Natal bagi Mei
Tjen
Freddy H Istanto ; Dekan Fakultas Industri Kreatif Universitas Ciputra Surabaya
|
JAWA
POS, 23 Desember 2013
DI Surabaya ada tiga rumah abu keluarga yang sangat cantik dan
eksotik. Antara 125 sampai 150 tahun lalu, rumah abu keluarga Han, keluarga
The, dan keluarga Tjoa ini tentu dibangun dengan segala kebesaran,
kebanggaan, dan kejayaan. Tiga rumah penyimpan abu leluhur itu sendiri
mengekspresikan bagaimana kehebatan mereka. Ekspresi kekayaan, jabatan,
maupun kekuasaan. Dari marga ini muncul pebisnis-pebisnis besar, birokrat
berpengaruh, juga budayawan. Kehebatan mereka bahkan menarik
peneliti-peneliti asing, seperti Claudine Salmon dan Ronald G. Knapp.
Beberapa foto menunjukkan rumah abu ini menjadi jujukan keluarga besar untuk menghormati leluhur pada hari besar etnis Tionghoa; seperti Imlek, perayaan Cap Go Meh, dan acara-acara doa keluarga lainnya. Seluruh aspek kebudayaan Tionghoa digelar secara bebas dan terbuka. Pasca peristiwa 30 September 1965, penguasa Orde Baru membalik semuanya. Orang-orang Tionghoa tidak lagi berani menampilkan barongsai. Pemain tarian naga seolah-olah lenyap ditelan zaman. Petasan dan kembang api juga senyap saat Imlek. Acara-acara doa pada hari-hari besar itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Bahkan, aksara Mandarin di depan Rumah Abu The harus dibongkar sendiri oleh pemiliknya. Tidak itu saja, kolom merah bangunan yang mesra dalam pelukan naga, diganti warna kuning. Nuansa interior rumah abu itu pun menjadi berbeda. Politik anti-China Orde Baru menebas tumbuhnya kebudayaan yang sejak ratusan tahun ikut memperkaya kebudayaan Nusantara. Untuk generasi yang lahir setelah 1960, kepekatan dan kecintaan pada budaya leluhur mulai luntur. Ini terutama karena tekanan penguasa yang diskriminatif. Perlahan-lahan Mei Tjen pun tidak lagi menganut agama dan kepercayaan nenek moyangnya. Buat Mei Tjen lebih aman memasang pohon Natal sambil melantunkan lagu Malam Kudus ketimbang menyalakan hio dan membakar petasan. Menyusul kemudian, Mei Tjen lebih suka mengundang Sinterklas daripada melihat barongsai berjoget ria. Orang tua Mei Tjen lebih memilih tinggal di realestat ketimbang berkutat di kawasan Pecinan yang mulai kumuh. Ternyata Mei Tjen juga tidak terlalu kaget ketika kampus tempat dia kuliah melarang barongsai tampil. Kepercayaan di kampus itu menganggap barongsai sebagai makhluk mistik. Meskipun studi di jurusan arsitektur, Mei Tjen pun tidak sempat belajar tentang fengsui, karena ilmu itu dianggap irasional dan berbau klenik. Ternyata Orde Baru tidak sendirian membungkam budaya Tionghoa di Indonesia. Sekelompok penganut agama yang dianut Mei Tjen melakukan hal yang sama atas nama keyakinan agamanya. Mereka secara tegas melarang keberadaan ornamen-ornamen seperti patung-patung itu ada di rumah tinggal mereka. Bahkan, keberadaannya harus dibuang dan dihancurkan. Padahal, bagi saya, ornamen, patung, dan dekorasi itu semata-mata benda budaya warisan orang tua dan leluhur mereka. Pemungkas lainnya adalah globalisasi. Kebanyakan generasi Mei Tjen akhirnya memilih budaya kesejagatan sebagai gaya hidupnya. Kerabat-kerabat Mei Tjen kini lebih memilih berpesta Valentine dan Helloween daripada merayakan Malam Bulan Purnama. Bahkan, ada generasi Mei Tjen yang tidak tahu rasa kue ranjang. Lidahnya lebih akrab dengan cupcakes dan gelato. Kini Lady Gaga dan Gangnam Style adalah koleksi musik Mei Tjen. Rumah-rumah abu keluarga kini semakin sepi meskipun barongsai kembali dibebaskan menari lebih demonstratif seusai zaman Orde Baru. Sudah sangat jarang generasi Mei Tjen mau menjadi penari barongsai. Di sebuah kelenteng di Surabaya, dalang dan pemain musik wayang potehi justru orang-orang non-Tionghoa. Dunia sastra Tionghoa seolah lenyap begitu saja, kecuali bahasa Mandarin semakin berjaya, terutama sebagai sarana komunikasi bisnis. Geliat membangkitkan budaya Tionghoa bukannya tidak ada, tetapi kurang signifikan. Upaya mengangkat kembali budaya Tionghoa, yang lebih dikenal dengan budaya Peranakan bisa menjadi pemicu generasi Mei Tjen untuk kembali memeluk budayanya. Memasakinikan budaya ini memang membutuhkan kreativitas dan inovasi. Mengembangkan dunia kuliner lebih mudah, apalagi dipadukan dengan seni interior. Batik encim kini mulai digemari kembali meskipun lebih disukai oleh kalangan senior. Pertemuan-pertemuan bernuansa budaya Peranakan mulai bermunculan meskipun baru pada tahap kumpul-kumpul dan bernostalgia. Belum fokus pada upaya melibatkan generasi muda untuk lebih aktif dan belum menyentuh program-program bernuansa masa depan untuk kemajuan budaya ini. Ada beberapa gereja yang ibadahnya dekat dengan saat perayaan Imlek. Mereka menggunakan elemen-elemen bernuansa budaya Tionghoa. Misalnya, berbusana batik encim, memasang pohon rezeki, dan membagi angpau untuk anak-anak. Mereka juga mengundang barongsai dan tari naga (leang-leong). Tahun ini Mei Tjen tentu merayakan Natal secara ritual di gerejanya. Di sini Mei Tjen tentu boleh mendoakan kedamaian leluhurnya dengan tata cara gerejanya. Semoga ke depan Mei Tjen muda juga mulai berupaya memajukan budaya leluhurnya. Sebab, agama dan budaya memang berbeda. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar