Tantangan
Ebrahim Raisi Hasibullah Satrawi ; Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia
Islam |
KOMPAS, 28 Juni 2021
Satu hari setelah
pemilihan presiden (19/6/2021), Kantor Pemilihan Umum Iran mengumumkan
kemenangan Ebrahim Raisi setelah mendapatkan 17,8 juta suara atau 62 persen
dari 28,6 juta suara sah. Pengumuman hasil Pilpres Iran kali ini disampaikan
secara langsung oleh Ketua Kantor Pemilihan Umum Iran Jamal Orf
(Al-jazeera.net, 19/6/2021). Raisi berhasil mengalahkan
tiga pesaingnya dalam Pilpres Iran kali ini. Pilpres Iran kali ini hanya
diikuti empat calon presiden (capres) setelah tiga capres lain mengundurkan
diri. Dari empat capres itu, satu berasal dari kelompok reformis yang lebih
terbuka terhadap Barat. Sementara tiga lainnya (termasuk Raisi) berasal dari
kelompok konservatif yang bersifat lebih konfrontatif. Kemenangan Raisi telah
diperkirakan oleh banyak pihak sebelumnya lantaran memiliki kedekatan dengan
pemimpinan spiritual sekaligus Pemimpim Tertinggi Iran, Ayatollah Ali
Khamenei. Tantangan
pertigaan Pilpres Iran kali ini bisa
dibilang sangat krusial sekaligus menentukan, khususnya apabila dilihat dari
perkembangan di tingkat nasional Iran, regional Timur Tengah, ataupun pada
tataran global. Untuk konteks nasional, Iran saat ini banyak menghadapi persoalan
berat, mulai dari persoalan krisis ekonomi yang semakin dalam, penanganan
Covid-19, hingga persoalan kebebasan sipil yang sangat dielu-elukan oleh
sebagian rakyat Iran. Sebagai presiden dari kubu
reformis yang sempat menjanjikan perbaikan mendasar terkait kebebasan sipil,
Rouhani dianggap tidak mampu berbuat banyak untuk memenuhi janji-janjinya.
Semua ini menambah berat persoalan yang ada, termasuk persoalan pemboikotan
pilpres kali ini. Sementara di ranah
regional Timur Tengah, Iran berada di ”pertigaan” harapan, ancaman, bahkan
perang terbuka. Dikatakan harapan karena poros perlawanan (mihwarul
muqawamah) yang dikomando Iran selama ini berhasil mencapai kemajuan yang
cukup signifikan. Keberhasilan menyelamatkan
rezim Bashar al-Assad di Suriah yang sempat di ujung tanduk bisa dijadikan
sebagai salah satu bukti dari yang telah disampaikan. Begitu juga dengan
kemajuan dan kekompakan yang dimiliki oleh faksi-faksi pendukung Iran di
Timur Tengah selama ini, seperti Hezbullah di Lebanon dan Hamas di Palestina.
Bahkan, Arab Saudi yang acap bersitegang dengan Iran belakangan tampak
”melunak” kepada Iran, khususnya setelah ”negeri haramain” itu melakukan
rekonsiliasi politik dengan Qatar yang berhubungan baik dengan Iran (5/1). Sebagaimana dimaklumi,
Qatar bersikap lebih bersahabat dengan Iran dibandingkan negara-negara Arab
Teluk lainnya, terutama Arab Saudi. Ketika Arab Saudi dan Qatar melakukan
rekonsiliasi beberapa bulan lalu, tampaknya Arab Saudi lebih mengikuti arah
politik luar negeri Qatar daripada sebaliknya. Tarik-menarik antara Qatar
dan Arab Saudi menjadi pemandangan politik terbaru di kalangan negara-negara
Arab Teluk saat ini. Untuk sementara, Arab Saudi tampak lebih mengikuti arah
politik luar negeri Qatar daripada sebaliknya (termasuk dalam menghadapi
Iran). Apakah akan selamanya demikian? Tentu belum bisa dipastikan mengingat
Arab Saudi bukan negeri tanpa ambisi. Di sisi lain, hal-hal yang
bisa menjadi ancaman bagi Iran juga mengalami perkembangan yang tak kalah
pesat. Hubungan diplomatik Israel dengan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain
bisa dijadikan sebagai salah satu contoh dari ancaman ini. Melalui kerja sama
dengan sejumlah negara Arab Teluk, serangan Israel bisa menjangkau Iran
secara lebih mudah, khususnya apabila Iran melanjutkan program nuklirnya yang
saat ini menjadi ”satu-satunya” musuh tersisa bagi Israel di Timur Tengah.
Dengan perkembangan yang ada, perang terbuka antara Israel dan Iran bisa
terjadi kapan saja. Bagaimana dengan
perkembangan di kancah global? Iran saat ini sedang melakukan diplomasi
intensif terkait dengan keberlangsungan program nuklirnya, khususnya sejak
Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Joe Biden memutuskan untuk
bergabung kembali dengan perundingan yang ada. Keberlangsungan
perundingan ini akan sangat ditentukan oleh pemenang pilpres, apakah dari
kubu reformis yang lebih terbuka sekaligus dialogis dengan Barat atau dari
kubu konservatif yang lebih tertutup sekaligus konfrontatif terhadap Barat.
Dalam debat pilpres yang telah digelar selama ini, capres dari kubu reformis
cenderung pro untuk melanjutkan proses perundingan yang ada. Sementara
capres-capres dari kubu konservatif menganggap perundingan yang ada sebagai
hal yang membuang-buang waktu (Aawsat.com, 15/6/2021). Inilah yang penulis maksud
bahwa Pilpres Iran kali ini bisa cukup menentukan. Tidak hanya menentukan
bagi rakyat Iran, tetapi juga menentukan bagi perkembangan politik yang bisa
terjadi di Timur Tengah ke depan. Bagaimana kebijakan politik luar negeri
Iran pascapilpres? Inilah pertanyaan kunci yang saat ini ditunggu oleh banyak
pihak, baik kawan maupun lawan. Belajar
dari Rouhani Raisi sejatinya belajar
banyak dari Hassan Rouhani dalam memainkan politik luar negerinya. Harus
diakui, kebijakan politik luar negeri Iran di bawah kepemimpinan Hassan
Rouhani bisa dikatakan sangat gemilang, khususnya dalam menghadapi kebijakan
politik AS yang ”tak menentu” pada era Donald Trump dan menjadi ”sangat
teratur” pada era Biden saat ini. Setelah menghadapi tekanan demi tekanan
pada masa pemerintahan Trump, Iran berhasil menyesuaikan kebijakan politik
luar negerinya pada masa pemerintah Biden. Hingga bisa terjadi perubahan
keadaan yang cukup baik dan menguntungkan bagi Iran. Sebagaimana dimaklumi
bersama, Iran belakangan memainkan politik luar negeri dengan cukup lepas dan
bebas, khususnya semenjak Joe Biden menjadi Presiden AS menggantikan Trump.
Hal ini tidak didapat dengan mudah oleh Iran, tetapi harus melalui pelbagai
macam situasi sulit dan mematikan, khususnya di era pemerintahan Trump.
Terbunuhnya tokoh militer Iran, seperti Jenderal Qasim Soleimani, dan ilmuwan
nuklir Iran paling senior, Mohsen Fakhrizadeh, bisa dijadikan sebagai salah
satu contoh dari masa-masa sulit yang dihadapi Iran pada masa pemerintahan
Trump. Dalam perkembangan seperti
di atas, Iran tidak memiliki banyak pilihan kecuali melakukan perlawanan
total, baik terhadap AS maupun sekutu-sekutunya di kawasan Timur Tengah.
Bersikap mengalah hanya akan membuat lawan-lawannya semakin keras menerjang.
Sementara perlawanan total secara politik diharapkan mampu menciptakan
perubahan dalam kebijakan politik lawan yang bisa menguntungkan Iran. Iran bisa ”bernapas lega”
setelah Biden dinyatakan sebagai pemenang Pilpres AS mengalahkan Trump.
Hingga akhirnya Iran bisa memainkan politik luar negerinya dengan sangat
bebas dan lepas seperti belakangan ini. Dengan kata lain, pada masa
pemerintahan Biden, politik luar negeri Iran berhasil mengapitalisasi
perkembangan-perkembangan yang ada untuk mendukung kepentingan nasionalnya
sekaligus mengimbangi strategi musuh-musuhnya. Hal yang harus
diperhatikan adalah sikap politik keras Iran pada era Trump bisa dipahami
sebagai strategi dan taktik politik untuk mengimbangi pelbagai macam manuver
dan provokasi yang dilakukan oleh Trump, bukan sebagai keputusan ideologis.
Terbukti, ketika AS mengubah kebijakan politik luar negerinya di era Biden,
Iran juga menempuh jalur diplomasi yang lebih dialogis. Hingga
persoalan-persoalan yang dihadapi dengan negara tetangga ataupun masyarakat
global bisa terurai untuk mencari solusi terbaik bagi semua. Bagaimana Raisi akan
memainkan politik luar negeri Iran ke depan untuk menghadapi
tantangan-tantangan yang ada? Apakah akan melanjutkan kebijakan pendahulunya
(Hassan Rouhani) yang sangat strategis sebagaimana di atas? Atau justru akan
menghidupkan kembali kebijakan pendahulu Rouhani (Ahmadinejad) yang tak lain
dari kalangan konservatif? Inilah yang penting diikuti bersama-sama ke depan.
● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar