Rabu, 07 Juni 2017

Bung Karno di Kampung Akuarium

Bung Karno di Kampung Akuarium
JJ Rizal  ;   Sejarawan
                                                   KORAN SINDO, 06 Juni 2017



                                                           
Seberapa bersungguh-sungguh Jakarta dengan sejarah? Mungkin bisa dimulai jawabannya dengan arti Kampung Akuarium bagi Bang Ali yang disebut Susan Blackburn— penulis Jakarta: A History— sebagai kado terakhir Soekarno yang terbaik bagi Jakarta.

Sebagai gubernur, dia ingin memenuhi panggilan tugas yang oleh Soekarno “disuplant” ke dalam dirinya, salah satunya tentang konsep Jakarta yang melaut. Laut adalah aspek yang mengutuhkan Jakarta karena memberi unsur air dari konsep Soekarno bahwa ibu kota harus menjadi wajah muka Indonesia yang disebut tanah air.

Inilah alasan mengapa Bang Ali mengarahkan pandangan ke Teluk Jakarta. Ia menstimulus dengan membentuk otorita pembangunan Samudra Jaya Ancol sebagai wajah bahari modern. Bersamaan ia memberi keseimbangan ke masa lalu Jakarta sebagai kota bandar dengan merevitalisasi kawasan kota tua Jakarta, Oud Batavia maupun Sunda Kelapa.

Selain bekas stadhuis dijadikan Museum Fethullah, Raad van Justitie dipugar untuk Museum Seni Rupa. Di pengujung masanya, ia memugar bekas gudang rempah kompeni untuk Museum Bahari. Sekaligus direhabnya pelelangan Pasar Ikan dan terutama Kampung Akuarium. Pemugaran yang diikuti penerbitan banyak perda perlindungan bangunan tua di Teluk Jakarta dan di tengah kotanya seraya membuat Jakarta menjadi pemilik museum terbanyak di Asia Tenggara.

Terlebih penting dengan proyek itu Bang Ali memutus sikap mendua masyarakat terhadap arsitektur warisan kolonial: menerima dan merawat atau menghancurkan. Ia mewariskan contoh membangun Jakarta di atas ibu kota kolonial tanpa dibebani sentimen nasionalisme sempit yang memusuhi ingatan tentang masa kolonial yang maujud di ruang kota.

Bang Ali justru memilih mengambil alih arsitektural dan ruang warisan kolonial serta ia “suplant” dengan cita-cita kota republik Soekarno. Bukan hanya dalam artian bangunan, bahkan fungsi kelembagaan yang diperankan di masa lalu pun dilanjutkan. Kampung Akuarium contohnya. Ia pulihkan cita-cita Dr. Sunier yang ditunjuk Departemen van Landbouw, Nijverheid en Handel sebagai direktur pertama dan menyatakan Kampung Akuarium adalah Laboratorium voor Onderzoek der Zee atau lembaga penelitian laut pemerintah Hindia Belanda, tetapi yang juga dibuka untuk umum. Sebab itu di Kampung Akuarium selain pengunjung, juga berseliweran para siswa sekolah kelautan dan peneliti mancanegara.

Mereka tinggal di kamar-kamar yang menghadap pelabuhan Sunda Kelapa. Atmosfer pengetahuan marine biology terasa lebih kuat dengan adanya perpustakaan kelautan yang menjadi “pintu gerbang” aneka buku dan jurnal sebagai medium dialog para penelitinya dengan komunitas ilmiah laut dunia.

Saking bangga dengan Kampung Akuarium dalam Gita Jaya, memoar serah-terima jabatannya yang terbit pada 1977, Bang Ali menyebutnya sebagai salah satu tanda keberhasilan pembangunan sektor pariwisata rakyat Jakarta (public recreation). Kebanggaan itu sebenarnya sudah diperlihatkan dalam Jakarta Membangun yang terbit 1972 dengan menyebut Kampung Akuarium sebagai “tujuan pariwisata kebun binatang laut satu-satunya di Indonesia”.

Kualitas kebun binatang laut itu memang bukan isapan jempol. Kronikus Jakarta, Firman Lubis, mencatat, “Terutama hari Minggu, banyak yang berkunjung ke Kampung Akuarium yang mempertontonkan berbagai macam ikan hias laut dengan terumbu karang yang indah. Bagus dan artistik sehingga senang melihatnya. Pada akhir 1970-an, akuarium ini ditutup.

Entah kenapa, mungkin sudah tidak terurus lagi.” Dalam buku Kunjungan ke Jakarta Ibukota-RI yang terbit 1983 karya SW Siswoyo yang berisi informasi kawasan wisata kota Jakarta dan diberi pengantar Gubernur R Soeprapto tidak ada lagi Kampung Akuarium. Muncul pembahasan panjang Samudra Jaya Ancol yang memiliki dua jenis akuarium: air tawar dan air laut.

Dipaparkan juga para peneliti bekerja, salah satunya membuat pesut bisa beranak dalam kolam buatan manusia, sehingga menjadi bagian dari “pertunjukan pesut di dalam akuarium besar”. Ada masa Kampung Akuarium pernah mengalami bencana yang hampir melenyapkan keberadaannya saat kaca-kaca setebal 2 cm yang panjang dan lebar diturunkan di Pelabuhan Tanjung Priok pada 1921 ternyata sudah menjadi bubuk.

Begitu juga ketika kaca-kaca yang dipesan lagi tiba pada 1923 setahun kemudian pecah berantakan. Tetapi bencana berturut-turut itu tidak membuat Kampung Akuarium lenyap. Lain halnya dengan bencana yang datang setelah Bang Ali purnatugas. Sekali ini tidak selamat. Kampung Akuarium sebagai penanda aspek melaut Jakarta yang merepresentasikan tanah air pudar dengan cepat.

Dalam gambar besar Jakarta, memudarnya Kampung Akuarium dapat dibaca sebagai bagian dari gelombang “commersial thinking“ antara kaum modal dan pemerintah yang setelah Bang Ali selesai menjabat tak terkendali. Kejatuhan Kampung Akuarium disusul dengan lenyapnya pantai publik di Jakarta.

Laut, pantai yang semula dalam konsep kota Soekarno bagian dari modernisme sosialis, bergeser ke modernisme pasar di bawah asuhan bisnis dan property market. Dalam konteks modernisme pasar itulah, kampung-kampung di tengah kota dan di pesisir Jakarta distigmatisasi sebagai “sarang keburukan”. Tak terkecuali Kampung Akuarium.

Penggusuran kampung itu pada 11 April 2016 dapat dilihat dalam konteks itu. Sejarahnya semakin terkubur, sedang stigmatisasinya kian meninggi. Dikatakan bahwa alasan penggusuran untuk menata kawasan sejarah bahari Jakarta, tetapi suara Gubernur Ahok yang santer justru soal kampung itu sarang penyakit TBC dan maling tanah negara.

Bukan sejarawan atau arkeolog, melainkan polisi dan tentara yang pertama diajaknya bicara dan direstui membuka posko di Kampung Akuarium. Selang setahun kemudian— saat Kampung Akuarium mengenang peristiwa penggusuran yang merendahkan martabat kemanusiaan mereka—sejarah tak juga dapat kesempatan bicara menyusul kekalahan Ahok untuk menjabat lagi sebagai gubernur.

Ia menyatakan akan menggusur warga yang masih bertahan di reruntuhannya. Tak ada perubahan sampai kemudian Ahok masuk bui dan menulis surat pengunduran dirinya. Kini sudah ada gubernur baru dan mungkin saatnya mendengar Kampung Akuarium dari atas reruntuhannya mengungkapkan sejarah.

Agar dapat kembali menaruh pembangunan Kampung Akuarium dalam satu kawasan wisata terpadu Teluk Jakarta berbasis aspirasi dan inspirasi Bung Karno, lalu Bang Ali tentang betapa pentingnya Ibu Kota memiliki penanda aspek laut mengingat bentuknya sebagai archipelagic state atau negara laut yang utama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar