Refleksi
17 Tahun RUU Perlindungan PRT Diah Irawaty ; Kandidat PhD di Departemen Antropologi,
State University of New York, Pendiri LETSS Talk |
KOMPAS, 23 Juni 2021
Sudah 17 tahun RUU
Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang diajukan JALA PRT mengendap tak
jelas perkembangan proses legislasi -nya di DPR. Sebuah periode sangat lama
untuk pembuatan sebuah produk hukum terkait persoalan yang familiar dalam
kehidupan kita. PRT dengan segala persoalannya, menjadi hal yang kita dengar
dan kita “berinteraksi” dengannya langsung dalam keseharian, namun banyak
persoalan yang belum disentuh, apalagi secara akademik dan serius. Cerita tentang
diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan terhadap PRT bukan sesuatu yang
asing. Fakta bahwa PRT tak diakui sebagai pekerja, bahkan tak masuk dalam
peraturan perundangan ketenagakerjaan kita, sehingga hak-hak mereka sebagai
pekerja sering dilanggar. Hal ini seharusnya menjadikan RUU Perlindungan PRT (RUU
PPRT) sebagai prioritas dalam pembuatan hukum. Mengapa begitu sulit
membuat aturan hukum terkait PRT? Jawaban paling mudah tentu saja karena
keengganan DPR memproses pembuatan UU ini, akibat bias kelas. Bagaimana mungkin, para
anggota DPR yang berada pada posisi majikan yang mempekerjakan para PRT akan
bersedia melakukan pembahasan, apalagi secara adil, RUU yang akan sedikit
banyak menggerogoti posisi kuasanya sebagai majikan? Keengganan seperti ini
representasi dari kuatnya bias kelas di masyarakat ketika berurusan dengan
PRT. Obrolan keseharian kita
saat menyentuh PRT akan selalu berisi stereotip, pandangan diskriminatif, dan
bahkan kompromi terhadap diskriminasi, eksploitasi, kekerasan dan
ketidakadilan yang mereka alami. Berbagai produk entertainment,
dari sinetron, lagu hingga video klipnya, stand-up comedy, film, dan lainnya
yang ditayangkan stasiun TV kita hanya konfirmasi sikap dan pandangan kita
dalam keseharian. Maka, saat DPR mem-freeze
proses legislasi RUU PPRT dalam kurun waktu tak masuk akal itu, publik tak
menganggap ada persoalan. Kita semua diam. Hanya PRT yang terus mengalami
stereotip, kekerasan, diskrimanasi, dan eksploitasi di tempat kerjanya yang
dianggap privat, dan tak tersentuh mata, telinga, dan tangan publik. Persoalan yang lebih
kompleks terkait sejauhmana kita, dan DPR, memahami perlindungan hak-hak PRT
sebagai kepentingan publik. Banyak di antara kita, saya yakin anggota DPR
tidak terkecuali, memandang persoalan PRT termasuk kebutuhan akan
perlindungan hak-haknya merupakan urusan remeh temeh. Stereotip PRT sebagai
warga kelas dua yang berakar pada sejarah pembantu yang diproduksi dan
direproduksi lama sejak masa feodalisme dan kolonialisme Belanda (Irawaty,
2011) berpengaruh pada paradigma menganggap persoalan PRT sebagai persoalan
remeh temeh yang tak perlu dikontekstualisasi sebagai kepentingan publik. Mempertimbangkan situasi
ketidakadilan dan kekerasan yang dihadapi para PRT baik di tempat kerjanya
maupun di masyarakat, termasuk sebagai warga negara, seharusnya sudah cukup
menjadi argumen untuk mengklaim bahwa persoalan PRT merupakan persoalan
publik di mana kita punya tanggungjawab untuk ikut mengatasinya. Di tempat kerja, jika
tidak mengalami berbagai bentuk kekerasan –fisik, verbal, emosional, ekonomi,
bahkan seksual—PRT menjalani pekerjaannya tanpa kontrak yang membuat waktu
dan batasan kerja mereka tidak memiliki “aturan jelas.” Mereka bisa kerja 24
jam sehari dengan pekerjaan apa saja yang diinstruksikan majikannya tanpa
tambahan kompensasi finansial dan lain-lain. Apakah PRT memiliki
jaminan perlindungan sosial, keamanan dan keselamatan kerja? Sangat sulit
menemukan PRT dengan “keistimewaan” hak kerja seperti itu. Di luar tempat
kerja, akses terhadap layanan publik, termasuk pendidikan dan kesehatan masih
sangat terbatas. Kita hanya butuh sikap terbuka (open-mindedness) agar
bersedia melampaui posisi kelas kita dan lalu menunjukkan empati pada para
PRT itu, sebagai penegasan bahwa persoalan PRT adalah persoalan publik. Secara
konseptual-akademik, paradigma kerja domestik atau kerja rumah tangga,
apalagi dilakukan perempuan, sebagai pekerjaan “informal”, tak butuh
keterampilan dan pengetahuan (unskilled labor), bukan pekerjaan produktif,
tidak memiliki nilai sosial, ekonomi, dan politik, dilakukan di ranah privat,
bahkan bukan sebuah pekerjaan atau profesi, sama sekali sangat mungkin masih
menjadi mainstream cara berpikir kita saat berhadapan dengan persoalan PRT.
Paradigma ini berefek pada keengganan kita memosisikan PRT sebagai persoalan
publik, sebagai persoalan yang memiliki kaitan dengan kepentingan publik. Nyatanya, banyak studi
tentang kerja dan perempuan atau pekerjaan domestik, misalnya yang lama
dilakukan Ratna Saptari (1997), telah memberikan argumen baru tentang tidak
berlakuknya segala label bagi pekerjaan domestik tersebut, bahkan dalam
konteks Indonesia. Segregasi kerja produktif dan reproduktif dalam realitas
sosial tidak berjalan linear dan statis. Perubahan sosial menuntut
perubahan pembagian kerja secara seksual yang membuat kerja rumah tangga sering
tidak bisa dilekatkan hanya pada perempuan. Demikian juga kategorisasi kerja
formal dan informal, publik dan privat, yang dipenuhi berbagai dinamika dan
membuatnya tidak selalu berjalan linear dalam kenyataan sosial. Studi ini
bisa menjadi argumen untuk menolak pandangan tentang persoalan PRT sebagai
persoalan privat yang tidak memiliki dimensi kepentingan umum. Salah satu gambaran
kategori dan segregasi ketat tidak bisa diterapkan adalah saat kita melihat,
misalnya, proses industrialisasi dan modernisasi di Indonesia, sejak Orde
Baru. Kampanye modernisasi dan industrialisasi dengan memusatkan proyek
pembangunan di perkotaan sebagai simbol modernitas juga berimbas pada
identitas perempuan urban yang mulai “go public” dan meninggalkan kerja
domestik. Hal ini menuntut mobilisasi perempuan perdesaan untuk diurbanisasi
agar bisa mengisi kerja rumah tangga di keluarga-keluarga urban. Tanpa keterlibatan
perempuan desa sebagai PRT, proses modernisasi ini tidak akan berjalan.
Artinya, PRT memiliki peran penting dalam proses pembangunan berorientasi
modernisasi dan industrialisasi ini, yang menjadi indikasi segregasi
privat-publik, formal-informal, produktif-reproduktif menjadi tidak berlaku.
Inilah yang perlu dipahami publik, terutama anggota DPR, dan menuntut perubahan
cara pandang mereka agar bersedia menempatkan persoalan PRT sebagai persoalan
publik dan bersentuhan dengan kepentingan umum. 17 tahun proses pembuatan
sebuah UU sungguh tidak bisa diterima. Di balik macetnya proses legislasi ini
terdapat sikap dan cara pandang kita yang bias, diskriminatif, dan tidak adil
terhadap PRT. Selain didasari bias kelas, mungkin saja, cara pandang
diskriminatif ini karena mereka tidak menemukan argumen-argumen yang dianggap
meyakinkan terkait berbagai persoalan PRT. Kajian, riset, dan
berbagai kegiatan akademik lain dibutuhkan untuk menguatkan dan memperkaya
argumen-argumen tersebut. Meski pada akhirnya RUU ini akan disahkan DPR,
semoga tidak lama lagi, kajian-kajian itu tetap dibutuhkan untuk membangun
pengetahuan akademik tentang kenyataan sesungguhnya terkait PRT di Indonesia.
● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar