Minggu, 13 Juni 2021

 

Menyelamatkan Ekonomi Bali Dimulai dari Mana?

Jannes Eudes Wawa ;  Wartawan Senior

KOMPAS, 11 Juni 2021

 

 

                                                           

Agus Yanto, pengelola hotel berbintang di Bali, hanya tersenyum ketika ditanya seputar program bekerja dari Bali. Di matanya, program itu sulit untuk menarik orang mengunjungi Bali.

 

Saat ini, Bali membutuhkan kunjungan wisatawan yang banyak agar bisa menggerakkan perekonomian setempat yang pertumbuhannya masih minus 9 persen. Pemerintah menggaungkan ”Bekerja dari Bali” demi mendongkrak kunjungan ke sana.

 

”Bekerja dari Bali itu hanya dilakukan segelintir pejabat bersama beberapa staf-nya. Di Bali pun mereka hanya berada di hotel tertentu dalam kawasan tertentu. Jadi, sama sekali tidak memberi dampak bagi percepatan pemulihan ekonomi di Bali,” kata Agus.

 

Harus diakui, Bali termasuk wilayah yang mengalami krisis terparah selama serangan wabah Covid-19. Selama ini, Bali telah menjadikan sektor pariwisata sebagai urat nadi kehidupan ekonomi masyarakatnya. Segala sektor digarap dan dikelola secara serius dan profesional untuk menggerakkan pariwisata.

 

Pendemi Covid-19 telah membatasi ruang gerak seluruh warga dunia demi mencegah penyebaran dan penularan virus menular tersebut. Masyarakat dunia dipaksa harus di rumah saja. Tidak boleh melakukan perjalanan dari satu lokasi ke lokasi lain, termasuk antarkota dan antarnegara. Bekerja pun dari rumah. Belajar juga dari rumah. Hal ini telah berlangsung lebih dari setahun dan belum juga ada tanda akan berakhir.

 

Keterbatasan ini menimbulkan krisis ekonomi di seluruh dunia. Di Bali, volume kunjungan wisatawan langsung merosot tajam. Padahal, kedatangan wisatawan merupakan ”nyawa” bagi ekonomi masyarakat di pulau tersebut.

 

Badan Pusat Statistik Provinsi Bali mencatat, kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali selama tahun 2020 hanya 1.050.060 orang atau turun 83,26 persen dibandingkan tahun 2019 yang mencapai 6.275.210 orang. Bahkan, pada Mei 2020, misalnya, wisatawan asing yang berkunjung ke Bali hanya 36 orang atau turun 99,99 persen dibandingkan bulan Mei 2019 yang mencapai 486.602 orang. Pada April 2020, kunjungan wisatawan asing sebanyak 327 orang.

 

Begitu pula pada Desember 2020, wisatawan asing yang masuk ke Bali tercatat hanya 150 orang yang meliputi 127 orang datang melalui Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai dan 23 wisatawan masuk melalui pelabuhan laut. Jumlah ini turun 99,97 persen dibandingkan bulan yang sama pada 2019. Sementara wisatawan domestik yang ke Bali tahun 2020 pun hanya 4.596.167 orang atau turun 56,41 persen dibandingkan tahun 2019 yang mencapai 10.545.039 orang.

 

Contoh lain, dari data Statistik Lalu Lintas Udara juga terungkap pergerakan penumpang selama Januari 2021 di Bandara I Gusti Ngurah Rai, yaitu 212.397 orang. Jumlah tersebut menurun 90 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2020 sebesar 2.122.632 penumpang. Sementara pergerakan pesawat pada Januari 2021 sebanyak 3.575 unit atau merosot 74 persen dibandingkan Januari 2020 yang mencapai 13.839 unit.

 

Kondisi tersebut membuat sektor pariwisata di Bali benar-benar ambruk. Banyak tempat usaha di kawasan Kuta, Legian, dan lainnya terpaksa ditutup atau dibiarkan telantar karena para pemilik tidak sanggup lagi mengelola. Tidak sedikit pula pengusaha yang terpaksa menjual asetnya agar bisa bertahan atau menghidupi karyawan.

 

Hotel berbintang sempat memberi potongan harga yang sangat besar, seperti inap sebulan hanya Rp 3 juta. Namun, penawaran ini pun sepi peminat. Semua lini usaha sektor pariwisata di Bali rontok. Kerugian ekonomi setempat selama pandemi Covid-19 ditaksir mencapai Rp 9 triliun per bulan. Krisis ini jauh lebih buruk dibandingkan saat Bali dihantam bom pada 12 Oktober 2002. Hingga kini, pertumbuhan ekonomi Bali masih minus 9 persen dan sulit diprediksi sampai kapan kondisi buruk ini akan berakhir.

 

Persoalan bagi Bali

 

Mengapa perekonomian di Bali masih berada di jurang yang sangat dalam? Padahal, di Pulau Jawa, misalnya, ekonomi lokal mulai menggeliat meski belum normal.

 

Ada beberapa alasan yang bisa ditarik. Pertama, adanya dominasi sektor pariwisata yang luar biasa dalam perekonomian di Bali. Ada yang menyebut kontribusinya mencapai 69,36 persen.

 

Saya pribadi menilai, kontribusi sektor pariwisata bisa mencapai 85 persen hingga 90 persen terhadap masyarakat di Bali. Alasannya, sektor pertanian dan industri kecil yang berkembang pesat di Bali juga karena disokong pariwisata melalui kunjungan wisatawan.

 

Sejauh ini nyaris tidak ada sektor yang mampu eksis di Bali tanpa topangan pariwisata. Maka, ketika pariwisata tak bergerak, seperti selama pandemi Covid-19, seluruh sektor ikut lumpuh.

 

Kedua, ekonomi Pulau Jawa mulai menggeliat karena memiliki wilayah yang luas dan berbentuk memanjang. Setiap saat selalu ada mobilitas manusia dan barang dari desa ke kota atau sebaliknya. Demikian pula dengan pergerakan antarkota, dari timur ke tengah lanjut ke barat atau sebaliknya. Juga dari utara ke selatan atau sebaliknya.

 

Pergerakan ini meski masih terbatas, tetapi menghidupkan ekonomi lokal. Apalagi didukung dengan tetap beroperasinya industri skala menengah dan besar.

 

Sebaliknya, Bali hanyalah pulau kecil. Masyarakatnya memiliki aktivitas hampir sama yang mengandalkan pada kunjungan wisatawan dari luar Bali. Ketiadaan kunjungan membuat ekonomi di Bali lumpuh.

 

Ketiga, hingga saat ini masih banyak orang yang belum berani bepergian jauh dengan menggunakan pesawat. Ada kekhawatiran, berada di dalam pesawat untuk waktu minimal 30 menit dengan orang-orang yang tidak dikenal berpotensi menyebarkan virus korona baru penyebab Covid-19. Persepsi tersebut memengaruhi perjalanan wisatawan domestik ke Bali yang hingga kini masih sepi.

 

Perputaran uang

 

Terhadap ketiga persoalan itu, Yudi Irawan, pelaku usaha di Bali, menilai, Bali tidak bisa menolong dirinya sendiri untuk segera keluar dari krisis ekonomi yang mendalam ini. Kondisi ini sebagai efek dari dominasi sektor pariwisata terhadap seluruh lini kehidupan masyarakat di Bali.

 

Pilihannya adalah memperbanyak penyelenggaraan event di Bali. Event yang ideal adalah olahraga dan petualangan. Kegiatan ini berlangsung di luar ruangan sehingga peserta bisa sekaligus berwisata dan meningkatkan daya tahan tubuh. Potensi kerumunan pun bisa terkendali. Protokol kesehatan Covid-19 tetap terlaksana dengan baik.

 

”Daripada bikin program bekerja dari Bali, lebih baik pemerintah mendorong BUMN dan perusahaan swasta lainnya untuk mensponsori penyelenggaraan event di Bali. Dengan event bisa mendorong orang mendatangi Bali,” kata Yudi.

 

Salah satunya, event touring sepeda Jelajah Bali Bike pada 19-20 Juni 2021 yang akan diikuti 165 orang. Kegiatan ini diharapkan dapat menggerakkan kembali ekonomi lokal, mengingat 99,9 persen peserta berasal dari luar Bali. Peserta pun tidak sedikit yang datang bersama keluarga dan berencana berada di pulau itu lebih dari empat hari. Panitia Jelajah Bali Bike memperkirakan, perputaran uang di Bali melalui event ini bisa mencapai minimal Rp 1,2 miliar.

 

Munculnya suatu kegiatan diharapkan dapat memancing pihak lain untuk ikut menyelenggarakan berbagai kegiatan lainnya di Bali. Semakin banyak acara menarik digelar di Bali, semakin banyak pula jumlah kunjungan wisatawannya.

 

Tentu saja dengan catatan harus digelar dengan menerapkan standar protokol kesehatan yang ketat. Kedatangan wisatawan yang terus meningkat akan menghidupkan ekonomi setempat. Perputaran uang semakin besar. Pemulihan ekonomi pun lebih cepat terwujud. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar