Ekologi
Harapan
Aloys Budi Purnomo ; Rohaniwan, Budayawan Interreligius;
Ketua
Komisi Hubungan Antaragama
|
KORAN
JAKARTA, 23 Desember 2013
Kondisi dunia semakin panas
karena efek rumah kaca. Penggundulan hutan terjadi di mana-mana sehingga
menambah kekacauan sehingga terjadi perubahan iklim yang mengacaukan sistem
pertanian dan banyak hal lain.
Semangat
menanam pohon yang mulai banyak dilakukan berbagai elemen harus dihargai.
Hanya, kadang mereka cuma mengejar seremoni saat menanam. Setelah itu, pohon
kecil yang ditanam dibiarkan mati karena tidak dipelihara. Tidak ada lagi
upacara atau seremoni memelihara pohon yang ditanam.
Terkait dengan
semangat memelihara pohon, besok seluruh dunia merayakan Natal, sebuah hari
besar yang tak pernah bisa dilepaskan dari salah satu simbolnya, yakni pohon
Natal. Kerlap-kerlip pohon Natal yang banyak dibuat dari pohon pinus atau
cemara biasa menandai suasana Natal.
Pohon pinus
atau cemara dipilih karena memang tahan hidup dalam segala cuaca, termasuk
pada musim dingin. Untuk itu, dia kemudian dipilih menjadi tanda kehidupan.
Akan tetapi, menjadi sangat ironis bila dalam rangka menghadirkan tanda
kehidupan yang dibawa Sang Juru Selamat, Yesus Kristus, yang dikenang dan
dirayakan kelahiran-Nya pada Hari Raya Natal, orang justru memotong bagian
dari pohon pinus atau cemara sebagai hiasan.
Alih-alih
menggunakan potongan pohon pinus atau cemara untuk hiasan Natal, mestinya,
gunakanlah pohon pinus atau cemara hidup yang kemudian bisa ditanam lagi
sebagai pohon pengharapan masa depan.
Sebagai
seorang pastor, saya tidak pernah setuju apabila panitia Natal di paroki
menggunakan bagian dari pohon pinus atau cemara yang dipotong dari pokoknya
untuk hiasan Natal. Saya lebih mengusulkan menggunakan pohon pinus atau
cemara yang hidup. Setelah itu, bisa di tanam kembali. Inilah prinsip
sederhana membangun semangat Natal dan ekologi harapan
Kebersamaan
Jonathan
Sachs, dalam Faith in the Future (London, 1995:5) memberi perspektif masa
depan arti hidup dalam kebersamaan secara positif. Baginya, hidup dalam
kebersamaan (komunitas) selalu menawarkan suatu ekologi harapan.
Ekologi
harapan, tak sekadar terkait dengan masalah iklim, alam semesta, dan
lingkungan, melainkan menyentuh aspek-aspek kemanusiaan yang selalu rentan
terhadap persoalan keadilan. Kata kuncinya ada dalam kebersamaan sebagai
sebuah kekuatan untuk merajut masa depan yang lebih adil dan sejahtera.
Hanya dalam
kebersamaan, dunia yang baru dapat dibangun dan dihadirkan demi terwujudnya
keadilan dan kesejahteraan. Prosesnya melalui jalinan solidaritas.
Solidaritas
selalu menerabas tapal batas dan sekat-sekat primordial sebagaimana tergambar
dalam fenomena sosial yang belakangan marak terjadi di negeri ini.
Meminjam
ungkapan seorang pujangga Gereja, Albertus Magnus: in dulcedine societatis quaerere veritatem. Begitulah, kebenaran
hanya bisa ditemukan dalam kebersamaan, melalui rajutan kerja sama dan
menggalang solidaritas melawan kekuasaan yang sewenang-wenang.
Ekologi
harapan tidak membiarkan dunia dikuasai roh Jurassic Park yang merupakan
representasi semangat darwinisme melalui ungkapan survival of the fittest. Ekologi harapan melawan semangat ini.
Justru yang lemah tidak boleh dibiarkan gugur, mati, dan musnah, melainkan
harus dibela agar dapat tetap bertahan dalam kehidupan yang adil.
Berbeda dari
film Jurassic Park yang bercerita tentang dunia penuh dengan kekerasan akibat
ulah manusia yang bereksperimen mengenai DNA untuk menghidupkan kembali
dinosaurus. Natal perdana merupakan sepenggal kisah sejarah keselamatan saat
Allah berkenan membela kaum lemah agar tidak gugur, mati, dan musnah oleh
arus kejahatan dalam bentuk ketidakadilan.
Itulah
sebabnya, dalam diri Yesus, Allah berkenan masuk ke dalam kebersamaan dengan
umat manusia. Sang Sabda telah menjadi daging dan tinggal di antara manusia.
Dia berjuang bersama umat. Kelahiran Yesus dilandasi semangat membela yang
lemah agar tidak gugur, mati dan musnah. Yesus yang lahir ke dunia
menyadarkan manusia bahwa seluruh masyarakat tidak boleh hidup dan berkembang
hanya memikirkan diri sendiri.
Ada
kepentingan bersama yang harus dibela. Maka, ini juga harus menginspirasi
semua pihak agar mengupayakan kaum lemah menjadi semakin kuat dengan berbagai
cara termasuk berbagi secara material. Manusia harus saling memberi makan,
menyuapi, menghangatkan. Kekuatan bersama itu ditempuh dengan menerabas tapal
batas, menanggalkan zona nyaman (comfort-zone)
menuju kawasan penuh dengan risiko (rizky-zone).
Inti dari
spitualitas Natal dalam kaitannya dengan ekologi harapan, bergerak dari
kemapanan yang beku menuju pengalaman-pengalaman baru yang membawa
pemerdekaan dan pembebasan. Drunvalo Melchizedek, penulis buku The Ancient Secrets of the Flower of Life,
mengungkapkan, "Only a miracle,
something much greater than ourselves, can overcome a frozen belief!"
Dibutuhkan
mukjizat sosial, keberanian meretas kebekuan, kemapanan, status-quo demi
mewujudkan kesejahteraan dan keadilan yang lebih besar lagi bagi bangsa dan
masyarakat. Semoga Natal membawa harapan baru untuk kian membuka ruang-ruang
bersama guna memberi tempat bagi kaum lemah dan tidak membiarkan mereka
diperlakukan tidak adil agar tidak kian terpuruk dalam keputusasaan. Natal
harus menjadi refl eksi bela rasa.
Allah hadir
dalam rupa bayi untuk merasakan sendiri rasa dingin, sepi, tidak diacuhkan,
serta diasingkan. Semua itu (dingin, sepi, merasa sendiri) kental melekat
pada kaum papa karena tidak memiliki papan dan selimut untuk tidur.
Semua itu
dialami Putra Manusia sebagai bentuk solidaritas dari Yang Mahatinggi kepada
ciptaannya yang secitra. Natal harus mengembalikan semangat memelihara
lingkungan agar dunia yang sudah tua ini tetap layak ditinggali baik sekarang
maupun untuk generasi mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar