MEDIA massa antara lain
dikategorikan ke dalam dua model, yakni cool dan hot (John
Vivian, 2008). Dalam media cool,
hubungan massa dengan medianya (partisipasinya) adalah pasif, tidak
intensif, tak perlu konsentrasi. Perhatikan, kita menonton TV sambil bicara
dengan tamu, makan bubur, makan kacang, mengangkat telepon seluler, dan
sesekali ke kamar mandi.
Tayangan TV dapat ditonton semua
umur. Pemirsanya tak perlu berpendidikan. Syaratnya: asal penglihatannya
sehat. Efek tirunya tinggi. Dengan demikian, memang benar media TV mudah
diakses siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.
Penonton sasaran
TV swasta bersiaran menasional
dari Jakarta (RCTI, TVOne, SCTV, dll), kita kenal sebagai TV komersial.
Pendapatannya bergantung pada iklan yang 20 persen dari jam tayangnya.
Sejauh ini, mereka masih
menikmati kemudahan siaran langsung dari Jakarta sampai ke daerah-daerah
tertentu. Sebetulnya mereka sudah harus masuk dalam periode siaran
berjaringan. Mereka masih keberatan karena antara lain merugikan: uang
iklan harus berbagi dengan anggota jaringannya.
Sebanyak 10 stasiun TV swasta
tersebut paling tinggi bersiaran terbatas untuk 10 kota besar dan
sekitarnya, dengan jumlah pemancar 49 buah. Sebaliknya, TVRI punya pemancar
389 buah dan (menurut UU) boleh bersiaran menasional. Jelas, masyarakat
yang dijangkau tayangan TVRI jauh lebih besar ketimbang TV swasta. TVRI masih
boleh beriklan 15 persen meski sudah dibiayai Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN).
Tidaklah heran kemudian jika
parpol akan berebut jam tayang TVRI. Mereka ingin mendapatkan jam tayang
berlebih tanpa bayar mahal. Siapa parpol yang mencoba menyusup ke TVRI
dengan cara yang kurang terpuji akan mendapat tekanan dari parpol-parpol
lain di DPR. Bukan tidak mungkin parpol-parpol ingin bancakan ramai-ramai
memanfaatkan TVRI. Namun, jika yang terjadi sebaliknya, parpol-parpol
membersihkan pat-pat gulipat di Komisi I dalam kaitan TVRI,
banyak orang yang akan mengacungkan jempol.
Tayangan dan anggaran
Mutu isi tayangan TVRI, untuk
sebagian, sudah mulai baik. Diskusi ditampilkan dengan kebebasan yang
terkendali, dicontohkan tayangan diskusi Soegeng Sarjadi. Tayangan daur
ulang untuk kalangan orang tua juga diadakan. Perhatikan ”Berpacu dalam
Melodi” dan pertunjukan musik dari kalangan bersenjata.
Namun, tidak sedikit program
yang mutunya masih bisa ditingkatkan. Sayangnya, ketersediaan tayangan yang
bermutu tersebut berbau kurang sedap. Tayangan dari luar negeri menunjukkan
asal dibeli dengan harga murah meski pengeluaran uangnya tak murah.
Demikian pula tayangan buatan sendiri, anggarannya cukup, tetapi hasilnya
buruk. Orang bisa saja kemudian menduga bahwa anggarannya ”disunat”.
Di banyak lembaga atau instansi,
terjadi permainan anggaran (APBN). Berlangsunglah kerja sama yang rapi
antara pihak luar, anggota DPR, dan pihak dalam.
Apakah di TVRI juga berlaku? Ada
gula ada semut. Orang kemudian bertanya: apa yang terjadi dengan rancangan
anggaran yang dibatalkan sebanyak Rp 400 miliar itu? Pemberhentian dan
pengangkatan jajaran struktural PNS dapat juga diduga berbau fulus. Adakah
orang yang berperan seperti Fathanah dalam kasus impor daging sapi? Belum
lagi kemungkinan yang terjadi pada belanja alat yang jumlahnya tidak
sedikit.
Hal-hal menarik
Ada dua kali rapat di DPR yang
menarik. Pertama, pada 21 Oktober 2013, DPR mengadakan rapat tertutup dalam
kaitan TVRI. Ujungnya DPR membentuk Panitia Kerja (Panja) TVRI, yang masa
kerjanya sampai akhir Desember 2013. Kedua, pada 19 November 2013, Direksi
TVRI dipanggil Komisi I, rapat berlangsung terbuka. Terjadi buka-bukaan,
baik menyangkut orang luar TVRI yang sangat berperan di TVRI ataupun orang
DPR. Tulisan ini tidak ingin masuk lebih dalam ke materi kasus-kasus.
Contoh ”hubungan baik” pihak
luar dengan TVRI tercium dengan adanya siaran tunda beberapa jam permulaan
konvensi sebuah parpol untuk menjaring calon-calon presiden. Tayangan
tersebut berdurasi 2 jam 23 menit, selesai sampai dini hari.
Mungkin ada orang dalam TVRI
yang menjanjikan agenda tersebut untuk ditayangkan malam itu juga. Janji
tersebut dilaksanakan, tetapi tidak berupa tayangan langsung (live).
Ini oleh anggota-anggota parpol di Komisi I dicurigai sebagai ada
intervensi politis. Orang juga bertanya, mengapa tayangan tersebut tidak
disingkat, misalnya menjadi satu jam?
TVRI dengan gampang mengatakan,
parpol lain akan mendapat kesempatan yang sama. Bagaimana mungkin TVRI
memberi kesempatan yang sama karena parpol-parpol yang lain tak
menyelenggarakan konvensi?
Menurut UU Penyiaran, kendali
arah TVRI berada di tangan dewan pengawas yang dipilih DPR (Komisi I).
Setelah diangkat Presiden, dewan pengawas memilih direksi. Jika terjadi
kesalahan direksi sebagai eksekutor, kesalahan juga harus dipikul dewan
pengawas. Dalam kaitan siaran konvensi parpol di atas, orang mempertanyakan
peran dewan pengawas. Apakah juga dewan pengawas mendukung independensi
yang ingin ditunjukkan oleh direksi?
Pernah ada anggota Dewan
Pengawas TVRI yang mengatakan, hubungan anggota DPR (Komisi I) dengan dewan
pengawas selesai ketika anggota dewan pengawas sudah terpilih. Kenyataannya
tidak seperti itu. Secara hukum, dewan pengawas masih harus
mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada Komisi I. Apabila
menyangkut independensi, hubungan Dewan Pengawas dan Direksi TVRI harus
tetap terjaga, tidak satu menekan yang lain.
Jangan karena begitu mudahnya
tayangan TV diakses (perhatikan John Vivian di awal tulisan ini), lalu
kondisi itu dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh pihak-pihak yang membuat
TVRI tidak independen. Independensi merujuk, TVRI harus berjarak sama jauh
dengan pihak-pihak luar yang punya kepentingan negatif. TVRI milik publik,
dari dan untuk publik, meski biayanya dari negara. TVRI bukan lagi corong
kekuasaan yang memerintah, apalagi kepanjangan tangannya. Mestinya tidak
ada kata tidak untuk menjadi independen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar