Korupsi
Kebangsaan Yonky Karman ; Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi
Jakarta |
KOMPAS, 16 Juni 2021
Korupsi di Indonesia tak
ada matinya, hanya berganti modus dan aktor. Dengan susah payah Indeks
Persepsi Korupsi (IPK) naik 8 poin selama tujuh tahun (2012-2019) menjadi 40.
Namun, hanya dalam setahun skor itu turun 3 poin (2020). Dengan skor 37 (0 sangat
korup, 100 sangat bersih), Indonesia berada pada peringkat ke-102 dari 179
negara. Bandingkan ketertinggalan kita dengan skor China 42 (peringkat
ke-78), Malaysia 57 (51), bahkan Timor Leste yang dulu jadi bagian dari
Indonesia dengan skor 40 (86). Berita penangkapan pejabat
sudah bukan kejutan, padahal sesungguhnya itu tamparan keras bagi
kepemimpinan negeri. Rekrutmen pejabat yang berasal dari partai pendukung
penguasa begitu mudah, padahal korupsi politik jadi pangkal masalah. Dengan
korupsi sebagai wajah negeri, musuh terbesar kita sesungguhnya bukan korupsi
itu sendiri, melainkan elite negeri yang tak serius memusuhinya, tanpa
suasana kedaruratan, minim semangat jihad. Betapa ironis ketika
penegak hukum kita membela kepentingan koruptor. Korupsi sudah menjadi
habitus bernegara yang dimotivasi keserakahan. Pidana korupsi menjadi seperti
pidana biasa yang tajam ke warga daripada pejabat, ”The criminal law has
served better to punish the crimes of citizens than the crimes of government
against citizens” (Dennis F Thompson, Political Ethics and Public Office,
66). Korupsi akut di negara
berkembang sama artinya dengan sabotase ekonomi dan rusaknya profesionalisme
bernegara. Program pengentasan masyarakat dari kemiskinan terhambat.
Kuantitas dan kualitas pembangunan menurun. Mustahil aparatur sipil negara
(ASN) produk jual beli jabatan yang marak dari Sabang sampai Merauke jadi
abdi negeri profesional, mereka terseret arus politik praktis. Jalan sangat
terjal bagi Indonesia menuju negara meritokrasi. Di negara yang korupsinya
sudah membudaya, keberadaan lembaga antirasuah yang menolak tunduk ke
kekuasaan adalah melawan arus dan dimusuhi orang kuat. Namun, independensi
memang harga mati untuk KPK yang targetnya mereka yang menguasai sumber daya
negeri. Tak pernah ada aspirasi dari pegawainya untuk jadi ASN. Sehari-hari, mereka
cenderung tak mau teridentifikasi sebagai orang KPK. Bekerja dalam senyap,
tak kenal siang atau malam bahkan Ahad, sepi dari liputan pers. Independen
secara kelembagaan, profesional dalam kerja. Awalnya, masyarakat antikorupsi
memiliki harapan besar dengan kehadiran lembaga penegak hukum di luar
lingkaran kekuasaan dan dipimpin mereka yang terpilih melalui proses
penyaringan sangat ketat. Independensi dan
integritas lembaga itu membuatnya paling ditakuti koruptor. Meski lambat, ada
peningkatan kinerja. Satu per satu orang terhormat dan kuat terjerat pidana
korupsi. Koruptor yang ada di segala lini pun tak menyukai keliaran lembaga
negara yang satu ini. Berkali-kali upaya
pelemahan KPK tak berhasil sebab masyarakat sipil antikorupsi pasang badan
dan penguasa mundur untuk tak berbenturan dengan massa sipil. Sampai
akhirnya, muncul gagasan cerdas. Revisi UU KPK. Prioritas pencegahan daripada
penindakan. Dan, yang terakhir adalah tes wawasan kebangsaan. Kebangsaan
dalam profesionalisme Kebangsaan dibenturkan
dengan profesionalisme, ironisnya ketika masyarakat belum bersepakat apa itu
wawasan kebangsaan per definisi. Bagaimana bersepakat kalau maknanya saja
belum jelas? Alih-alih wawasan
kebangsaan, yang tercantum di Kamus Besar Bahasa Indonesia wawasan nasional,
”cara pandang suatu bangsa dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara serta dalam hubungan antarnegara yang merupakan hasil perenungan
filsafat tentang diri dan lingkungannya dengan memperhatikan sejarah dan
kondisi sosial budaya serta memanfaatkan konstelasi geografis guna
menciptakan dorongan dan rangsangan dalam usaha mencapai tujuan nasional”. Betapa luasnya definisi di
atas dan tampaknya merujuk pidato historik Bung Karno 1 Juni 1945.
Nasionalisme dalam kelindan internasionalisme. Dalam pidato itu, kebangsaan
dipahami dalam pengertian geopolitik, ”persatuan antara manusia dan
tempatnya”. Pengertian itu ditegaskan ulang Bung Hatta, ”satu bangsa, satu
Tanah Air”, dalam pidatonya yang bertajuk ”Pancasila Harus Dipegang Teguh”
(di Pematang Siantar, 22-11-1950). Namun, ia mengaitkan kebangsaan dengan
pengabdian pegawai negeri, ”tuntutan yang terpenting bagi seorang pegawai
ialah keahlian ... kecakapan di dalam pekerjaannya sendiri”. Kebangsaan dalam
profesionalisme itulah jiwa pengabdian para pegawai KPK selama ini. Mereka
bukan malaikat, ada yang tergoda juga, tetapi tak pernah ada koruptor yang
ditindak atas dasar diskriminasi. Mengherankan tes wawasan kebangsaan yang
tak ada hubungannya dengan profesionalisme di lembaga antirasuah kemudian berujung
penonaktifan mereka yang berkinerja baik. Meski penting, tak pernah
ada deklarasi rezim sekarang untuk menjadikan wawasan kebangsaan sebagai
panglima. Sebagai catatan, selama puluhan tahun sudah banyak warga di negara
kebangsaan ini dirugikan dalam layanan publik hanya karena agama atau rasnya.
Bukankah itu berarti banyak dari aparatur sipil negara yang justru bermasalah
dalam wawasan kebangsaan? Heboh soal tes wawasan
kebangsaan di KPK merupakan bagian dari tontonan politik yang buruk bagi
masyarakat antikorupsi, sama sekali tak ada hubungannya dengan kebangsaan
yang sejatinya masih menjadi soal. Mengapa hal-hal yang selama sejarah KPK
tak ada kaitan langsung dengan profesionalisme tiba-tiba dibenturkan dengan
pegawai yang sudah teruji oleh waktu, bahkan lebih teruji dari para
komisioner baru? KPK, riwayatmu kini! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar