Dengan demikian, kita melihat bahwa, dalam dunia
jurnalistik yang tengah berubah seiring dengan munculnya media sosial dan
saling mempengaruhi dengan dunia jurnalistik, sejumlah nilai dasar ingin
tetap diperjuangkan: yaitu nilai akurasi, obyektivitas, ketidakbiasan,
imparsialitas, dan keberimbangan.
Mark Little dalam artikelnya di majalah Nieman
Reports, "Finding the Wisdom
in the Crowd" (Nieman
Reports, Summer 2012), mengatakan, "Today we are the managers of an overabundance of
information and content, discovered, verified and delivered in
partnership with active communities." Nieman Reports edisi ini
secara khusus membahas tema soal "Truth
in the Age of Social Media".
Apa yang dikatakan Little tersebut senada dengan apa
yang telah dikemukakan oleh dua penulis jurnalistik sebelumnya, Bill
Kovach & Tom Rosenthiel, dalam buku terakhirnya (Blur: How to Know the Truth in the Age of Information Overload,
2010), yang menyebutkan sejumlah problem untuk konsumen media agar
bisa bertahan dalam kondisi saat ini: bagaimana
cara kita melakukan verifikasi atas informasi yang datang kepada kita?
Apakah berita yang kita terima itu telah komplet? Persoalan lain: dari
mana sumber berita itu? Lalu, persoalan lain lagi: apa bukti atas
verifikasi yang kita lakukan?
Craig Silverman, dalam majalah Nieman Reports yang
sama (Summer 2012), menyebutkan
dunia baru yang penuh dengan informasi, dengan pendistribusian yang
mendekati waktu sesungguhnya (real-time),
dari perkembangan telepon pintar dan kamera digital serta jaringan
(media) sosial, semuanya telah mengakibatkan disiplin verifikasi kembali
menjadi praktek utama dan menjadi nilai penting bagi jurnalis.
Era di mana audiens juga turut mengisi ruang-ruang
media (user generated content)
membuat Silverman menyebutkan istilah "verifikasi baru" sebagai
suatu keahlian yang dibutuhkan dan perlu dimiliki wartawan zaman
sekarang. "The business of
verifying and debunking content from the public relies far more on
journalistic hunches than snazzy technology."
Tak dapat dimungkiri bahwa pada saat ini jurnalis dan
media sosial adalah dua entitas yang saling memanfaatkan. Jurnalis
menggunakan media sosial, dan jurnalis memanfaatkan pula media sosial
untuk kepentingan jurnalistik: memeriksa informasi, melihat reaksi orang
tertentu, menampilkannya, atau sekadar ingin tahu belaka. Sebaliknya,
media sosial membutuhkan juga jurnalis untuk memompa aneka isu yang
disebarkan oleh orang-orang tertentu.
Bagaimanapun, jurnalis yang memanfaatkan media sosial
perlu memahami sejumlah nilai dasar yang muncul dari hubungan di antara
keduanya. Di sini, penting untuk kita membicarakan apa saja hal yang
diatur oleh organisasi media besar terkait dengan jurnalisme dan media
sosial. Associated Press (AP)
adalah satu lembaga yang termasuk awal memiliki panduan ihwal masalah
tersebut.
Associated
Press memiliki panduan untuk para
stafnya yang terkait dengan masalah media sosial. AP dalam pengantar
panduan tersebut menyebutkan bahwa tujuan dari pembuatan panduan media
sosial bagi para staf AP ini adalah untuk meningkatkan brand (merek) AP dan para stafnya
lewat jejaring media sosial. AP mendorong para staf untuk aktif dalam
jejaring media sosial, tetapi mengajak mereka untuk berhati-hati dalam
menyampaikan ekspresi pribadi atau opini pribadi yang terkait dengan
isu-isu kontroversial dalam kesehariannya.
Akun yang dimiliki oleh staf AP harus menyebutkan
bahwa dia adalah staf AP, namun tidak perlu menggunakan nama kantor media
dalam nama akunnya. Dalam berbagai posting-nya,
diharapkan para staf tak menunjukkan afiliasi politiknya ataupun
pandangan politiknya. Penggunaan bahan-bahan rahasia dari AP pun
dilarang.
Integritas adalah nilai yang sangat dijaga oleh AP,
sehingga panduan ini mewanti-wanti betul para staf agar tidak mudah
mengeluarkan opini pribadi penulis, karena akan bisa berdampak buruk pada
reputasi AP sebagai media yang netral dan tidak bias. Staf AP boleh-boleh
saja me-retweet (istilah dalam
dunia Twitter yang berarti meneruskan) suatu informasi, namun harus
diperhatikan bahwa retweet tersebut tidak menunjukkan pendapat pribadi
staf tersebut. Retweet yang
aman adalah jika staf me-retweet
hal yang mengandung informasi, atau memberikan konteks dari suatu retweet tersebut.
Masih dalam kaitan dengan soal integritas, staf AP
diajak berhati-hati untuk membina hubungan dengan para politikus, atau
narasumber berita, baik pada jejaring Facebook maupun Twitter. Hubungan
tersebut diterima sejauh terkait dengan kepentingan reportase semata.
Jika politikus tertentu terkait dengan isu kontroversial, staf harus juga
membina hubungan dengan politikus lain yang berpendapat berbeda dalam isu
tersebut. Tidak dianjurkan untuk berinteraksi dengan para narasumber
dalam halaman yang bisa dibaca oleh umum (misalnya menulis komentar di
dinding si narasumber, atau atas posting
yang mereka sampaikan).
Para staf AP didorong untuk menunjukkan link dari isi
berita AP dalam segala format. Terkait dengan peristiwa yang sedang
terjadi, staf AP dibenarkan untuk mem-posting
(mengunggah) link atau membuat live tweet, tetapi setelah pekerjaannya
pada AP selesai dan untuk itu ia bebas mengunggah link berita dari AP. Jika ada peristiwa yang diliput AP
secara eksklusif, kantor AP harus mendapat kesempatan untuk
mempublikasikan teks, foto, atau video secara eksklusif, sebelum akhirnya
keluar di jejaring media sosial.
Langkah mengidentifikasi sumber sesungguhnya dalam
jejaring media sosial terkadang merupakan pekerjaan yang tak mudah.
Terkadang ditemukan seseorang yang mengaku sebagai juru bicara dari satu
lembaga, namun staf AP diwajibkan memverifikasi secara langsung lewat
telepon ataupun e-mail terpisah. Untuk itu, para staf pun tidak
dianjurkan menerima begitu saja posting
yang ada di media sosial yang terpapar secara umum. Verifikasi wajib
dilakukan.
Banyak narasumber--para atlet, aktor/aktris--memiliki
akun Twitter, dan terkadang mereka mengklaim bahwa itu adalah milik
mereka yang sah. Namun penyalahgunaan nama para pesohor itu sangatlah
mudah di dunia maya, sehingga selalu dianjurkan untuk para staf AP
memeriksa langsung keabsahan suatu akun, walaupun situs seperti Twitter
atau Google Plus telah memberikan tanda pengesahan khusus.
Dengan demikian, kita melihat bahwa,
dalam dunia jurnalistik yang tengah berubah seiring dengan munculnya
media sosial dan saling mempengaruhi dengan dunia jurnalistik, sejumlah
nilai dasar ingin tetap diperjuangkan: yaitu nilai akurasi, obyektivitas, ketidakbiasan, imparsialitas, dan
keberimbangan. Mungkin ini mirip perumpamaan yang menyebutkan ibarat "anggur lama dalam botol yang
baru". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar