Selasa, 29 Juni 2021

 

Tantangan Ebrahim Raisi

Hasibullah Satrawi ;  Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam

KOMPAS, 28 Juni 2021

 

 

                                                           

Satu hari setelah pemilihan presiden (19/6/2021), Kantor Pemilihan Umum Iran mengumumkan kemenangan Ebrahim Raisi setelah mendapatkan 17,8 juta suara atau 62 persen dari 28,6 juta suara sah. Pengumuman hasil Pilpres Iran kali ini disampaikan secara langsung oleh Ketua Kantor Pemilihan Umum Iran Jamal Orf (Al-jazeera.net, 19/6/2021).

 

Raisi berhasil mengalahkan tiga pesaingnya dalam Pilpres Iran kali ini. Pilpres Iran kali ini hanya diikuti empat calon presiden (capres) setelah tiga capres lain mengundurkan diri. Dari empat capres itu, satu berasal dari kelompok reformis yang lebih terbuka terhadap Barat. Sementara tiga lainnya (termasuk Raisi) berasal dari kelompok konservatif yang bersifat lebih konfrontatif. Kemenangan Raisi telah diperkirakan oleh banyak pihak sebelumnya lantaran memiliki kedekatan dengan pemimpinan spiritual sekaligus Pemimpim Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei.

 

Tantangan pertigaan

 

Pilpres Iran kali ini bisa dibilang sangat krusial sekaligus menentukan, khususnya apabila dilihat dari perkembangan di tingkat nasional Iran, regional Timur Tengah, ataupun pada tataran global. Untuk konteks nasional, Iran saat ini banyak menghadapi persoalan berat, mulai dari persoalan krisis ekonomi yang semakin dalam, penanganan Covid-19, hingga persoalan kebebasan sipil yang sangat dielu-elukan oleh sebagian rakyat Iran.

 

Sebagai presiden dari kubu reformis yang sempat menjanjikan perbaikan mendasar terkait kebebasan sipil, Rouhani dianggap tidak mampu berbuat banyak untuk memenuhi janji-janjinya. Semua ini menambah berat persoalan yang ada, termasuk persoalan pemboikotan pilpres kali ini.

 

Sementara di ranah regional Timur Tengah, Iran berada di ”pertigaan” harapan, ancaman, bahkan perang terbuka. Dikatakan harapan karena poros perlawanan (mihwarul muqawamah) yang dikomando Iran selama ini berhasil mencapai kemajuan yang cukup signifikan.

 

Keberhasilan menyelamatkan rezim Bashar al-Assad di Suriah yang sempat di ujung tanduk bisa dijadikan sebagai salah satu bukti dari yang telah disampaikan. Begitu juga dengan kemajuan dan kekompakan yang dimiliki oleh faksi-faksi pendukung Iran di Timur Tengah selama ini, seperti Hezbullah di Lebanon dan Hamas di Palestina. Bahkan, Arab Saudi yang acap bersitegang dengan Iran belakangan tampak ”melunak” kepada Iran, khususnya setelah ”negeri haramain” itu melakukan rekonsiliasi politik dengan Qatar yang berhubungan baik dengan Iran (5/1).

 

Sebagaimana dimaklumi, Qatar bersikap lebih bersahabat dengan Iran dibandingkan negara-negara Arab Teluk lainnya, terutama Arab Saudi. Ketika Arab Saudi dan Qatar melakukan rekonsiliasi beberapa bulan lalu, tampaknya Arab Saudi lebih mengikuti arah politik luar negeri Qatar daripada sebaliknya.

 

Tarik-menarik antara Qatar dan Arab Saudi menjadi pemandangan politik terbaru di kalangan negara-negara Arab Teluk saat ini. Untuk sementara, Arab Saudi tampak lebih mengikuti arah politik luar negeri Qatar daripada sebaliknya (termasuk dalam menghadapi Iran). Apakah akan selamanya demikian? Tentu belum bisa dipastikan mengingat Arab Saudi bukan negeri tanpa ambisi.

 

Di sisi lain, hal-hal yang bisa menjadi ancaman bagi Iran juga mengalami perkembangan yang tak kalah pesat. Hubungan diplomatik Israel dengan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain bisa dijadikan sebagai salah satu contoh dari ancaman ini. Melalui kerja sama dengan sejumlah negara Arab Teluk, serangan Israel bisa menjangkau Iran secara lebih mudah, khususnya apabila Iran melanjutkan program nuklirnya yang saat ini menjadi ”satu-satunya” musuh tersisa bagi Israel di Timur Tengah. Dengan perkembangan yang ada, perang terbuka antara Israel dan Iran bisa terjadi kapan saja.

 

Bagaimana dengan perkembangan di kancah global? Iran saat ini sedang melakukan diplomasi intensif terkait dengan keberlangsungan program nuklirnya, khususnya sejak Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Joe Biden memutuskan untuk bergabung kembali dengan perundingan yang ada.

 

Keberlangsungan perundingan ini akan sangat ditentukan oleh pemenang pilpres, apakah dari kubu reformis yang lebih terbuka sekaligus dialogis dengan Barat atau dari kubu konservatif yang lebih tertutup sekaligus konfrontatif terhadap Barat. Dalam debat pilpres yang telah digelar selama ini, capres dari kubu reformis cenderung pro untuk melanjutkan proses perundingan yang ada. Sementara capres-capres dari kubu konservatif menganggap perundingan yang ada sebagai hal yang membuang-buang waktu (Aawsat.com, 15/6/2021).

 

Inilah yang penulis maksud bahwa Pilpres Iran kali ini bisa cukup menentukan. Tidak hanya menentukan bagi rakyat Iran, tetapi juga menentukan bagi perkembangan politik yang bisa terjadi di Timur Tengah ke depan. Bagaimana kebijakan politik luar negeri Iran pascapilpres? Inilah pertanyaan kunci yang saat ini ditunggu oleh banyak pihak, baik kawan maupun lawan.

 

Belajar dari Rouhani

 

Raisi sejatinya belajar banyak dari Hassan Rouhani dalam memainkan politik luar negerinya. Harus diakui, kebijakan politik luar negeri Iran di bawah kepemimpinan Hassan Rouhani bisa dikatakan sangat gemilang, khususnya dalam menghadapi kebijakan politik AS yang ”tak menentu” pada era Donald Trump dan menjadi ”sangat teratur” pada era Biden saat ini. Setelah menghadapi tekanan demi tekanan pada masa pemerintahan Trump, Iran berhasil menyesuaikan kebijakan politik luar negerinya pada masa pemerintah Biden. Hingga bisa terjadi perubahan keadaan yang cukup baik dan menguntungkan bagi Iran.

 

Sebagaimana dimaklumi bersama, Iran belakangan memainkan politik luar negeri dengan cukup lepas dan bebas, khususnya semenjak Joe Biden menjadi Presiden AS menggantikan Trump. Hal ini tidak didapat dengan mudah oleh Iran, tetapi harus melalui pelbagai macam situasi sulit dan mematikan, khususnya di era pemerintahan Trump. Terbunuhnya tokoh militer Iran, seperti Jenderal Qasim Soleimani, dan ilmuwan nuklir Iran paling senior, Mohsen Fakhrizadeh, bisa dijadikan sebagai salah satu contoh dari masa-masa sulit yang dihadapi Iran pada masa pemerintahan Trump.

 

Dalam perkembangan seperti di atas, Iran tidak memiliki banyak pilihan kecuali melakukan perlawanan total, baik terhadap AS maupun sekutu-sekutunya di kawasan Timur Tengah. Bersikap mengalah hanya akan membuat lawan-lawannya semakin keras menerjang. Sementara perlawanan total secara politik diharapkan mampu menciptakan perubahan dalam kebijakan politik lawan yang bisa menguntungkan Iran.

 

Iran bisa ”bernapas lega” setelah Biden dinyatakan sebagai pemenang Pilpres AS mengalahkan Trump. Hingga akhirnya Iran bisa memainkan politik luar negerinya dengan sangat bebas dan lepas seperti belakangan ini. Dengan kata lain, pada masa pemerintahan Biden, politik luar negeri Iran berhasil mengapitalisasi perkembangan-perkembangan yang ada untuk mendukung kepentingan nasionalnya sekaligus mengimbangi strategi musuh-musuhnya.

 

Hal yang harus diperhatikan adalah sikap politik keras Iran pada era Trump bisa dipahami sebagai strategi dan taktik politik untuk mengimbangi pelbagai macam manuver dan provokasi yang dilakukan oleh Trump, bukan sebagai keputusan ideologis. Terbukti, ketika AS mengubah kebijakan politik luar negerinya di era Biden, Iran juga menempuh jalur diplomasi yang lebih dialogis. Hingga persoalan-persoalan yang dihadapi dengan negara tetangga ataupun masyarakat global bisa terurai untuk mencari solusi terbaik bagi semua.

 

Bagaimana Raisi akan memainkan politik luar negeri Iran ke depan untuk menghadapi tantangan-tantangan yang ada? Apakah akan melanjutkan kebijakan pendahulunya (Hassan Rouhani) yang sangat strategis sebagaimana di atas? Atau justru akan menghidupkan kembali kebijakan pendahulu Rouhani (Ahmadinejad) yang tak lain dari kalangan konservatif? Inilah yang penting diikuti bersama-sama ke depan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar