Covid-19
dan Kepemimpinan Indonesia 2024 Arya Fernandes ; Kepala Departemen Politik dan Perubahan
Sosial, CSIS |
KOMPAS, 12 Juni 2021
Pandemi Covid-19
diperkirakan akan mengubah tren kepemimpinan nasional menjelang Pemilu
Presiden 2024. Perubahan karakter dan gaya kepemimpinan terjadi karena
bergesernya preferensi dan kebutuhan pemilih terhadap corak kepemimpinan
nasional pasca dunia menghadapi situasi pandemi Covid-19. Situasi pascakrisis ini
diprediksi akan mengubah narasi dan program kampanye capres dalam pemilu
nanti. Narasi kampanye yang programatik, terukur dan inovatif akan dianggap
penting dan strategis oleh pemilih dibandingkan narasi besar yang sulit
diukur. Situasi krisis pandemi
membuat pemimpin di banyak negara, termasuk di Indonesia, harus mampu membuat
keputusan yang cepat dan terukur. Pemimpin juga dituntut untuk dapat cepat
beradaptasi dengan kondisi sosial yang rentan berubah. Covid-19 mengajarkan
pentingnya membuat kebijakan berbasis data dan merancang kebijakan dengan
pendekatan kolaboratif dengan tim ahli. Krisis kesehatan saat ini
membuat pemimpin harus fleksibel dan lentur untuk mengubah pendekatan dan
strategi dalam merespons situasi yang tidak pasti dan tak dapat diprediksi.
Pemimpin yang fleksibel dapat beradaptasi dan mengubah kebijakan dengan cepat
bergantung pada tantangan yang tengah terjadi. Situasi krisis seperti
pandemi ini membuat ketidakpastian menjadi tinggi. Pemimpin harus mampu
membuat perkiraan dan proyeksi yang tepat dan terukur. Kualitas kebijakan
tersebut sangat dipengaruhi oleh kapasitas dan pengalaman memimpin yang sudah
teruji. Pemimpin yang teruji dalam mengalami situasi krisis, tentu akan mudah
mengelola pemerintah setelah Pemilu 2024. Perubahan lain pada
kepemimpinan dalam situasi Covid-19 adalah komitmen banyak pemimpin untuk
mengedepankan aspek transparansi dan keterbukaan dalam menangani Covid-19.
Negara-negara yang berhasil menangani Covid-19 dengan baik umumnya memiliki
kebijakan untuk memberikan akses data ke masyarakat. Selain itu juga
melibatkan tim ahli dalam merancang kebijakan publik di bidang kesehatan,
ekonomi dan sosial. Era
baru Pandemi Covid-19 mengubah
wajah politik di beberapa negara di belahan dunia. Beberapa pemimpin populis
kehilangan pamornya—bahkan di antaranya mengalami kekalahan dalam pemilu.
Presiden AS Donald Trump, misalnya, mengalami kekalahan dalam pemilu presiden
di AS beberapa waktu lalu. Riset Brodeur dkk (2020) menunjukkan, efek
penanganan Covid-19 yang buruk berkontribusi pada kekalahan Trump dalam
pemilu, terutama pada daerah urban dan swing states (seperti Arizona,
Georgia, Pennsylvania, dan Wisconsin) yang memiliki tingkat penyebaran
Covid-19 yang tinggi. Dalam riset tersebut,
Brodeur menunjukkan bahwa pemilih yang tinggal di negara bagian dengan
tingkat penyebaran Covid-19 yang tinggi, kecil kemungkinannya akan memilih
Trump. Menurut prediksi Brodeur, Trump berpotensi menang dalam pemilu bila
mampu mempertahankan angka penyebaran Covid-19 di kisaran 5-10 persen pada
beberapa negara yang tinggi penyebaran Covid-19. Riset itu juga
mengonfirmasi bahwa efek pandemi secara statistik lebih tinggi pengaruhnya
dibandingkan kondisi ekonomi. Hal ini tampak dari tak ditemukannya indikasi
peralihan suara dari Trump ke Biden pada daerah-daerah dengan tingkat
pengangguran yang tinggi. Kekalahan lainnya juga
terjadi pada partai besutan Narendra Modi, BJP, yang kalah dalam pemilu pada
beberapa negara bagian di India. Penanganan Covid-19 yang tak terkendali dan
kebijakan Modi yang tetap melaksanakan pemilu saat situasi kasus positif
Covid-19 naik tajam, memberi efek buruk pada suara BJP. Partai ini mengalami
kekalahan di beberapa negara bagian berpenduduk besar seperti Benggal Barat,
Kerala dan Tamil Nadu (Gettleman & Kumar, 2021). Karakter
baru Tantangan ketidakpastian
yang masih tinggi, baik pada aspek kesehatan, ekonomi maupun perubahan
demografi penduduk yang terjadi, mendorong kita untuk membutuhkan
kepemimpinan dengan karakter baru pada Pilpres 2024. Perubahan demografi
pemilih secara tak langsung akan mengubah lanskap kepemimpinan nasional pada
2024. Beberapa perubahan di tingkat masyarakat yang terjadi itu adalah
terjadinya urbanisasi di mana masyarakat yang tinggal di daerah urban akan
semakin besar dibandingkan yang tinggal di daerah perdesaan (rural). Hal ini berkonsekuensi
pada meningkatkan problem-problem daerah urban seperti kemiskinan, munculnya
daerah kumuh, kurangnya akses terhadap air bersih, kualitas kesehatan dan
sebagainya. Perubahan demografi
lainnya berdasarkan Sensus Penduduk 2020 adalah meningkatnya jumlah penduduk
dari kelompok usia muda yaitu Generasi Z (berusia 8-23 tahun) dan Milenial
(berusia 24-39 tahun) yang proporsinya mencapai 53,81 persen dari total
populasi Indonesia pada 2020 (BPS, 2021). Meningkatnya proporsi penduduk
berusia muda ini juga memengaruhi terjadinya peningkatan akses publik ke
internet dan media sosial. Mengingat tantangan ke
depan yang semakin kompleks dan tidak pasti kita membutuhkan karakter
kepemimpinan baru pada 2024. Kepemimpinan nasional pasca Covid-19 paling
tidak harus memiliki beberapa karakteristik utama. Pertama, kepemimpinan
berorientasi hasil. Pemimpin era baru pasca Covid-19 harus mampu memadukan
antara karakter, style dan nilai kepemimpinan dengan performa yang bisa
diukur, dinilai, dan dirasakan manfaatnya oleh publik. Kedua, kepemimpinan
berbasis nilai (value). Studi Copeland (2014) menunjukkan tiga karakter utama
kepemimpinan model ini, di antaranya, autentisitas, (komitmen) etik, dan
transformatif. Di tengah situasi yang tak pasti dan berubah, autensitas
pemimpin mutlak diperlukan. Pemimpin yang autentik mempunyai gagasan dan
platform kebijakan yang terukur, punya komitmen etik yang kuat serta mampu
mendorong terjadinya perubahan di tingkat masyarakat. Ketiga, kepemimpinan
berbasis bukti. Di situasi politik dan ekonomi ke depan yang tak dapat
diprediksi secara tepat, proses pembuatan kebijakan publik harus berdasarkan
bukti dan data. Pemerintah harus didukung tim panel ahli untuk mendesain
kebijakan yang terencana dan partisipatoris. Keempat, kepemimpinan
teknokratis yang menggabungkan kemampuan manajerial, basis pengetahuan dan
pengalaman memimpin. Kelima, kepemimpinan yang punya visi ekonomi jangka
panjang untuk mewujudkan keinginan Indonesia untuk lepas dari jerat negara
berpendapatan menengah (middle-income trap) pada 2045. Untuk itu, kepemimpinan
nanti harus terbuka dengan dunia usaha dan investasi, sebagai satu entitas
penting dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam perubahan tren
kepemimpinan pasca-Covid-19 ke depan, diperkirakan gaya kepemimpinan
kharismatik menjadi kurang relevan di tengah tantangan yang berat dan sulit
diprediksi. Tantangan ke depan yang
kompleks, tak efektif lagi diselesaikan dengan pendekatan kepemimpinan
personal yang dominan dan kuat. Di situasi pasca-Covid-19, kita butuh
kepemimpinan yang mampu membangun jejaring, berkolaborasi dengan multipihak
serta percaya sains dan riset ilmiah. Ke depan dalam situasi
yang berubah, pemimpin populer mungkin masih dapat respons tinggi dari
publik. Namun, lebih dari itu kita butuh pemimpin yang punya visi politik
jangka panjang dan kompetensi yang jelas. Apalagi, pada 2025 nanti,
pemerintah baru pasca-Pilpres 2024 akan menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJPN) untuk periode 20 tahun ke depan yaitu 2025-2045: tepat 100
tahun Indonesia merdeka. Pemimpin 2024 nanti tak
hanya yang memiliki kemampuan menggerakkan, menginspirasi dan memobilisasi
publik, tetapi yang lebih penting adalah kemampuan berpikir strategis dan
memanfaatkan sumber daya manusia Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar