7
Menit, 23 Rakaat
Muhammad Al-Fatih Hadi ; Anggota PPI Uni Emirat Arab;
Sedang menempuh
pendidikan di Al-Ain
|
DETIKNEWS, 06 Juni 2017
"Orang Indonesia itu riya' banget dah, udah haji aja
pamer pake gelar-gelar haji segala"
Kata itu keluar dari seorang teman, yang cukup saya kagumi
ilmu agamanya, dan saya saat itu menanggapinya hanya dengan manggut-manggut.
Sampai akhirnya saya membaca sejarah soal asal-usul gelar
haji di Indonesia.
Gelar haji bukanlah berasal dari amalan Rasulullah. Nabi
bukan bernama H. Muhammad SAW, begitu pula para sahabat tidak memakainya.
Tidak ada yang namanya H. Abu Bakar As-Shiddiq, H. Umar bin Khattab, maupun
H. Utsman bin Affan.
Karenanya, ada sejumlah ulama (termasuk teman saya itu),
yang mengganggap penggunaan gelar haji hanyalah bid'ah dan juga mengandung
unsur riya'.
Tapi, bagaimana sebenarnya asal-usul gelar haji di
Indonesia?
Gelar haji di Indonesia berawal dari banyaknya propaganda
anti-VOC pada 1670-an yang dibawa oleh orang-orang yang pulang dari berhaji,
dan menuntut ilmu di Makkah selama beberapa saat, karena di sana mereka
belajar tentang pentingnya jihad melawan penjajah.
Hal itu juga yang berujung pada pemberontakan Imam Bonjol
dan Pangeran Diponegoro.
Maka agar tidak kehilangan pengaruh politik, dalam
Peraturan Pemerintah Belanda Staatsbald akhirnya dimulai aturan untuk
mencantumkan gelar haji kepada penduduk pribumi yang pulang dari Makkah.
Tujuannya, agar begitu terjadi pemberontakan mereka dengan mudah bisa
menemukan siapa saja yang kira-kira telah menyulut api.
Sejarah gelar haji, berawal dari perjuangan mujahid
Nusantara melawan penjajah, bukan berawal dari niat untuk bid'ah, apalagi
riya'.
Akhir-akhir ini beredar video yang saya lihat sudah selama
beberapa tahun berturut-turut selalu beredar ketika bulan Ramadan tiba.
Video itu memperlihatkan praktik Salat Tarawih di sebuah
pesantren di Blitar, Jawa Timur yang melaksanakan Tarawih 23 rakaat hanya
selama 7 menit.
Tapi, apa yang menyebabkan hal itu terjadi?
Rupanya Tarawih yang dilaksanakan di Pesantren Mamba'ul
Hakim di Desa Mantenan itu mempunyai sejarah yang panjang ke belakang hingga
ke era 1800-an.
Berawal dari kebijakan kerja rodi oleh VOC dan
pemerintahan Hindia Belanda (yang oleh mereka dihaluskan menjadi heerensteinten atau kerja wajib
negara). Hal itu membuat banyak orang pribumi harus melaksanakan kerja yang
hanya diberi upah sedikit itu siang dan malam.
Akhirnya tercetuslah ide Tarawih 23 rakaat selama 7 menit
itu, yang hanya melaksanakan rukun-rukun Salat Tarawih. Itu dilakukan agar
warga yang melaksanakan Tarawih bisa kembali dengan cepat untuk bekerja.
Sejarah Tarawih 23 rakaat selama 7 menit, berawal dari
keinginan orang Muslim Nusantara dahulu untuk tetap beribadah di bulan
Ramadan walaupun di bawah tekanan kerja rodi VOC dan pemerintahan Hindia
Belanda.
Kita sebagai muslim diwajibkan untuk ber-tabayyun atas
segala hal, cek dan ricek atas berbagai informasi yang melimpah ruah.
Karenanya, seorang muslim yang sudah belajar ilmu agama tidak boleh merasa
cukup, tapi juga harus mempelajari ilmu sosial, ekonomi, dan budaya yang
meliputinya.
Itu semua mengingatkan saya pada kalimat yang paling
sering diucapkan Imam Malik, salah satu imam besar dari empat madzhab. Tiga
kata saja kalimat itu: "Saya tidak tahu." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar