Persekusi
dalam Negara Hukum
Bambang Soesatyo ; Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar;
Presidium Nasional
KAHMI 2012–2017
|
KORAN
SINDO, 07
Juni 2017
Persekusi harus dilihat sebagai tindakan masyarakat sipil
meruntuhkan kekuatan dan wibawa negara di hadapan para korban. Maka, negara sekali-kali tidak boleh
menoleransi aksi-aksi persekusi. Siapa pun pelakunya dan sebesar apa pun
kekuatan yang mendukungnya, negara wajib merespons aksi persekusi dengan
sikap dan tindakan yang tegas, pun lugas. Akan terbangun persepsi negatif di
benak publik jika aksiaksi persekusi tidak segera direspons. Pertama, negara
akan diasumsikan lemah dan kehilangan wibawa, karena ada orang atau
sekumpulan warga sipil bisa bertindak semenamena.
Para korban akan merasa tidak terlindungi oleh negara.
Padahal, sebagai negara hukum, negara menggenggam kewenangan mutlak untuk
mewujudkan keamanan, ketertiban umum, dan memberi perlindungan maksimal
kepada setiap warga negara. Kedua, masyarakat juga akan berasumsi bahwa di
negara ini tidak ada kepastian hukum. Setiapmasalahbisadiselesaikan oleh para
pihak yang bersengketa menurut cara dan pilihan tindakan masing-masing, tanpa
harus memedulikan hukum formal maupun peraturan perundang- undangan yang
berlaku. Kalau sudah begitu, publik yang awam hukum pun akan berpendapat
bahwa klaim Indonesia sebagai negara hukum tak lebih dari pepesan kosong.
Ketiga, citra semua institusi dan instrumen penegak hukum
akan buruk di mata masyarakat. Tak hanya bercitra buruk, tetapi masyarakat
juga akan menilai institusi penegak hukum lemah karena tidak mampu melindungi
dan mengayomi masyarakat. Tidak mampu menangkal tindakan semena-mena yang
dilakukan oknum atau sekumpulan orang. Ada institusi penegak hukum, tetapi
penegakan hukum tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Rasa keadilan
masyarakat akan tersakiti karena hakikat supremasi hukum tidak hadir dalam
wujud nyata.
Sangat mudah dimengerti bahwa menoleransi aksi-aksi
persekusi, sekecil apa skala kasusnya, tidak hanya menyakiti para korban,
tetapi pada gilirannya bisa menimbulkan kerusakan besar. Pembiaran atas
aksi-aksi persekusi akan merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hukum material dan hukum formal akan kehilangan fungsi dan kekuatannya,
karena kuasa untuk menetapkan sebuah kebenaran dan kesalahan, serta kuasa
untuk menjatuhkan hukuman, ada dalam genggaman orang atau kumpulan warga yang
bebas melancarkan aksi-aksi persekusi.
Sebagai negara hukum, Indonesia harus konsisten.
Konsistensi negara hukum harus ditunjukkan dengan tidak menoleransi aksi
persekusi. Bukan kepada siapasiapa, tetapi konsistensi itu harus ditunjukkan
dan dibuktikan kepada segenap elemen rakyat Indonesia. Negara harus tampil
dan bertindak all out mengeliminasi aksi-aksi persekusi. Tidak boleh ada
toleransi sekecil apa pun bagi orang atau sekumpulan orang yang nyata-nyata
melakukan aksi persekusi. Sebab, memberi toleransi bagi pelanggar hukum akan
melahirkan preseden.
Untuk merespons aksi persekusi, publik tentu akan berharap
kepada Polri serta instrumen penegak hukum lain yang diberi wewenang menjaga
dan memelihara ketertiban umum pada lingkungan pemukiman. Namun, penindakan
terhadap pelaku persekusi tentu menjadi wewenang polisi. Kelambanan pada
aspek penindakan terhadap pelaku persekusi inilah yang belakangan banyak
dikeluhkan masyarakat. Selain itu, dalam beberapa bulan terakhir ini ada
gejala maraknya aksi persekusi, tetapi tidak terdeteksi oleh Polri dan
instansi penegak hukum lainnya.
Kasus persekusi yang terungkap belakangan ini lebih karena
inisiatif masyarakat memanfaatkan media sosial. Kalaupun ada kasus persekusi
yang dilaporkan kepada pihak berwajib oleh korban, penanganannya tidak
menyelesaikan masalah. Seorang dokter yang menjadi korban aksi persekusi
merasakan betul keawaman polisi menangani kasusnya. Dia sampai harus
mengungsi guna menghindari intimidasi dari para pelaku persekusi.
Kecenderungan ini sudah barang tentu mendorong Polri untuk meningkatkan kemampuan
mendeteksi dan menindak pelaku persekusi.
Oleh karena aksi persekusi diduga terjadi di berbagai
daerah, kemampuan atau kompetensi jajaran kepolisian daerah pun harus
ditingkatkan. Polisi harus sigap agar para korban merasakan kehadiran negara
dan penegak hukum untuk menyelesaikan persoalan secara proporsional.
Persuasi
Aksi persekusi menjadi sorotan masyarakat setelah
terungkapnya pengalaman buruk yang dialami Fiera Lovita, seorang dokter di
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Solok, Sumatera Barat, dan seorang remaja
berusia 15 tahun berinisial M di kawasan Cipinang, Jakarta Timur. Keduanya
dicari, disergap, dan diintimidasi berhari- hari oleh sekelompok orang.
Kendati masalahnya sudah dilaporkan ke pihak kepolisian setempat, Fiera
Lovita terus saja diteror. Tak tahan, Fiera pun keluar dari Kota Solok menuju
Jakarta.
Sementara remaja M beserta keluarganya harus dievakuasi
oleh polisi ke tempat lain guna menghindari intimidasi lanjutan. Publik
prihatin dan bersimpati kepada keduanya. Namun, terungkapnya dua kasus ini
telah menyadarkan semua pihak bahwa aksi persekusi sedang marak. Menurut
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), ada indikasi bahwa persekusi
dilakukan secara sistematis karena terjadi di beberapa wilayah dan dalam
jangka waktu yang bersamaan. Dan, Southeast
Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat bahwa setidaknya
ada 59 kasus persekusi yang terjadi sejak Januari hingga Mei 2017.
Korban ratarata mengalami penderitaan fisik maupun psikis.
Karena itu, untuk kasus persekusi yang perkaranya sudah dilaporkan dan sedang
ditangani, Polri harus menindak tegas para pelakunya. Tindakan tegas dan
lugas sangat diperlukan untuk menumbuhkan efek jera. Selain itu, tindakan
tegas dari Polri juga bertujuan memberi bukti kepada publik bahwa Polri mampu
mendeteksi dan mengungkap kasus pidana persekusi. Dengan bertindak tegas,
Polri secara tidak langsung memberi pesan kepada masyarakat luas bahwa siapa
pun tidak boleh bertindak semena-mena, apalagi bertindak main hakim sendiri.
Publik sudah merespons maraknya aksi persekusi, antara
lain, ditandai dengan langkah Koalisi Masyarakat Sipil Antipersekusi yang
membuka hotline Crisis Center. Polri diharapkan melangkah lebih maju.
Bagaimanapun, pelaku aksi persekusi sudah merampas wewenang polisi dalam
menangani sebuah persoalan. Pelaku persekusi langsung menetapkan seseorang
bersalah, menjatuhkan hukuman, bahkan mengintimidasi. Bukan kali ini saja
wewenang Polri dirongrong oleh sekumpulan orang. Aksi sweeping oleh
sekumpulan warga sipil terhadap kegiatan publik menjadi bentuk lain dari
rongrongan tersebut.
Di tahun-tahun terdahulu, aksi sweeping itu sering
berujung pada tindakan perusakan atau penganiayaan. Menjelang akhir Mei 2017,
Polri kembali mengingatkan kepada semua elemen masyarakat untuk tidak
melakukan sweeping. Baik aksi persekusi maupun sweeping oleh warga sipil
sudah merusak citra Indonesia sebagai negara hukum dan juga merongrong Polri.
Dalam kasus sweeping, Polri memang telah melakukan sejumlah penindakan.
Namun, aksi sweeping sesekali masih sering terjadi. Artinya, penindakan belum
menuntaskan masalah.
Maka, Polri juga perlu mengedepankan langkah persuasi.
Apalagi, baik aksi persekusi maupun sweepingcenderung dilakukan oleh elemen
masyarakat yang relatif mudah diidentifikasi. Para pelaku umumnya anggota
dari sebuah organisasi yang sama. Daripada terus menerus melakukan
penindakan, jauh lebih ideal jika Polri melakukan pendekatan kepada pimpinan
organisasi bersangkutan dan mendorong mereka lebih bersungguh- sungguh dalam
mengendalikan anggota organisasinya.
Pimpinan dan anggota organisasi bersangkutan harus taat
hukum serta peraturan perundang- undangan yang berlaku di negara ini.
Pimpinan organisasi itu tidak boleh lagi membiarkan anggotanya melakukan
tindakan semena-mena dalam bentuk aksi persekusi atau sweeping. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar