Kamis, 12 Desember 2013

TVRI, Bisakah Independen?

TVRI, Bisakah Independen?
S Sinansari Ecip  ;   Wartawan Senior
KOMPAS,  12 Desember 2013

  

MEDIA massa antara lain dikategorikan ke dalam dua model, yakni  cool dan hot (John Vivian, 2008). Dalam media cool, hubungan  massa dengan medianya (partisipasinya) adalah pasif, tidak intensif, tak perlu konsentrasi. Perhatikan, kita menonton TV sambil bicara dengan tamu, makan bubur, makan kacang, mengangkat telepon seluler, dan sesekali ke kamar mandi.
Tayangan TV dapat ditonton semua umur. Pemirsanya tak perlu berpendidikan. Syaratnya: asal penglihatannya sehat. Efek tirunya tinggi. Dengan demikian, memang benar media TV mudah diakses siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.

Penonton sasaran

TV swasta bersiaran menasional dari Jakarta (RCTI, TVOne, SCTV, dll), kita kenal sebagai TV komersial. Pendapatannya bergantung pada iklan yang 20 persen dari jam tayangnya.

Sejauh ini, mereka masih menikmati kemudahan siaran langsung dari Jakarta sampai ke daerah-daerah tertentu. Sebetulnya mereka sudah harus masuk dalam periode siaran berjaringan. Mereka masih keberatan karena antara lain merugikan: uang iklan harus berbagi dengan anggota jaringannya.

Sebanyak 10 stasiun TV swasta tersebut paling tinggi bersiaran terbatas untuk 10 kota besar dan sekitarnya, dengan jumlah pemancar 49 buah. Sebaliknya, TVRI punya pemancar 389 buah dan (menurut UU) boleh bersiaran menasional. Jelas, masyarakat yang dijangkau tayangan TVRI jauh lebih besar ketimbang TV swasta. TVRI masih boleh beriklan 15 persen meski sudah dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Tidaklah heran kemudian jika parpol akan berebut jam tayang TVRI. Mereka ingin mendapatkan jam tayang berlebih tanpa bayar mahal. Siapa parpol yang mencoba menyusup ke TVRI dengan cara yang kurang terpuji akan mendapat tekanan dari parpol-parpol lain di DPR. Bukan tidak mungkin parpol-parpol ingin bancakan ramai-ramai memanfaatkan TVRI. Namun, jika yang terjadi sebaliknya, parpol-parpol membersihkan pat-pat gulipat di Komisi I dalam kaitan TVRI, banyak orang yang akan mengacungkan jempol.

Tayangan dan anggaran

Mutu isi tayangan TVRI, untuk sebagian, sudah mulai baik. Diskusi ditampilkan dengan kebebasan yang terkendali, dicontohkan tayangan diskusi Soegeng Sarjadi. Tayangan daur ulang untuk kalangan orang tua juga diadakan. Perhatikan ”Berpacu dalam Melodi” dan pertunjukan musik dari kalangan bersenjata.

Namun, tidak sedikit program yang mutunya masih bisa ditingkatkan. Sayangnya, ketersediaan tayangan yang bermutu tersebut berbau kurang sedap. Tayangan dari luar negeri menunjukkan asal dibeli dengan harga murah meski pengeluaran uangnya tak murah. Demikian pula tayangan buatan sendiri, anggarannya cukup, tetapi hasilnya buruk. Orang bisa saja kemudian menduga bahwa anggarannya ”disunat”.

Di banyak lembaga atau instansi, terjadi permainan anggaran (APBN). Berlangsunglah kerja sama yang rapi antara pihak luar, anggota DPR, dan pihak dalam.

Apakah di TVRI juga berlaku? Ada gula ada semut. Orang kemudian bertanya: apa yang terjadi dengan rancangan anggaran yang dibatalkan sebanyak Rp 400 miliar itu? Pemberhentian dan pengangkatan jajaran struktural PNS dapat juga diduga berbau fulus. Adakah orang yang berperan seperti Fathanah dalam kasus impor daging sapi? Belum lagi kemungkinan yang terjadi pada belanja alat yang jumlahnya tidak sedikit.

Hal-hal menarik

Ada dua kali rapat di DPR yang menarik. Pertama, pada 21 Oktober 2013, DPR mengadakan rapat tertutup dalam kaitan TVRI. Ujungnya DPR membentuk Panitia Kerja (Panja) TVRI, yang masa kerjanya sampai akhir Desember 2013. Kedua, pada 19 November 2013, Direksi TVRI dipanggil Komisi I, rapat berlangsung terbuka. Terjadi buka-bukaan, baik menyangkut orang luar TVRI yang sangat berperan di TVRI ataupun orang DPR. Tulisan ini tidak ingin masuk lebih dalam ke materi kasus-kasus.

Contoh ”hubungan baik” pihak luar dengan TVRI tercium dengan adanya siaran tunda beberapa jam permulaan konvensi sebuah parpol  untuk menjaring calon-calon presiden. Tayangan tersebut berdurasi 2 jam 23 menit, selesai sampai dini hari.

Mungkin ada orang dalam TVRI yang menjanjikan agenda tersebut untuk ditayangkan malam itu juga. Janji tersebut dilaksanakan, tetapi tidak berupa tayangan langsung (live).  Ini oleh anggota-anggota parpol di Komisi I dicurigai sebagai ada intervensi politis. Orang juga bertanya, mengapa tayangan tersebut tidak disingkat, misalnya menjadi satu jam?

TVRI dengan gampang mengatakan, parpol lain akan mendapat kesempatan yang sama. Bagaimana mungkin TVRI memberi kesempatan yang sama karena parpol-parpol yang lain tak menyelenggarakan konvensi?

Menurut UU Penyiaran, kendali arah TVRI berada di tangan dewan pengawas yang dipilih DPR (Komisi I). Setelah diangkat Presiden, dewan pengawas memilih direksi. Jika terjadi kesalahan direksi sebagai eksekutor, kesalahan juga harus dipikul dewan pengawas. Dalam kaitan siaran konvensi parpol di atas, orang mempertanyakan peran dewan pengawas. Apakah juga dewan pengawas mendukung independensi yang ingin ditunjukkan oleh direksi?

Pernah ada anggota Dewan Pengawas TVRI yang mengatakan, hubungan anggota DPR (Komisi I) dengan dewan pengawas selesai ketika anggota dewan pengawas sudah terpilih. Kenyataannya tidak seperti itu. Secara hukum, dewan pengawas masih harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada Komisi I. Apabila menyangkut independensi, hubungan Dewan Pengawas dan Direksi TVRI harus tetap terjaga, tidak satu menekan yang lain.

Jangan karena begitu mudahnya tayangan TV diakses (perhatikan John Vivian di awal tulisan ini), lalu kondisi itu dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh pihak-pihak yang membuat TVRI tidak independen. Independensi merujuk, TVRI harus berjarak sama jauh dengan pihak-pihak luar yang punya kepentingan negatif. TVRI milik publik, dari dan untuk publik, meski biayanya dari negara. TVRI bukan lagi corong kekuasaan yang memerintah, apalagi kepanjangan tangannya. Mestinya tidak ada kata tidak untuk menjadi independen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar