Kamis, 12 Desember 2013

“15 Tahun Melawan Korupsi”

“15 Tahun Melawan Korupsi”
Reza Syawawi  ;   Peneliti Hukum dan Kebijakan
Transparency International Indonesia
KOMPAS,  12 Desember 2013

  

KEJATUHAN Soeharto pada tahun 1998 jadi tonggak awal dilakukannya upaya-upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dalam hitungan sederhana, 15 tahun sudah agenda pemberantasan korupsi dijalankan, sudah lima rezim pemerintahan berganti, tetapi korupsi tetap saja bergeming.

Di tingkat global, penilaian atas upaya pemberantasan korupsi selalu menempati urutan sebagai negara terkorup. Hasil survei Corruption Perception Index (CPI) 15 tahun yang lalu (1998) menempati urutan ke-80 dari 85 negara yang disurvei dengan skor 2.0. Sepuluh tahun kemudian (2008), penilaian CPI atas kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia hanya bergeser sedikit menjadi 2.6 dengan menempati posisi ke-126 dari 180 negara yang disurvei.

Pada 2013, posisi Indonesia menurut CPI tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya (2012) dengan skor 32 (0-100; 0 = sangat korup, 100 = sangat bersih). Ini artinya, dalam jangka 15 tahun, Indonesia masih dipersepsikan sebagai negara yang tidak serius dalam memberantas korupsi.

Jika diselisik ke belakang, dari sisi regulasi ada banyak sekali peraturan yang dilahirkan untuk menyokong upaya pemberantasan korupsi. Di sektor penindakan, misalnya, setidaknya ada beberapa yang telah dihasilkan. Sebagai contoh, adanya UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), UU Pengadilan Tipikor, UU Komisi Pemberantasan Korupsi, UU Pencucian Uang, dan sebagainya.

Dalam implementasinya, ada beberapa kasus korupsi yang menggunakan peraturan tersebut secara berlapis. Misalnya dengan menggunakan UU Tipikor sekaligus UU Pencucian Uang. Kombinasi kedua regulasi ini dianggap senjata paling ampuh untuk memberikan efek jera.

Sayangnya, pemberantasan korupsi bukanlah semata-mata soal penindakan. Perlu upaya lain di bidang pencegahan untuk meminimalkan masuknya sebuah perbuatan ke ranah penindakan.

Banyak pihak menyebutkan, problem korupsi di Indonesia mayoritas berasal dari sektor politik. Ini bisa dibuktikan dengan banyaknya pelaku korupsi yang berasal dari institusi politik, misalnya DPR dan kepala daerah. Di samping itu, keruntuhan institusi yang dipercaya publik juga disebabkan sikap politik yang korup. Misalnya dalam pengisian jabatan yang memerlukan proses politik, sebut saja hakim konstitusi, hakim MA, KPK, Komisi Yudisial, dan sebagainya.

Problem korupsi politik di Indonesia hanya bisa diselesaikan jika instrumen politik beserta perangkatnya diperbaiki. Jika mengacu pada rekomendasi untuk memperbaiki CPI, ada dua institusi strategis yang harus di-reform, yaitu parlemen dan partai politik.

Kedua lembaga ini adalah kelompok yang paling berkontribusi dalam memperburuk situasi pemberantasan korupsi. Dalam banyak fakta, keduanya justru saling bersinergi melawan gerakan pemberantasan korupsi.

Momentum politik

Partai politik tidak memperlihatkan itikad baik untuk mendukung agenda pemberantasan korupsi. Setidaknya bisa dilihat dari sikap semua parpol terhadap keterbukaan dan pertanggungjawaban pendanaan politiknya.

Di tingkat parlemen hal yang lebih kurang sama juga terjadi. Selaku lembaga pemegang kuasa anggaran, praktik mafia anggaran melalui proyek-proyek pemerintah kerap menjadi bancakan bagi para politisi. Bahkan tak jarang parpol juga jadi bagian dari konspirasi mafia anggaran yang digunakan untuk mendanai kegiatan politik.

Dengan semua fakta ini, publik selaku pihak yang paling dirugikan tidak memiliki instrumen yang memadai untuk mengoreksi parlemen dan partai politik secara langsung. Dalam kerangka politik dan hukum, koreksi publik atas parlemen dan partai politik hanya bisa dilakukan sekali dalam lima tahun melalui penyelenggaraan pemilu.

Praktis hanya tersedia satu instrumen yang bisa digunakan publik untuk melakukan recall terhadap anggota parlemen dan parpol yang korup. Selama ini publik tak dimungkinkan untuk melakukan gerakan mencabut mandat ketika wakilnya tidak lagi memperjuangkan kepentingan publik yang diwakilinya.

Pemilu 2014 adalah momentum politik yang bisa digunakan untuk tidak memilih parpol dan anggota parlemen yang korup. Sikap politik publik yang hanya bisa disalurkan sekali dalam lima tahun akan sangat menentukan arah gerakan pemberantasan korupsi akan dibawa dalam lima tahun ke depan.

Di saat masyarakat Indonesia akan menyongsong Pemilu 2014, momentum peringatan Hari Antikorupsi Sedunia pada 9 Desember 2013 harusnya menjadi refleksi bagi publik untuk menentukan sikap politik yang antikorupsi. Kalau saja publik menyadari ini, bukan hal yang tidak mungkin jika kegagalan 15 tahun gerakan melawan korupsi akan dituntaskan dalam lima tahun ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar