Audit
Demokrasi Partai
Arya Budi ;
Peneliti Pol-Tracking
Institute
|
TEMPO.CO,
20 Desember 2013
Setelah Demokrat dengan konvensinya, PKS
beberapa waktu yang lalu juga menggulirkan agenda
"demokratisasi" partai. PKS menyelenggarakan pemilihan raya
yang melibatkan seluruh kader untuk memilih kader dalam pilpres 2014.
Tentu gagasan utamanya bukan memilih capres PKS/PD, melainkan
menggerakkan mesin partai secara internal dan membangun citra demokratis
secara eksternal. Bagi Demokrat dan PKS, slogan partai bersih hampir
pasti tak bisa lagi menjadi bahan promosi Pemilu 2014. Partai demokratis
menjadi tawaran baru untuk dipromosikan ke publik melalui agenda konvensi
atau pemira partai misalnya.
Dalam struktur budaya organisasi partai, ada dua tingkatan
demokratisasi yang berlaku dalam beberapa proses politik partai.
Tingkatan pertama adalah ketika terbukanya ruang kesempatan berpendapat
dan adanya konsensus di dalamnya tanpa intervensi "hak veto"
seorang atau sekelompok patron. Tingkatan kedua, adanya kesempatan
berpendapat dengan keputusan tetap berada pada patron. Demokratisasi yang
pertama sering diformulasikan melalui terminologi "konvensi"
dalam demokrasi partai di Barat.
Di Indonesia, partai politik statis berada pada tingkatan
demokratisasi kedua: adanya kesempatan partisipatif tapi dengan keputusan
tetap berada pada seorang patron. Bentuk konkretnya: terdapat proses
saling mendengarkan dalam proses politik krusial (kandidasi) dengan
keputusan final diserahkan kepada ketua umum atau pembina partai. Majelis
Tinggi di Demokrat atau Dewan Syuro di PKS tetap berkuasa final dan mengikat.
Untuk memahami hal ini, ada tiga sebab penting mandeknya
demokratisasi di lembaga partai politik. Pertama, tidak adanya audit
demokratisasi partai politik di Indonesia. Kita begitu hirau akan
pelembagaan demokrasi melalui standar-standar elektoral. Akhirnya, partai
politik sebagai lembaga yang secara konstitusional sangat kuat memegang
otoritas di era demokratisasi justru lepas dari perhatian atas
pertanyaan: bagaimana sebenarnya partai politik dikelola? Lembaga audit
demokrasi internasional seperti Democracy
Audit dan Freedom House
yang telah banyak dikutip karena kajian-kajiannya dalam mengukur
demokrasi negara-negara di dunia, belum mampu menyentuh demokratisasi
partai.
Kedua, belum ada yang mampu menembus dan apalagi mengukur aspek
transparansi dan akuntabilitas lembaga partai politik dan struktur teras
pengurus partai. Kita mafhum dengan pengelolaan partai yang tertutup dan
personal, sementara struktur menjadi simbol pemenuhan regulasi
kelembagaan karena akhirnya alur keluar-masuk dana partai berada pada
aktivitas personal yang terfragmentasi ke dalam faksi-faksi di tubuh
partai. Seolah partai politik menjadi lembaga tak tersentuh dalam ruang
demokrasi sekalipun berstatus lembaga demokrasi. Kita bisa menyentuh
parlemen, jajaran kabinet, dan imperium birokrasi, tapi begitu sulit
menembus kelembagaan partai yang juga sebagian sumber dananya berasal
dari APBN. Pendekatan-pendekatan baru untuk mengukur demokrasi belum juga
memasukkan aspek ini dalam mengaudit demokrasi di tubuh partai.
Ketiga, kalaupun kita sudah melakukan audit demokrasi terhadap
partai politik, indikator dan standar yang digunakan adalah dengan
mereplikasi pengalaman demokrasi Barat. Padahal jelas kita menganut asas
penting dalam berdemokrasi di Indonesia: "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan dan perwakilan." Standar audit yang kita lakukan
masih beragam dengan ukuran yang kadang dipesan dan terdiferensiasi dalam
banyak studi dan perspektif demokrasi.
Banyak teori Barat, baik yang klasik maupun modern, mengukur
demokrasi dengan melihat derajat kualitas kompetisi yang terjadi
antar-elite dan partai politik. Sebagai misal, Robert Dahl (1994)
menggariskan ukuran demokrasi (polyarchy)
ke dalam dua dimensi: kompetisi (contestation)
dan partisipasi (inclusiveness).
Intinya sederhana untuk mengukur demokrasi, yaitu dengan mengajukan
pertanyaan bagaimana partai politik berkompetisi dan cara negara
membangun mekanisme partisipatif dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Konsep yang berangkat dari pengalaman demokrasi Barat ini diadopsi negara
untuk mengukur demokrasi di Indonesia melalui Indeks Demokrasi Indonesia
(2009) ke dalam tiga aspek pokok: kebebasan sipil (civil liberties), hak-hak politik (political rights), dan lembaga demokrasi (democratic institutions).
Kita tidak akan menemukan musyawarah, baik secara harfiah maupun
terminologi, dari 3 aspek, 11 variabel, dan 28 indikator yang dirumuskan
dalam indeks tersebut. Publik akan mengalami distorsi jika negara masih
menganggapnya sebagai suara dalam pemilu dan angka dalam catatan
statistik. ●
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar