Menuju Daerah
Istimewa Sumatera Barat
Mochtar Naim ; Sosiolog
|
HALUAN,
23 Desember 2013
PASAL 18 B ayat (2) UUD
1945 memberi peluang kepada daerah-daerah yang memiliki kekhasan dalam
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya untuk membentuk satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau istimewa, seperti yang berlaku dengan
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Daerah Istimewa Nanggroe Aceh Darussalam,
dan Daerah Istimewa Papua. Dengan kekhasan yang dimiliki oleh Sumatera
Barat dengan adat dan budaya Minangkabau selama ini, makin santer suara dari
tokoh-tokoh masyarakat, di ranah dan di rantau, untuk juga memperjuangkan
agar Sumatera Barat dijadikan Daerah Istimewa Sumatera Barat, atau “Daerah Istimewa
Minangkabau” sesuai dengan nama jatidiri sosial-budayanya itu.
Usaha ini makin terasa
setelah nagari dihapus dan diganti dengan desa di zaman Orde Baru Soeharto
dulu. Alangkah bedanya antara nagari dengan desa itu. Di nagari, yang berkuasa
itu adalah rakyat. Sedang walinagari dan anggota kerapatan nagari hanyalah
pelaksana yang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting di bidang
mereka masing-masing. Di nagari, belum lagi orang di Eropah dan Amerika sana
mengenal demokrasi, di Minangkabau demokrasi kerakyatan itu sudah ada. Dengan
nagari diganti dengan desa, seperti yang berlaku di Jawa, maka situasipun
berubah. Rakyat yang tadinya punya kekuasaan, sekarang semua diberikan
kepada kepala desa. Kepala desa atau kades itulah yang menghitam-memutihkan,
mengatur semuanya, dengan instruksi yang datang dari atas.
Ketika musim berganti,
sistem berubah, rezim Orde Baru berganti dengan rezim Reformasi, dari
Soeharto selama 32 tahun dengan sedikit selingan di awal reformasi dari tiga
presiden yang masuk menyelinap – Habibie, Gus Dur, Megawati — ke Susilo
Bambang Yudhoyono atau SBY yang sekarang sudah dua periode dan tidak akan
berlanjut lagi. Sekilas kelihatannya seperti berbeda. Tetapi esensinya
ternyata tetap sama. Ketika desa di Sumatera Barat kembali ke nagari,
ternyata yang kembali itu hanya nama. Tetapi sistem dan tabiatnya tetap
sama. Mungkin karena orang nomor satu di atasnya tetap orang Jawa yang
terbiasa berbudaya feodal-hirarkis-vertikal; apalagi kedua-duanya juga
jenderal, militer yang suka bertangan di atas. Di nagari di zaman
reformasi ini, formalnya ada semuanya. Ada walinagari, ada DPR Nagari yang
namanya suka berubah-ubah, di samping juga ada KAN –Kerapatan Adat Nagari—,
ada organisasi pemuda dan ada organisasi wanita yang suka disebut Bundo
Kanduang; juga ada TTS – Tungku nan Tigo Sajarangan—, dan sebagainya.
Tetapi semua itu, kecuali walinagari, lebih ada di atas kertas yang fungsinya
lebih banyak seremonial dari keadaan sesungguhnya sesuai dengan nama dan
mereknya itu. Nagari, karena itu, “dia ada tapi tiada” – dek
e ono, neng ora ono —
kata orang Jawa, atau “wujûdihi ka’adamihi” kata orang Arab.
Dengan nama kembali ke
nagari tetapi esensinya tetap desa, maka keinginan untuk menjadikan Sumatera
Barat menjadi Daerah Istimewa kelihatannya makin santer. Apa lagi yang
namanya provinsi, kabupaten dank, benar-benar lebih banyak mendengarkan dan
melaksanakan instruksi dari pusat di Jakarta, daripada mendengarkan rintihan
dan kehendak dari warga di nagari di daerah masing-masing.
Itu satu. Sisi lainnya
adalah bahwa adat yang dipakai di Minangkabau adalah adat yang bersendi
kepada syarak, dan syarak bersendi kepada Kitabullah (ABS-SBK). Adat yang
sejalan dengan syarak dipakai, yang tidak sejalan, dibuang. Sementara di sisi
lain lagi, kendati adat dasarnya adalah matrilineal, tetapi bukan matriarkal,
sedang syarak adalah kedua-duanya, patrilineal dan patriarkal. Jadi hanya
penentuan garis keturunan di Minangkabau yang menurut garis keluarga ibu,
sementara kekuasaan dalam keluarga ibu tetap ada di tangan laki-laki, yaitu
mamak dalam kaum, penghulu dalam suku.
Tuntutan dari masyarakat
sendiri sejauh ini kelihatannya masih sporadis, dan hilang-hilang timbul.
Dengan gelagat yang sudah dimunculkan sekarang ini, kelihatannya belum cukup kuat
untuk mengajukan tuntutan kepada pemerintah, baik eksekutif maupun
legislatif, untuk menuntut diberlakukannya Pasal 18 B ayat (2) dari UUD1945
itu untuk diterapkan di wilayah Sumatera Barat.
Diperlukan gema yang kuat
dan kemilau dari berbagai kalangan di daerah ini, baik di tingkat
provinsi, kabupaten/kota, maupun nagari-nagari sendiri. Dan yang tak kurang
pentingnya dari ormas-ormas dan suara TTS dari ninik-mamak, alim ulama dan
cerdik pandai, baik di ranah maupun di rantau di manapun di dunia ini. Tegasnya,
ada tuntutan yang serempak dan cergas dari masyarakat sendiri seperti yang
pernah diperlihatkan oleh masyarakat Aceh dan Papua sebelumnya.
Media pers dan
gerakan-gerakan spontan dari para mahasiswa, pemuda dan wanita, jelas akan memainkan
peranan yang akan sangat menentukan. Mari kita tunggu! Sementara itu
para pemikir dari kelompok TTS juga harus bekerja keras dalam menyusun konsep
yang sistemik dengan apa yang sesungguhnya yang diinginkan dengan DI Sumbar
atau Minangkabau itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar