Rabu, 23 Juni 2021

 

RUU PPRT dan Keadilan Sosial

Eva K Sundari ;  Direktur Institut Sarinah

KOMPAS, 21 Juni 2021

 

 

                                                           

Itulah Sosialisme "Yang di dalamnya tiada eksploitasi manusia-oleh-manusia, tiada eksploitasi pula manusia-oleh-negara, tiada kapitalisme, tiada kemiskinan, tiada perbudakan, tiada wanita yang setengah-mati sengsara karena memikul beban yang dobel. .. " Soekarno, 1963

 

Beberapa politisi dan intelektual menolak RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) dengan alasan bisa merusak praktik gotong-royong dan kekeluargaan.

 

Ini aneh, karena tujuan pengajuan RUU PPRT adalah untuk menggerakkan gotong-royong dalam mewujudkan keadilan sosial. UU PPRT kelak bisa menjadi alat negara untuk menyusun sebuah "Perekonomian Nasional berdasar Kekeluargaan dan Gotong-royong", yaitu sosialisme Indonesia yang memperbaiki pemerataan antar golongan. Sosialisme Pancasila yang berciri tiadanya kemiskinan dan tiadanya perempuan yang disubordinasi dan dieksploitasi oleh orang dan negara.

 

Pesan Pancasila dan Konstitusi itu sejalan dengan tujuan Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) No 189 Mengenai Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga (PRT), demi mencegah ruang domestik kita menjalankan praktik perbudakan modern terhadap kelompok perempuan. Konvensi ini meminta negara berperan menciptakan keadilan melalui sebuah UU, untuk memberikan perlindungan memadai dan perbaikan pada kondisi kerja PRT.

 

RUU PPRT disusun dengan tujuan sama, walau bobotnya jauh lebih ringan dari standar yang digariskan Konvensi ILO No 189. Selama 17 tahun diperjuangkan, draf terakhir adalah versi ke-11. Sebelumnya terus diubah untuk mengakomodasi masukan DPR yang sering lebih merepresentasikan kepentingan pemberi kerja di rumah tangga.

 

Penolakan pemerintah dan DPR terhadap RUU PPRT adalah cermin pilihan sikap pembiaran dan keengganan negara untuk menghentikan tragedi penyiksaan dan eksploitasi terhadap para PRT yang masih berlangsung hingga kini.

 

Artinya, negara menikmati surplus keringat para perempuan PRT yang mendukung penciptaan produktivitas nasional melalui para majikan mereka yang leluasa bekerja di wilayah publik.

 

Dengan hanya mengandalkan pemberitaan dari media, Jala-PRT (2021) mencatat dari 2012 hingga 2020 terdapat rata-rata 457 kasus penyiksaan terhadap PRT per tahun, yang hampir seluruhnya dilakukan para majikan. Memasuki 2020 masa pandemi, kasus kekerasan terhadap PRT melonjak drastis hingga 92 persen dari 467 kasus di 2019 menjadi 897 kasus di 2020, terutama karena adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan mendadak.

 

Jala-PRT menengarai beberapa bentuk kekerasan yang dialami para PRT , misalnya tak diberi gaji, penyekapan, penyiksaan fisik ringan hingga yang meninggalkan kecacatan, misalnya pemukulan dengan benda tajam dan tumpul, tak diberi makan, dipaksa makan kotoran, hingga penyetrikaan anggota badan. Pada 2015, masyarakat dikagetkan oleh kasus penyekapan dan penyiksaan tiga PRT di sebuah apartemen di Jakarta oleh oknum anggota DPR RI.

 

Kasus lain yang lebih mengenaskan terjadi di 2016 berupa penyekapan dan penyiksaan oleh sepasang suami istri di Utan Kayu kepada empat PRT mereka selama sembilan tahun! Hingga April 2021, Jala-PRT sudah mencatat ada 641 kasus termasuk yang dialami seorang PRT (EAS) di Surabaya yang disiksa dan tak diberi makan majikannya yang berprofesi sebagai pengacara hingga berat badan korban tinggal 32 kilogram!

 

Jala - PRT juga melaporkan bahwa ribuan kasus itu, sering berhenti di tangan Kepolisian, tak sampai Kejaksaan, apalagi pengadilan, sehingga keadilan bagi PRT ibarat jauh panggang dari api.

 

RUU PPRT sebenarnya selalu masuk ke daftar program legislasi nasional (prolegnas) sejak 2004, tetapi tidak pernah diprioritaskan untuk dibahas, sehingga sempurnalah penderitaan "wong cilik" perempuan PRT jika kelak di penghujung pemerintahan Jokowi 2024, RUU PPRT kembali dimentahkan.

 

Relasi ekonomi bermartabat

 

Kerancuan pendefinisian “P” dalam PRT sebagai “Pembantu” sudah diganti menjadi “Pekerja” supaya isu dapat difokuskan ke masalah relasi kerja. Relasi ekonomi ini harus diatur supaya sesuai dengan nilai keadilan dan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.

 

Dalam draf terakhir RUU, dijelaskan bahwa “pekerja” adalah penerima kerja, pihak yang menerima upah. Sehingga, RUU ini tak memasukkan para warga yang “ngenger” (numpang hidup), para santri di pondok pesantren, atau anak asuh sebagai obyek UU.

 

Apakah dimungkinkan wilayah privat keluarga/rumah tangga diatur UU? Mungkin sekali, misalnya UU Perkawinan, UU Perlindungan Anak, UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang sudah menjebol sakralisasi wilayah privat keluarga. Data menunjukkan bahwa keluarga bukan enklave yang steril dari tindakan-tindakan kriminal oleh dan kepada anggota keluarga.

 

Keberadaan berbagai UU itu tak merusak lembaga keluarga, tetapi sebaliknya merupakan upaya penyelamatan agar nilai-nilai kemuliaan tetap hidup di dalam keluarga. Hal sama juga menjadi tujuan RUU PPRT, yaitu agar martabat kemanusiaan kedua pihak terjaga, karena kata Paulo Freire, baik penindas maupun yang ditindas sama- sama kehilangan martabat kemanusiaannya.

 

Secara tradisional kita sudah mengenal jenis kerumunan yang disebut patembayan (gesselschaft). Mereka adalah kelompok sosial yang anggota-anggotanya menjalin hubungan bersifat kontraktual (sementara) dan kurang saling mengenal secara personal.

 

Gesselschaft disatukan oleh pemikiran yang sama dan ditentukan oleh kurwille (kehendak rasional) termasuk pemikiran ekonomi (kerja). Pengaturan dari pelembagaan kontrak kerja di rumah tangga dalam bentuk UU adalah ciri masyarakat kosmopolit di negara hukum yang menghargai kesetaraan antar warga pemberi dan penerima kerja walau relasi kuasa keduanya asimetris.

 

Berbeda dari isi Konvensi ILO No 198 yang mengharuskan negara menetapkan hak-hak dan kewajiban dua belah dalam UU, RUU PPRT menyerahkan pengaturannya melalui kesepakatan-kesepakatan hasil musyawarah mufakat. Meski demikian, kehadiran negara sebagai regulator dan mediator harus ada terutama saat konflik antara keduanya muncul. Hal ini telah diperankan oleh Pemerintah Singapura dan Filipina.

 

Satu isu penting yang dinormakan dalam RUU PPRT adalah skema gotong-royong dalam pembayaran iuran Jamsostek bagi PRT. Dalam draf RUU PPRT pembayaran Jamsostek digotong antara pemerintah dan pemberi kerja masing-masing Rp 16.000 dan Rp 20.000 per bulan. Uang yang receh yang bisa menjadi investasi surga jika diniatkan sebagai sedekah bagi majikan Muslim.

 

Legislasi pro-orang miskin

 

Hanya kelompok kaya yang bisa bertahan dan bahkan bisa semakin kaya akibat pandemi. Sebaliknya, pandemi memicu melonjaknya jumlah penduduk miskin, termasuk para perempuan PRT yang dirumahkan tiba-tiba oleh majikan. Riset Indonesia Budget Center (IBC) 2021 menunjukkan memburuknya kesenjangan gender di Indonesia yang dipicu memburuknya kemiskinan akibat pandemi Covid-19 dalam setahun ini.

 

Oleh karena itu, semua pihak harus berupaya melakukan pencegahan memburuknya kemiskinan, termasuk dengan membuat kebijakan dan perundangan yang memberdayakan kelompok miskin (pro- poor). Analisis dampak dari RUU PPRT adalah RUU ini termasuk kategori pro-poor legislation karena berisi perlindungan terhadap “kepala keluarga” perempuan yang berprofesi PRT.

 

Dengan pengesahan RUU PPRT, para perempuan golongan miskin ini menjadi nyata (visible) di mata negara sehingga membuka akses para PRT terhadap semua program perlindungan sosial dari negara. Selama ini para PRT tak terdaftar di Kementerian Sosial maupun Kementerian Koperasi-UMKM yang bertugas mendistribusikan paket krisis maupun pemulihan ekonomi akibat pandemi. Sementara PRT memenuhi semua kriteria dan syarat untuk menerima paket-paket itu. Para PRT masih termasuk golongan tak tersentuh (the untouchable) walau hidup bersama kita.

 

Pengakuan dan pengesahan (recognizing dan legalizing) keberadaan PRT adalah upaya pemberdayaan bagi kaum duafa sekaligus penghormatan atas semangat mereka memperjuangkan perbaikan nasib mengatasi kemiskinan. Mereka memilih bekerja menjual tenaga dan keringat daripada berpangku tangan menunggu belas kasihan menjadi beban masyarakat dan negara.

 

Sebagian besar para PRT menerima gaji di bawah UMR karena “daya beli” pemberi kerja yang juga rendah, padahal paling tidak mereka menanggung hidup empat orang per PRT (dependency ratio 1:4) sehingga melindungi dan memberdayakan 5,6 juta PRT akan berdampak pada penyelamatan setidaknya 22,4 juta penduduk. Tentu angka ini bisa berkembang menjadi puluhan juta penduduk sesuai hukum multiplier effect.

 

Tidak mungkin mengembangkan karier dalam profesi PRT, sekali PRT akan terus jadi PRT sehingga memiliki akses terhadap Jamsostek merupakan perlindungan bagi PRT saat purna. Kapasitas kerja mereka semata dibatasi oleh umur yang uzur. Saling bantu dan berbagi beban antara pemberi kerja dan negara untuk iuran Jamsostek adalah tindakan kemanusiaan sekaligus ekonomis pragmatis. Negara berperan sebagai fasilitator dan promotor gerakan gotong royong memerangi kemiskinan sehingga perekonomian bercorak kekeluargaan setapak demi setapak bisa diwujudkan.

 

Pada akhirnya, pengesahan RUU PPRT akan bisa menjadi alat efektif menghapus kemiskinan keluarga yang dikepalai perempuan dan keadilan sosial akan semakin bisa diwujudkan. Selamat Memperingati Konvensi ILO No 198 untuk memuliakan martabat para perempuan PRT dan kita semua. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar