Bahasa terlibat dalam perebutan kuasa
politik. Dan sejak kehadiran Joko Widodo (Jokowi) dalam arena politik,
kita menyaksikan pertarungan baru dalam politik bahasa kepemimpinan.
Jokowi membawa standar baru dalam bahasa politik Tanah Air. Bahasa
politik ini terangkum dalam satu kata: blusukan (yang harus dimasukkan ke
kamus politik Indonesia). Blusukan sebagai bahasa politik telah
menghantam dan mengejek bahasa-bahasa politik yang selama ini ada.
Secara historis, kalau kita meminjam dua kategori kepemimpinan yang
dibuat Indonesianis Herbert Feith, ada dua bahasa politik di Indonesia:
ala Sukarno dan Hatta. Bahasa politik Sukarno cenderung bersifat retoris,
emosional berapi-api, dan hendak dekat sekali dengan rakyat, yang
diarahkan untuk memobilisasi secara massal. Sedangkan bahasa politik
Hatta lebih bersifat teknis, analitis, dan tak emosional, mengajak orang
untuk mendudukkan perkara pada tempatnya, lalu menilai dan bertindak.
Para pemimpin kita memang lebih memilih dan cenderung memakai bahasa
ala Sukarno untuk meraih massa. Tapi, sejak kehadiran Jokowi, terutama
saat bahasa politik ala Sukarno terjerembap dalam bahasa politik
citraisme akut dan terbukti bertolak belakang antara bahasa dan laku politik,
kita menyaksikan bahasa politik blusukan begitu menggema dengan keras.
Dan yang membawa bahasa ala Hatta, terutama yang dibawa oleh calon dari
kalangan intelektual-akademikus, juga mengalami kegagalan saat meladeni
bahasa blusukan.
Bahasa politik blusukan menghantam dan mencemooh bahasa politik yang
diperkeras dari mimbar politik, dari podium penuh lampu, dari hotel
berbintang, dari singgasana kekuasaan. Maka bahasa politik harus ada di
tempat kejadian perkara, di rumah publik yang terkena kebijakan langsung,
di jalan raya, dan di semua tempat yang selama ini hanya dianggap sebagai
obyek kebijakan yang dibuat di atas meja-kursi. Tak ada mimbar, tak ada
podium, tidak ada meja-kursi jabatan, tidak ada pengeras suara. Tidak ada
bahasa yang keras, emosional, penuh retoris: pamflet politik, termasuk
dalam versi audio-visualnya. Bahkan bahasa politik begitu sederhana,
seakan apa adanya.
Bahasa yang dibawa oleh blusukan adalah bahasa politik yang ada di
jalanan, di lapangan, di tempat-tempat umum, bahasa tubuh yang sederhana,
bahasa yang dibawakan oleh tubuh yang bisa dibilang tidak karismatis.
Bahasa blusukan adalah bahasa yang bertubuh kuli, bertempat di pinggiran,
dan bergerak hampir ke segala arah. Ini membuat kehadiran si politikus
tampak begitu kuat, membawa persepsi kecepatan, ketangkasan,
kesiapsediaan. Bahasa tubuh blusukan cenderung berkonotasi pekerja keras,
tampil di depan, dan bekerja berdasarkan skenario tempat kebijakan
perkara.
Indonesia yang sangat luas membutuhkan bahasa politik yang bertubuh,
bertangan, dan berkaki ini, yang selama ini jarang dijejaki oleh para
pemimpin kita. Di lingkungan massa akar bawah, bahasa ini begitu kuat
terartikulasi, begitu dekat dengan rakyat, dan begitu didambakan sejak
lama sekali.
Inilah standar bahasa politik yang sekarang menjadi patokan rakyat
untuk politik bahasa kepemimpinan. Dan rakyat, saya yakin, mendambakan
bahasa politik ini pada 2014 nanti, siapa pun yang hendak menjadi
pemimpin politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar