KEJATUHAN Soeharto pada tahun
1998 jadi tonggak awal dilakukannya upaya-upaya pemberantasan korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Dalam hitungan sederhana, 15 tahun sudah agenda
pemberantasan korupsi dijalankan, sudah lima rezim pemerintahan berganti,
tetapi korupsi tetap saja bergeming.
Di tingkat global, penilaian
atas upaya pemberantasan korupsi selalu menempati urutan sebagai negara
terkorup. Hasil survei Corruption
Perception Index (CPI) 15 tahun yang lalu (1998) menempati urutan ke-80
dari 85 negara yang disurvei dengan skor 2.0. Sepuluh tahun kemudian
(2008), penilaian CPI atas kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia hanya
bergeser sedikit menjadi 2.6 dengan menempati posisi ke-126 dari 180 negara
yang disurvei.
Pada 2013, posisi Indonesia
menurut CPI tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya (2012) dengan skor
32 (0-100; 0 = sangat korup, 100 = sangat bersih). Ini artinya, dalam
jangka 15 tahun, Indonesia masih dipersepsikan sebagai negara yang tidak
serius dalam memberantas korupsi.
Jika diselisik ke belakang, dari
sisi regulasi ada banyak sekali peraturan yang dilahirkan untuk menyokong
upaya pemberantasan korupsi. Di sektor penindakan, misalnya, setidaknya ada
beberapa yang telah dihasilkan. Sebagai contoh, adanya UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), UU Pengadilan Tipikor, UU Komisi
Pemberantasan Korupsi, UU Pencucian Uang, dan sebagainya.
Dalam implementasinya, ada
beberapa kasus korupsi yang menggunakan peraturan tersebut secara berlapis.
Misalnya dengan menggunakan UU Tipikor sekaligus UU Pencucian Uang.
Kombinasi kedua regulasi ini dianggap senjata paling ampuh untuk memberikan
efek jera.
Sayangnya, pemberantasan korupsi
bukanlah semata-mata soal penindakan. Perlu upaya lain di bidang pencegahan
untuk meminimalkan masuknya sebuah perbuatan ke ranah penindakan.
Banyak pihak menyebutkan,
problem korupsi di Indonesia mayoritas berasal dari sektor politik. Ini
bisa dibuktikan dengan banyaknya pelaku korupsi yang berasal dari institusi
politik, misalnya DPR dan kepala daerah. Di samping itu, keruntuhan
institusi yang dipercaya publik juga disebabkan sikap politik yang korup.
Misalnya dalam pengisian jabatan yang memerlukan proses politik, sebut saja
hakim konstitusi, hakim MA, KPK, Komisi Yudisial, dan sebagainya.
Problem korupsi politik di
Indonesia hanya bisa diselesaikan jika instrumen politik beserta
perangkatnya diperbaiki. Jika mengacu pada rekomendasi untuk memperbaiki
CPI, ada dua institusi strategis yang harus di-reform, yaitu parlemen dan
partai politik.
Kedua lembaga ini adalah
kelompok yang paling berkontribusi dalam memperburuk situasi pemberantasan
korupsi. Dalam banyak fakta, keduanya justru saling bersinergi melawan
gerakan pemberantasan korupsi.
Momentum politik
Partai politik tidak
memperlihatkan itikad baik untuk mendukung agenda pemberantasan korupsi.
Setidaknya bisa dilihat dari sikap semua parpol terhadap keterbukaan dan
pertanggungjawaban pendanaan politiknya.
Di tingkat parlemen hal yang
lebih kurang sama juga terjadi. Selaku lembaga pemegang kuasa anggaran,
praktik mafia anggaran melalui proyek-proyek pemerintah kerap menjadi
bancakan bagi para politisi. Bahkan tak jarang parpol juga jadi bagian dari
konspirasi mafia anggaran yang digunakan untuk mendanai kegiatan politik.
Dengan semua fakta ini, publik
selaku pihak yang paling dirugikan tidak memiliki instrumen yang memadai
untuk mengoreksi parlemen dan partai politik secara langsung. Dalam
kerangka politik dan hukum, koreksi publik atas parlemen dan partai politik
hanya bisa dilakukan sekali dalam lima tahun melalui penyelenggaraan
pemilu.
Praktis hanya tersedia satu
instrumen yang bisa digunakan publik untuk melakukan recall terhadap
anggota parlemen dan parpol yang korup. Selama ini publik tak dimungkinkan
untuk melakukan gerakan mencabut mandat ketika wakilnya tidak lagi
memperjuangkan kepentingan publik yang diwakilinya.
Pemilu 2014 adalah momentum
politik yang bisa digunakan untuk tidak memilih parpol dan anggota parlemen
yang korup. Sikap politik publik yang hanya bisa disalurkan sekali dalam
lima tahun akan sangat menentukan arah gerakan pemberantasan korupsi akan
dibawa dalam lima tahun ke depan.
Di saat masyarakat Indonesia
akan menyongsong Pemilu 2014, momentum peringatan Hari Antikorupsi Sedunia
pada 9 Desember 2013 harusnya menjadi refleksi bagi publik untuk menentukan
sikap politik yang antikorupsi. Kalau saja publik menyadari ini, bukan hal
yang tidak mungkin jika kegagalan 15 tahun gerakan melawan korupsi akan
dituntaskan dalam lima tahun ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar