Sabtu, 06 April 2013

Tentang Empat Galau Parpol


Tentang Empat Galau Parpol
Nadjib Hamid ;   Anggota KPU Jatim Divisi Sosialisasi
JAWA POS, 06 April 2013

  
Ramai diberitakan "kegalauan" parpol dan bakal calon legislator dalam menghadapi masa pendaftaran calon anggota DPR dan DPRD pada 9-22 April 2013 ini. Pemicunya adalah persyaratan dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 7/2013, terutama terkait dengan pemenuhan kuota perempuan, kewajiban mundur bagi eksekutif, dan anggota DPRD yang parpolnya tidak menjadi peserta pemilu, juga larangan bagi calon kepala/wakil daerah menjadi caleg. 

Agak aneh memang kalau mereka mengaku kesulitan memenuhi persya­ratan dan baru ribut sekarang. Mengi­ngat, PKPU Nomor 7/2013 hanyalah penjabaran UU Nomor 8/2012 yang dibuat oleh wakil-wakil parpol itu sendiri di DPR. 

Pertama, tentang kuota perempuan. Komisi II DPR dalam rapat dengar pendapat pada 28 Maret lalu menuding KPU salah memahami isi undang-undang. Menurut mereka, semangat pembuat undang-undang mengenai kewajiban pemenuhan kuota 30 persen itu bukan per dapil (daerah pemilihan), melainkan secara kumulatif di setiap tingkat. 

Padahal, dalam pasal 54, 55, dan 56 disebutkan secara eksplisit bahwa daftar bakal calon yang disusun parpol memuat paling banyak 100 persen dari jumlah kursi pada setiap dapil dan memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perem­puan. Nama-nama calon disusun berdasar­ nomor urut. Selain itu, di setiap tiga bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan bakal calon. 

Mestinya dapat dipahami bahwa KPU mengatur mekanisme pencalegan 30 persen perempuan di setiap dapil dan tingkat. Selanjutnya, pada pasal 58 KPU diberi kewenangan untuk memverifikasi keterpenuhan 30 persen perempuan di setiap tingkat. Kemudian, pada pasal 59 parpol diminta memperbaiki daftar calon yang belum memenuhi kuota perempuan. 

Jadi, aturan undang-undang (UU) jelas dan detail. KPU memberikan dua alternatif dalam kolom verifikasi: memenuhi syarat (MS) dan tidak memenuhi syarat (TMS). Kalau tidak memenuhi syarat, parpol itu tidak memiliki calon di dapil terkait. 

Kedua, kewajiban mundur bagi kalangan eksekutif yang mau jadi caleg. Aturan pasal 19 (i) PKPU Nomor 7/2013, yang kerap dianggap tidak adil, merupakan turunan langsung dari pasal 51 huruf k UU Nomor 8/2012, yaitu mengundurkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali. Itu masih berlaku. Soal penilaian adil tidaknya jika dibandingkan dengan aturan legislator yang tidak wajib mundur jika mencalonkan diri jadi eksekutif, KPU tak punya kewenangan menilai.

Ketiga, kewajiban mundur bagi anggota DPRD yang parpolnya tidak menjadi peserta pemilu. Seperti temaktub dalam pasal 19 (i.2) PKPU Nomor 7/2013, anggota DPR serta DPRD (provinsi dan kabupaten/kota) yang dicalonkan oleh partai politik yang berbeda harus membuat surat pernyataan pengunduran diri yang dilampiri surat persetujuan pimpinan partai politik asal. Aturan itu didasarkan pada ketentuan undang-undang tentang persyaratan menjadi bakal calon. Menurut UU, bakal calon haruslah anggota parpol peserta pemilu dan setiap orang hanya bisa menjadi anggota satu partai. 

Nah, ketika seseorang yang duduk sebagai anggota DPRD dari parpol yang tidak lolos verifikasi Pemilu 2014 bermaksud menjadi caleg, yang bersangkutan harus pindah ke salah satu parpol peserta pemilu. Konsekuensinya, kedudukan sebagai anggota DPRD dari parpol asal secara otomatis gugur. Dengan begitu, kalau tidak membuat surat pengunduran diri dari partai asal dan DPRD, yang bersangkutan tidak memenuhi syarat. Ketentuan itu berlaku bagi siapa pun anggota dewan yang mau mencalegkan diri lewat partai lain. 

Mekanismenya, seperti diatur dalam PKPU Nomor 13/2013, yang bersangkutan menyerahkan surat pernyataan pengunduran diri dari parpol dengan dilengkapi surat pengunduran diri sebagai anggota DPR atau DPRD serta surat keputusan pemberhentian sebagai anggota DPR atau DPRD. 

Jika surat pemberhentian belum bisa dilampirkan anggota parpol yang merupakan anggota DPR atau DPRD, dapat digantikan surat keterangan pimpinan DPR atau DPRD atau sekretaris DPR atau DPRD bahwa pemberhentian sebagai anggota DPR atau DPRD sedang diproses. Surat itu harus diserahkan paling lambat pada masa perbaikan DCS/pengajuan penggantian calon anggota DPR atau DPRD. 

Sementara bagi parpol yang sudah berfusi dengan parpol peserta pemilu, anggota dewan tersebut tidak perlu mundur asal dicalonkan lewat partai tempat berfusi. Itu dibuktikan dengan surat keterangan dari Kemenkum HAM, tidak cukup pernyataan lisan atau tertulis dari partai. 

Keempat, larangan calon kepala/wakil daerah menjadi caleg. Menurut pasal 47 PKPU Nomor 7/2013, calon kepala daerah atau wakil kepala daerah yang telah ditetapkan KPU (provinsi atau kabupaten/kota) sebagai pasangan calon dalam pilkada tidak dapat dicalonkan oleh parpol sebagai bakal calon anggota DPR atau DPRD. Tapi, sejak diterbitkan PKPU Nomor 13/2013, pasal itu sudah tidak berlaku lagi. Artinya, yang bersangkutan dapat dicalonkan oleh parpol sebagai bakal calon legislator. 

Sebenarnya, kini ada persyaratan pencalegan yang lebih ringan. Misalnya, kini para bakal caleg tidak perlu melampirkan lagi SKCK, cukup diganti dengan surat pernyataan dari yang bersangkutan bahwa dirinya orang baik. Demikian pula soal keterangan sehat jasmani dan rohani, cukup keterangan dari puskesmas atau rumah sakit pemerintah. 

Tak perlu pusing lagi, selamat mencalegkan diri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar