Minggu, 13 Juni 2021

 

Analisis Budaya: Kisah Hari Tua

Idi Subandy Ibrahim ;  Peneliti Budaya, Media, dan Komunikasi

KOMPAS, 12 Juni 2021

 

 

                                                           

Setiap orang akan melewati kisah hari tua dalam hidupnya, kecuali bagi yang meninggal lebih awal. Namun, sebagian besar tidak bisa memastikan apa yang akan dialaminya di sisa-sisa hidupnya. Meski bagi yang optimistis, hari tua dianggap sebagai buah dari apa yang telah dipupuk di usia muda. Oleh karena itu, setiap orang merasa perlu menyiapkan hari tuanya.

 

Pandangan yang mengatakan hari tua adalah hasil dari apa yang dipupuk di usia muda mengabaikan kenyataan bahwa setiap orang menjalani sejarah sosial dan budaya yang berbeda. Kisah hari tua tidak selalu indah untuk setiap orang. Bukankah anggota masyarakat melewati masa-masa kehidupan mereka secara individu atau perseorangan. Ada yang beruntung, ada yang kurang beruntung. Ada yang kaya, biasa-biasa, dan ada yang miskin. Ada yang berpensiun besar, ada yang biasa, dan ada yang tidak. Ada yang sehat dan ada yang sakit-sakitan. Ini, antara lain, digambarkan oleh Paul Cann dan Malcolm Dean (2009) dalam Unequal Ageing: The Untold Story of Exclusion in Old Age.

 

Dalam bahasa politik kebijakan dan ekonomi politik, usia tua sering disebut ”lansia” (lanjut usia), ”manula” (manusia lanjut usia), dan kadang-kadang ”jompo”. Bahasa ini adalah label untuk memosisikan usia tua yang membentuk kesadaran tentang apa arti menjadi tua dalam sebuah masyarakat dan budaya. Usia tua sering hanya dilihat sebagai  kategori angka statistik, jumlah dan umur, untuk obyek intervensi kebijakan bantuan pemerintah. Untuk dicarikan solusi secara kuantitatif terhadap permasalahan dengan angka yang sangat berdimensi ekonomistik sehingga kurang dimensi humanistiknya.

 

Ini, misalnya, terlihat jelas dalam produk konstitusi kita, di mana usia tua identik dengan umur dan produktivitas. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998, ”lanjut usia” adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas. Lanjut usia potensial adalah lanjut usia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan/atau jasa. Lanjut usia tidak potensial adalah lanjut usia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung kepada bantuan orang lain.

 

Sebagai kenyataan pasti bagi yang sedang mengalaminya dan kenyataan yang tak pasti bagi yang belum mengalaminya, membuat kisah hari tua seperti medan kecemasan dan harapan bagi setiap manusia. Jika kecemasaan adalah gambaran kerapuhan manusia, harapan adalah gambaran kekuatannya. Harapan itu berubah menjadi kecemasan apabila usia tua hanya dianggap sebagai urusan pribadi. Bukan masalah lebih besar, misalnya, sejauh mana negara hadir ketika kelompok usia tua mengalami marjinalisasi dan eksklusi dalam berbagai bentuk di masyarakatnya.

 

Awal abad ke-21 menyaksikan peningkatan dramatis jumlah usia tua (usia di atas 60 tahun atau 65 tahun) di sejumlah negara di dunia, di mana populasi usia tua mencapai seperempat atau seperlima dari jumlah penduduk di banyak negara. Bahkan, di seluruh dunia jumlahnya kini hampir mencapai 1 miliar jiwa. Peningkatan kesejahteraan ekonomi dan kesehatan dianggap faktor penting bagi perbaikan harapan hidup sehingga umur manusia menjadi lebih panjang. Hal itu tidak hanya terjadi di negara-negara maju, tetapi juga di negara-negara berkembang.

 

Peningkatan jumlah penduduk usia tua menimbulkan tantangan bagi banyak negara, termasuk Indonesia, bagaimana membuat mereka berdaya, mandiri, merasa berguna, dan berharga di tengah masyarakat. Tanpa menjadi penghalang bagi generasi lebih muda untuk melakukan alih generasi, misalnya, dalam berbagai bidang kehidupan, jenjang jabatan dan profesi. Tanpa menjadi penjaga budaya feodalisme dan konservatisme yang menghalangi kaum muda untuk maju ke depan.

 

Tantangan itu begitu besar, yaitu, di satu sisi, bagaimana menjamin kebutuhan ekonomi, sosial, dan kesehatan mereka, dan di sisi lain, bagaimana menyediakan ruang bagi kebutuhan kultural dan psikologis bagi kelompok umur yang secara stereotip sering digeneralisasikan sebagai ”generasi pascaproduktif” ini. Meski sudah tentu tidak sedikit juga di antara mereka yang karena berbagai kondisi dan profesi masih bisa terus produktif walau sudah di atas 60 tahun atau 65 tahun.

 

Dehumanisasi

 

Usia tua jarang dilihat sebagai kategori kultural sehingga dimensi kemanusiaan dari hari tua tak jarang luput dari perhatian. Bagi kelas menengah atas, hari tua sekian lama diidentikkan dengan industri kenangan atau bisnis memori, seperti mengisi waktu luang dengan wisata dan komunitas-komunitas eksklusif atau menulis memori atau biografi untuk mengabadikan masa lalu. Bagi kelas menengah bawah, hari tua menjadi sasaran industri kecemasan dengan menjanjikan jaminan hari tua yang tak pasti. Seperti dengan maraknya industri asuransi, yang hanya bersemangat saat menagih pembayaran premi tetapi lesu darah ketika diminta komplain.

 

Jauh sebelum pandemi Covid-19, kisah hari tua adalah kisah lain pertumbuhan industri budaya. Di satu sisi, hari tua telah lama menjadi sasaran komodifikasi gaya hidup penuaan, iklan obat, dan asuransi kematian. Di sisi lain, landasan psikologi mereka terus diserang dengan pesona ”kemudaan” sebagai primadona dalam ruang publik dan landasan industri budaya populer. Paras dan gaya hidup muda nan ganteng dan cantik menjadi kriteria kesuksesan dalam bisnis hiburan, hiasan industri gosip, serta bintang dalam acara bincang di layar televisi dan Youtube.

 

Dalam berbagai bentuknya yang kasatmata, dehumanisasi hari tua masih berlangsung dalam ruang publik. Apa yang disebut para ahli arsitektur kritis, sebagai budaya kota yang melukai, benar-benar terus melukai kisah hari tua. ”Taman lansia” dan jalur pejalan kaki memang sudah muncul di beberapa kota, tetapi kesadaran umum arsitektur jalan, kota, dan ruang kota belum sepenuhnya ramah usia tua. Fasilitas transportasi publik dan tata ruang publik belum menyediakan ruang khusus yang ramah untuk mereka. Dalam budaya antrean, kesadaran untuk menghargai orang lebih tua belum mendarah daging dalam laku anak bangsa.

 

Tak heran, semakin tua, semakin di bawah posisinya dalam strata sosial, gejala keterasingan dan kesepian kian menghinggapi kaum tua. Tak hanya keterasingan di tengah kemiskinan, tetapi juga kesepian di tengah kelimpahan kekayaaan. Seperti kisah kesepian orang supersukses yang hidup sendirian di tengah rumah mewah dengan berbagai fasilitas dan koleksi kendaraan supermewah. Namun, di sisa-sisa usianya yang makin senja, tak kuasa menahan air mata. Menyesali saat teringat ketika masih muda pernah menawar harga beberapa potong pisang goreng kepada pedagang kaki lima tua. ”Kenapa itu saya lakukan?” kata hati kecilnya.

 

Rupanya kisah hari tua juga bisa menjadi gambaran lain bagaimana kecemasan dan penyesalan masih selalu ada meski mungkin apa yang disebut harapan itu sudah ada dalam genggaman seseorang. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar