Ramai diberitakan
"kegalauan" parpol dan bakal calon legislator dalam menghadapi
masa pendaftaran calon anggota DPR dan DPRD pada 9-22 April 2013 ini.
Pemicunya adalah persyaratan dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 7/2013,
terutama terkait dengan pemenuhan kuota perempuan, kewajiban mundur bagi
eksekutif, dan anggota DPRD yang parpolnya tidak menjadi peserta pemilu,
juga larangan bagi calon kepala/wakil daerah menjadi caleg.
Agak aneh memang kalau mereka mengaku kesulitan memenuhi persyaratan dan
baru ribut sekarang. Mengingat, PKPU Nomor 7/2013 hanyalah penjabaran UU
Nomor 8/2012 yang dibuat oleh wakil-wakil parpol itu sendiri di DPR.
Pertama, tentang kuota perempuan. Komisi II DPR dalam rapat dengar
pendapat pada 28 Maret lalu menuding KPU salah memahami isi
undang-undang. Menurut mereka, semangat pembuat undang-undang mengenai
kewajiban pemenuhan kuota 30 persen itu bukan per dapil (daerah
pemilihan), melainkan secara kumulatif di setiap tingkat.
Padahal, dalam pasal 54, 55, dan 56 disebutkan secara eksplisit bahwa
daftar bakal calon yang disusun parpol memuat paling banyak 100 persen
dari jumlah kursi pada setiap dapil dan memuat paling sedikit 30 persen
keterwakilan perempuan. Nama-nama calon disusun berdasar nomor
urut. Selain itu, di setiap tiga bakal calon terdapat sekurang-kurangnya
satu orang perempuan bakal calon.
Mestinya dapat dipahami bahwa KPU mengatur mekanisme pencalegan 30 persen
perempuan di setiap dapil dan tingkat. Selanjutnya, pada pasal 58 KPU
diberi kewenangan untuk memverifikasi keterpenuhan 30 persen perempuan di
setiap tingkat. Kemudian, pada pasal 59 parpol diminta memperbaiki daftar
calon yang belum memenuhi kuota perempuan.
Jadi, aturan undang-undang (UU) jelas dan detail. KPU memberikan dua
alternatif dalam kolom verifikasi: memenuhi syarat (MS) dan tidak
memenuhi syarat (TMS). Kalau tidak memenuhi syarat, parpol itu tidak
memiliki calon di dapil terkait.
Kedua, kewajiban mundur bagi kalangan eksekutif yang mau jadi caleg.
Aturan pasal 19 (i) PKPU Nomor 7/2013, yang kerap dianggap tidak adil,
merupakan turunan langsung dari pasal 51 huruf k UU Nomor 8/2012, yaitu
mengundurkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah, yang
dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik
kembali. Itu masih berlaku. Soal penilaian adil tidaknya jika
dibandingkan dengan aturan legislator yang tidak wajib mundur jika
mencalonkan diri jadi eksekutif, KPU tak punya kewenangan menilai.
Ketiga, kewajiban mundur bagi anggota DPRD yang parpolnya tidak menjadi
peserta pemilu. Seperti temaktub dalam pasal 19 (i.2) PKPU Nomor 7/2013,
anggota DPR serta DPRD (provinsi dan kabupaten/kota) yang dicalonkan oleh
partai politik yang berbeda harus membuat surat pernyataan pengunduran
diri yang dilampiri surat persetujuan pimpinan partai politik asal.
Aturan itu didasarkan pada ketentuan undang-undang tentang persyaratan
menjadi bakal calon. Menurut UU, bakal calon haruslah anggota parpol
peserta pemilu dan setiap orang hanya bisa menjadi anggota satu partai.
Nah, ketika seseorang yang duduk sebagai anggota DPRD dari parpol yang
tidak lolos verifikasi Pemilu 2014 bermaksud menjadi caleg, yang
bersangkutan harus pindah ke salah satu parpol peserta pemilu. Konsekuensinya,
kedudukan sebagai anggota DPRD dari parpol asal secara otomatis gugur.
Dengan begitu, kalau tidak membuat surat pengunduran diri dari partai
asal dan DPRD, yang bersangkutan tidak memenuhi syarat. Ketentuan itu
berlaku bagi siapa pun anggota dewan yang mau mencalegkan diri lewat
partai lain.
Mekanismenya, seperti diatur dalam PKPU Nomor 13/2013, yang bersangkutan
menyerahkan surat pernyataan pengunduran diri dari parpol dengan
dilengkapi surat pengunduran diri sebagai anggota DPR atau DPRD serta
surat keputusan pemberhentian sebagai anggota DPR atau DPRD.
Jika surat pemberhentian belum bisa dilampirkan anggota parpol yang
merupakan anggota DPR atau DPRD, dapat digantikan surat keterangan
pimpinan DPR atau DPRD atau sekretaris DPR atau DPRD bahwa pemberhentian
sebagai anggota DPR atau DPRD sedang diproses. Surat itu harus diserahkan
paling lambat pada masa perbaikan DCS/pengajuan penggantian calon anggota
DPR atau DPRD.
Sementara bagi parpol yang sudah berfusi dengan parpol peserta pemilu,
anggota dewan tersebut tidak perlu mundur asal dicalonkan lewat partai
tempat berfusi. Itu dibuktikan dengan surat keterangan dari Kemenkum HAM,
tidak cukup pernyataan lisan atau tertulis dari partai.
Keempat, larangan calon kepala/wakil daerah menjadi caleg. Menurut pasal
47 PKPU Nomor 7/2013, calon kepala daerah atau wakil kepala daerah yang
telah ditetapkan KPU (provinsi atau kabupaten/kota) sebagai pasangan
calon dalam pilkada tidak dapat dicalonkan oleh parpol sebagai bakal
calon anggota DPR atau DPRD. Tapi, sejak diterbitkan PKPU Nomor 13/2013,
pasal itu sudah tidak berlaku lagi. Artinya, yang bersangkutan dapat
dicalonkan oleh parpol sebagai bakal calon legislator.
Sebenarnya, kini ada persyaratan pencalegan yang lebih ringan. Misalnya,
kini para bakal caleg tidak perlu melampirkan lagi SKCK, cukup diganti
dengan surat pernyataan dari yang bersangkutan bahwa dirinya orang baik.
Demikian pula soal keterangan sehat jasmani dan rohani, cukup keterangan
dari puskesmas atau rumah sakit pemerintah.
Tak perlu pusing lagi, selamat mencalegkan diri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar