RUU
PPRT dan Keadilan Sosial Eva K Sundari ; Direktur Institut Sarinah |
KOMPAS, 21 Juni 2021
Itulah
Sosialisme "Yang di dalamnya tiada eksploitasi manusia-oleh-manusia,
tiada eksploitasi pula manusia-oleh-negara, tiada kapitalisme, tiada
kemiskinan, tiada perbudakan, tiada wanita yang setengah-mati sengsara karena
memikul beban yang dobel. .. " Soekarno, 1963 Beberapa politisi dan
intelektual menolak RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) dengan
alasan bisa merusak praktik gotong-royong dan kekeluargaan. Ini aneh, karena tujuan
pengajuan RUU PPRT adalah untuk menggerakkan gotong-royong dalam mewujudkan
keadilan sosial. UU PPRT kelak bisa menjadi alat negara untuk menyusun sebuah
"Perekonomian Nasional berdasar Kekeluargaan dan Gotong-royong",
yaitu sosialisme Indonesia yang memperbaiki pemerataan antar golongan.
Sosialisme Pancasila yang berciri tiadanya kemiskinan dan tiadanya perempuan
yang disubordinasi dan dieksploitasi oleh orang dan negara. Pesan Pancasila dan
Konstitusi itu sejalan dengan tujuan Konvensi Organisasi Buruh Internasional
(ILO) No 189 Mengenai Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga (PRT), demi mencegah
ruang domestik kita menjalankan praktik perbudakan modern terhadap kelompok
perempuan. Konvensi ini meminta negara berperan menciptakan keadilan melalui
sebuah UU, untuk memberikan perlindungan memadai dan perbaikan pada kondisi
kerja PRT. RUU PPRT disusun dengan
tujuan sama, walau bobotnya jauh lebih ringan dari standar yang digariskan
Konvensi ILO No 189. Selama 17 tahun diperjuangkan, draf terakhir adalah
versi ke-11. Sebelumnya terus diubah untuk mengakomodasi masukan DPR yang
sering lebih merepresentasikan kepentingan pemberi kerja di rumah tangga. Penolakan pemerintah dan
DPR terhadap RUU PPRT adalah cermin pilihan sikap pembiaran dan keengganan
negara untuk menghentikan tragedi penyiksaan dan eksploitasi terhadap para
PRT yang masih berlangsung hingga kini. Artinya, negara menikmati
surplus keringat para perempuan PRT yang mendukung penciptaan produktivitas
nasional melalui para majikan mereka yang leluasa bekerja di wilayah publik. Dengan hanya mengandalkan
pemberitaan dari media, Jala-PRT (2021) mencatat dari 2012 hingga 2020
terdapat rata-rata 457 kasus penyiksaan terhadap PRT per tahun, yang hampir
seluruhnya dilakukan para majikan. Memasuki 2020 masa pandemi, kasus
kekerasan terhadap PRT melonjak drastis hingga 92 persen dari 467 kasus di
2019 menjadi 897 kasus di 2020, terutama karena adanya pemutusan hubungan
kerja (PHK) massal dan mendadak. Jala-PRT menengarai
beberapa bentuk kekerasan yang dialami para PRT , misalnya tak diberi gaji,
penyekapan, penyiksaan fisik ringan hingga yang meninggalkan kecacatan,
misalnya pemukulan dengan benda tajam dan tumpul, tak diberi makan, dipaksa
makan kotoran, hingga penyetrikaan anggota badan. Pada 2015, masyarakat
dikagetkan oleh kasus penyekapan dan penyiksaan tiga PRT di sebuah apartemen
di Jakarta oleh oknum anggota DPR RI. Kasus lain yang lebih mengenaskan
terjadi di 2016 berupa penyekapan dan penyiksaan oleh sepasang suami istri di
Utan Kayu kepada empat PRT mereka selama sembilan tahun! Hingga April 2021,
Jala-PRT sudah mencatat ada 641 kasus termasuk yang dialami seorang PRT (EAS)
di Surabaya yang disiksa dan tak diberi makan majikannya yang berprofesi
sebagai pengacara hingga berat badan korban tinggal 32 kilogram! Jala - PRT juga melaporkan
bahwa ribuan kasus itu, sering berhenti di tangan Kepolisian, tak sampai
Kejaksaan, apalagi pengadilan, sehingga keadilan bagi PRT ibarat jauh
panggang dari api. RUU PPRT sebenarnya selalu
masuk ke daftar program legislasi nasional (prolegnas) sejak 2004, tetapi
tidak pernah diprioritaskan untuk dibahas, sehingga sempurnalah penderitaan
"wong cilik" perempuan PRT jika kelak di penghujung pemerintahan
Jokowi 2024, RUU PPRT kembali dimentahkan. Relasi
ekonomi bermartabat Kerancuan pendefinisian
“P” dalam PRT sebagai “Pembantu” sudah diganti menjadi “Pekerja” supaya isu
dapat difokuskan ke masalah relasi kerja. Relasi ekonomi ini harus diatur
supaya sesuai dengan nilai keadilan dan saling menguntungkan bagi kedua belah
pihak. Dalam draf terakhir RUU,
dijelaskan bahwa “pekerja” adalah penerima kerja, pihak yang menerima upah.
Sehingga, RUU ini tak memasukkan para warga yang “ngenger” (numpang hidup),
para santri di pondok pesantren, atau anak asuh sebagai obyek UU. Apakah dimungkinkan
wilayah privat keluarga/rumah tangga diatur UU? Mungkin sekali, misalnya UU
Perkawinan, UU Perlindungan Anak, UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang
sudah menjebol sakralisasi wilayah privat keluarga. Data menunjukkan bahwa
keluarga bukan enklave yang steril dari tindakan-tindakan kriminal oleh dan
kepada anggota keluarga. Keberadaan berbagai UU itu
tak merusak lembaga keluarga, tetapi sebaliknya merupakan upaya penyelamatan
agar nilai-nilai kemuliaan tetap hidup di dalam keluarga. Hal sama juga
menjadi tujuan RUU PPRT, yaitu agar martabat kemanusiaan kedua pihak terjaga,
karena kata Paulo Freire, baik penindas maupun yang ditindas sama- sama
kehilangan martabat kemanusiaannya. Secara tradisional kita
sudah mengenal jenis kerumunan yang disebut patembayan (gesselschaft). Mereka
adalah kelompok sosial yang anggota-anggotanya menjalin hubungan bersifat
kontraktual (sementara) dan kurang saling mengenal secara personal. Gesselschaft disatukan
oleh pemikiran yang sama dan ditentukan oleh kurwille (kehendak rasional)
termasuk pemikiran ekonomi (kerja). Pengaturan dari pelembagaan kontrak kerja
di rumah tangga dalam bentuk UU adalah ciri masyarakat kosmopolit di negara
hukum yang menghargai kesetaraan antar warga pemberi dan penerima kerja walau
relasi kuasa keduanya asimetris. Berbeda dari isi Konvensi
ILO No 198 yang mengharuskan negara menetapkan hak-hak dan kewajiban dua belah
dalam UU, RUU PPRT menyerahkan pengaturannya melalui kesepakatan-kesepakatan
hasil musyawarah mufakat. Meski demikian, kehadiran negara sebagai regulator
dan mediator harus ada terutama saat konflik antara keduanya muncul. Hal ini
telah diperankan oleh Pemerintah Singapura dan Filipina. Satu isu penting yang
dinormakan dalam RUU PPRT adalah skema gotong-royong dalam pembayaran iuran
Jamsostek bagi PRT. Dalam draf RUU PPRT pembayaran Jamsostek digotong antara
pemerintah dan pemberi kerja masing-masing Rp 16.000 dan Rp 20.000 per bulan.
Uang yang receh yang bisa menjadi investasi surga jika diniatkan sebagai
sedekah bagi majikan Muslim. Legislasi
pro-orang miskin Hanya kelompok kaya yang
bisa bertahan dan bahkan bisa semakin kaya akibat pandemi. Sebaliknya,
pandemi memicu melonjaknya jumlah penduduk miskin, termasuk para perempuan
PRT yang dirumahkan tiba-tiba oleh majikan. Riset Indonesia Budget Center
(IBC) 2021 menunjukkan memburuknya kesenjangan gender di Indonesia yang
dipicu memburuknya kemiskinan akibat pandemi Covid-19 dalam setahun ini. Oleh karena itu, semua
pihak harus berupaya melakukan pencegahan memburuknya kemiskinan, termasuk
dengan membuat kebijakan dan perundangan yang memberdayakan kelompok miskin
(pro- poor). Analisis dampak dari RUU PPRT adalah RUU ini termasuk kategori
pro-poor legislation karena berisi perlindungan terhadap “kepala keluarga”
perempuan yang berprofesi PRT. Dengan pengesahan RUU
PPRT, para perempuan golongan miskin ini menjadi nyata (visible) di mata
negara sehingga membuka akses para PRT terhadap semua program perlindungan
sosial dari negara. Selama ini para PRT tak terdaftar di Kementerian Sosial
maupun Kementerian Koperasi-UMKM yang bertugas mendistribusikan paket krisis
maupun pemulihan ekonomi akibat pandemi. Sementara PRT memenuhi semua
kriteria dan syarat untuk menerima paket-paket itu. Para PRT masih termasuk
golongan tak tersentuh (the untouchable) walau hidup bersama kita. Pengakuan dan pengesahan
(recognizing dan legalizing) keberadaan PRT adalah upaya pemberdayaan bagi
kaum duafa sekaligus penghormatan atas semangat mereka memperjuangkan
perbaikan nasib mengatasi kemiskinan. Mereka memilih bekerja menjual tenaga
dan keringat daripada berpangku tangan menunggu belas kasihan menjadi beban
masyarakat dan negara. Sebagian besar para PRT
menerima gaji di bawah UMR karena “daya beli” pemberi kerja yang juga rendah,
padahal paling tidak mereka menanggung hidup empat orang per PRT (dependency
ratio 1:4) sehingga melindungi dan memberdayakan 5,6 juta PRT akan berdampak
pada penyelamatan setidaknya 22,4 juta penduduk. Tentu angka ini bisa
berkembang menjadi puluhan juta penduduk sesuai hukum multiplier effect. Tidak mungkin
mengembangkan karier dalam profesi PRT, sekali PRT akan terus jadi PRT
sehingga memiliki akses terhadap Jamsostek merupakan perlindungan bagi PRT
saat purna. Kapasitas kerja mereka semata dibatasi oleh umur yang uzur.
Saling bantu dan berbagi beban antara pemberi kerja dan negara untuk iuran
Jamsostek adalah tindakan kemanusiaan sekaligus ekonomis pragmatis. Negara
berperan sebagai fasilitator dan promotor gerakan gotong royong memerangi
kemiskinan sehingga perekonomian bercorak kekeluargaan setapak demi setapak
bisa diwujudkan. Pada akhirnya, pengesahan
RUU PPRT akan bisa menjadi alat efektif menghapus kemiskinan keluarga yang
dikepalai perempuan dan keadilan sosial akan semakin bisa diwujudkan. Selamat
Memperingati Konvensi ILO No 198 untuk memuliakan martabat para perempuan PRT
dan kita semua. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar