpres di Indonesia, terutama pencalonan,
sangat bergantung pada partai. Konstitusi tidak memungkinkan adanya calon
independen. Konvensi
bersama Yang menarik, bila
partai-partai memutuskan membentuk koalisi terlebih dahulu (pola kedua),
bagaimanakah cara mereka menentukan capres-cawapres. Pasti banyak pilihan.
Tapi salah satu pilihan yang menarik dan baik adalah melakukan konvensi
bersama. Pilihan teknis untuk
pelaksanaannya juga banyak. Konvensi bisa dilakukan secara terbuka dengan
memberi kesempatan semua figur/pihak baik dari partai maupun bukan untuk ikut
berkompetisi. Bisa juga semi terbuka dengan memberi kesempatan pada kader
partai dan figur-figur yang secara khusus diundang oleh koalisi partai untuk
ikut konvensi. Pilihan lainnya dilakukan
secara tertutup hanya diikuti oleh kader-kader partai dalam koalisi. Intinya
ada banyak pilihan, termasuk siapa yang punya hak suara dalam proses
konvensi. Ada banyak keuntungan dari
melakukan konvensi secara bersama. Pertama, karena sudah jelas koalisi
partainya, maka ada kepastian tentang nasib pemenang konvensi bahwa mereka
akan dicalonkan nanti. Konvensi yang sudah dilaksanakan dalam beberapa kali
pilpres lalu memiliki masalah dari segi kepastian ini. Pemenang konvensi
belum tentu jadi calon sebab masih tergantung proses pembentukan koalisi
partai. Kedua, konvensi bersama
berarti juga koordinasi antar partai anggota koalisi, sampai tingkat akar
rumput. Ini bukan saja akan membantu konsolidasi masing-masing partai
menjelang pemilu, tapi juga membuat anggota koalisi bisa melihat berbagai
strategi bersama yang mungkin dalam mengikuti pemilu legislatif. Ini penting
karena pilpres dan legislatif dilaksanakan serentak. Koordinasi dan strategi
bersama diperlukan agar efek ekor jas (coattail effect) dapat membantu semua
partai anggota koalisi. Analisis yang kami lakukan terhadap Pemilu 2019 lalu
menunjukkan bahwa hanya tiga partai di koalisi Jokowi-Amin yang memperoleh
efek positif dari ekor jas yaitu PDI-P, PKB, dan Nasdem. Partai anggota koalisi
lainnya tidak memperoleh efek positif secara signifikan. Bahkan dua partai
(PPP dan PBB) memperoleh efek negatif ekor jas. Koordinasi dan strategi
bersama dalam pemilu legislatif di antara anggota koalisi dapat membantu agar
efek ekor jas lebih merata dampak positifnya. Ketiga, konvensi bersama
bisa menjadi medium atau cara yang baik untuk mengomunikasikan proses yang
dilakukan partai dalam penentuan calon pemimpin nasional kepada masyarakat.
Bila dilakukan secara terbuka, konvensi juga memberi kesempatan bagi aspirasi
masyarakat yang menginginkan figur di luar partai untuk diuji potensinya
menjadi pemimpin nasional bersama-sama dengan figur-figur dari dalam partai.
Konvensi memberi ruang yang lebih besar bagi transparansi proses politik. Kembali ke pola
pembentukan koalisi, pola kedua dapat memberi jalan bagi partai-partai
politik untuk memperkuat sistem kepartaian, sehingga tidak selalu tergantung
pada figur personal calon presiden. Pola kedua ini juga dapat menjadi jalan
untuk membentuk pola koalisi yang lebih panjang. Bila ini terjadi, meskipun
jumlah partai kita tetap banyak di parlemen, tapi pola koalisinya bisa lebih
sederhana. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar