Senin, 23 Desember 2013

Memaknai Megaproyek AMC Surabaya

Memaknai Megaproyek AMC Surabaya
Agus Wahyudi  ;   Jurnalis, peneliti The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi/JPIP
JAWA POS,  23 Desember 2013

  

PERTARUHAN besar kini dihadapi Surabaya. Kota padat berpenduduk 3 juta jiwa itu melangkah untuk mewujudkan impian membangun megaproyek angkutan masal cepat (AMC) monorel dan trem yang menghubungkan Surabaya sisi utara-selatan serta barat-timur. Proyek Rp 8,6 triliun tersebut ditarget tuntas pada 2015. 

Pada 17-18 Desember lalu Pemkot Surabaya menggelar Market Sounding of Surabaya Monorail and Tram Investment Project di Hotel Majapahit, Surabaya. Ada 60 calon investor yang hadir, 40 persen berasal dari dalam negeri, sisanya dari luar negeri seperti Spanyol, Singapura, Korsel, Thailand, Jepang, Malaysia, dan Tiongkok. 

Inisiatif Surabaya itu bisa dibilang baru kali pertama di Indonesia. Biasanya, pemerintah daerah langsung membuka lelang dan memilih investor. Namun, Surabaya progresif, meminta masukan calon investor. Mengembangkan pengetahuan umum soal market, visibilitas awal terhadap isu-isu yang akan memengaruhi proyek AMC, serta keakuratan dalam memprediksi anggaran dan respons market. Dengan begitu, penyusunan kualifikasi lelang akan lebih terukur.

Ada beberapa hal yang pantas dicermati. Pertama, AMC bisa dibuktikan sebagai jalan yang paling menjawab masalah. Sebelumnya, Wali Kota Tri Rismaharini menolak pembangunan tol tengah yang sudah tercantum di rancangan tata ruang wilayah nasional dalam UU Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang. Alasannya, akses tol tidak akan membantu warga sekitarnya. Risma sempat berhadapan dengan pressure politik dari kalangan legislatif. 

Kedua, AMC harus bisa membuktikan bahwa kemacetan Surabaya bisa terurai. Data Bappeko Surabaya, 70 persen warga Kota Surabaya merupakan pemakai angkutan pribadi, 30 persen pengguna angkutan masal. Pun pertumbuhan motor 10 persen per tahun dan pertumbuhan mobil melebihi 5 persen per tahun tak mampu diimbangi dengan pertumbuhan jaringan atau kapasitas jalan yang rata-rata naik 4 persen per tahun. Harapannya, dengan AMC, kondisi tersebut bisa berbalik. Sebanyak 70 persen warga menggunakan angkutan masal, 30 persen pengguna angkutan pribadi. Wow, macet akan terurai. 

Ketiga, Pemkot Surabaya tak mungkin membangun AMC sendiri. Kekuatan APBD Surabaya sekitar Rp 5,5 triliun, sementara AMC menghabiskan Rp 8,6 triliun. Pelibatan swasta atau pihak ketiga menjadi keniscayaan. 

Selama ini, kerja sama pengelolaan menggunakan model build operate transfer (BOT) atau bangun guna serah. Pengelolaan diserahkan kepada swasta atau konsorsium dengan jangka waktu tertentu. Jika telah melewati waktunya, semua aset menjadi milik pemerintah kota. Pengalaman di Surabaya, kerap BOT tersebut justru menjerat aset pemda. Sebab, nilai kompensasi yang diterima pemerintah daerah sangat rendah, sementara aset pemerintah kota sudah dibangun menjadi pasar, sarana olahraga, mal, dan sebagainya.

Model kerja sama lain dengan build transfer operate (BTO) atau bangun serah guna. Setelah AMC selesai dibangun oleh pihak ketiga, aset akan langsung diserahkan kepada pemerintah daerah untuk kemudian dioperasikan oleh pihak ketiga tersebut selama jangka waktu tertentu. Manajemen dipegang oleh mitra selama kontrak dengan berbagi keuntungan atau profit sharing. 

Dalam konteks BOT atau BTO tersebut, idealnya pemerintah kota bisa lebih dulu menyiapkan perangkat kelembagaan. Salah satunya, membentuk semacam badan usaha milik daerah (BUMD). Harapannya, kemitraan dapat berjalan dalam skema yang lebih fleksibel, business-friendly, serta lepas dari kekakuan birokrasi. Di sini, tuntutan profesionalisme pengelolaan menjadi taruhannya. 

Keempat terkait dengan batasan tarif. Masyarakat harus bisa diyakinkan untuk dapat merasakan kenyamanan dan keamanan bila menggunakan moda transportasi publik. Perlu survei berapa besar tarif AMC yang terjangkau oleh masyarakat. 

Pertanyaannya sekarang, seberapa besar kepastian subsidi pemerintah? Komitmen tersebut diperlukan lantaran jika 100 persen biaya pembangunan proyek AMC dibebankan pada tarif yang harus dibayar masyarakat pengguna jasa, tarif pasti mahal. Padahal, masuknya investasi harus korelatif dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Kelima, dari sudut pandang investor, sejatinya bukan urusan teknis pembangunan semata, tapi regulasi. Jaminan keamanan investasi sangat diperlukan. Juga dengan kepastian pembebasan lahan. Masalah itu kerap menjadi pemicu keruwetan pembangunan. 

Pemkot Surabaya juga harus bisa membuktikan diri ramah investasi. Bahasa birokrasi kerap terlalu berlindung di balik penegakan peraturan. Sementara investor butuh percepatan, tak mau rumit, serta emoh dipungli. 

Dua kepentingan tersebut mesti dijembatani oleh kepala daerah. Surabaya tak mungkin menolak pembangunan yang sesuai dengan aturan. Publik pun wajib melakukan kontrol sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar