Sabtu, 06 April 2013

Jurnalis dan Dunia Media Sosial


Jurnalis dan Dunia Media Sosial
Ignatius Haryanto ;   Direktur LSPP, Jakarta
KORAN TEMPO, 06 April 2013

  
Dengan demikian, kita melihat bahwa, dalam dunia jurnalistik yang tengah berubah seiring dengan munculnya media sosial dan saling mempengaruhi dengan dunia jurnalistik, sejumlah nilai dasar ingin tetap diperjuangkan: yaitu nilai akurasi, obyektivitas, ketidakbiasan, imparsialitas, dan keberimbangan. 
Mark Little dalam artikelnya di majalah Nieman Reports, "Finding the Wisdom in the Crowd" (Nieman Reports, Summer 2012), mengatakan, "Today we are the managers of an overabundance of information and content, discovered, verified and delivered in partnership with active communities." Nieman Reports edisi ini secara khusus membahas tema soal "Truth in the Age of Social Media"
Apa yang dikatakan Little tersebut senada dengan apa yang telah dikemukakan oleh dua penulis jurnalistik sebelumnya, Bill Kovach & Tom Rosenthiel, dalam buku terakhirnya (Blur: How to Know the Truth in the Age of Information Overload, 2010), yang menyebutkan sejumlah problem untuk konsumen media agar bisa bertahan dalam kondisi saat ini: bagaimana cara kita melakukan verifikasi atas informasi yang datang kepada kita? Apakah berita yang kita terima itu telah komplet? Persoalan lain: dari mana sumber berita itu? Lalu, persoalan lain lagi: apa bukti atas verifikasi yang kita lakukan
Craig Silverman, dalam majalah Nieman Reports yang sama (Summer 2012), menyebutkan dunia baru yang penuh dengan informasi, dengan pendistribusian yang mendekati waktu sesungguhnya (real-time), dari perkembangan telepon pintar dan kamera digital serta jaringan (media) sosial, semuanya telah mengakibatkan disiplin verifikasi kembali menjadi praktek utama dan menjadi nilai penting bagi jurnalis. 
Era di mana audiens juga turut mengisi ruang-ruang media (user generated content) membuat Silverman menyebutkan istilah "verifikasi baru" sebagai suatu keahlian yang dibutuhkan dan perlu dimiliki wartawan zaman sekarang. "The business of verifying and debunking content from the public relies far more on journalistic hunches than snazzy technology." 
Tak dapat dimungkiri bahwa pada saat ini jurnalis dan media sosial adalah dua entitas yang saling memanfaatkan. Jurnalis menggunakan media sosial, dan jurnalis memanfaatkan pula media sosial untuk kepentingan jurnalistik: memeriksa informasi, melihat reaksi orang tertentu, menampilkannya, atau sekadar ingin tahu belaka. Sebaliknya, media sosial membutuhkan juga jurnalis untuk memompa aneka isu yang disebarkan oleh orang-orang tertentu. 
Bagaimanapun, jurnalis yang memanfaatkan media sosial perlu memahami sejumlah nilai dasar yang muncul dari hubungan di antara keduanya. Di sini, penting untuk kita membicarakan apa saja hal yang diatur oleh organisasi media besar terkait dengan jurnalisme dan media sosial. Associated Press (AP) adalah satu lembaga yang termasuk awal memiliki panduan ihwal masalah tersebut. 
Associated Press memiliki panduan untuk para stafnya yang terkait dengan masalah media sosial. AP dalam pengantar panduan tersebut menyebutkan bahwa tujuan dari pembuatan panduan media sosial bagi para staf AP ini adalah untuk meningkatkan brand (merek) AP dan para stafnya lewat jejaring media sosial. AP mendorong para staf untuk aktif dalam jejaring media sosial, tetapi mengajak mereka untuk berhati-hati dalam menyampaikan ekspresi pribadi atau opini pribadi yang terkait dengan isu-isu kontroversial dalam kesehariannya. 
Akun yang dimiliki oleh staf AP harus menyebutkan bahwa dia adalah staf AP, namun tidak perlu menggunakan nama kantor media dalam nama akunnya. Dalam berbagai posting-nya, diharapkan para staf tak menunjukkan afiliasi politiknya ataupun pandangan politiknya. Penggunaan bahan-bahan rahasia dari AP pun dilarang. 
Integritas adalah nilai yang sangat dijaga oleh AP, sehingga panduan ini mewanti-wanti betul para staf agar tidak mudah mengeluarkan opini pribadi penulis, karena akan bisa berdampak buruk pada reputasi AP sebagai media yang netral dan tidak bias. Staf AP boleh-boleh saja me-retweet (istilah dalam dunia Twitter yang berarti meneruskan) suatu informasi, namun harus diperhatikan bahwa retweet tersebut tidak menunjukkan pendapat pribadi staf tersebut. Retweet yang aman adalah jika staf me-retweet hal yang mengandung informasi, atau memberikan konteks dari suatu retweet tersebut. 
Masih dalam kaitan dengan soal integritas, staf AP diajak berhati-hati untuk membina hubungan dengan para politikus, atau narasumber berita, baik pada jejaring Facebook maupun Twitter. Hubungan tersebut diterima sejauh terkait dengan kepentingan reportase semata. Jika politikus tertentu terkait dengan isu kontroversial, staf harus juga membina hubungan dengan politikus lain yang berpendapat berbeda dalam isu tersebut. Tidak dianjurkan untuk berinteraksi dengan para narasumber dalam halaman yang bisa dibaca oleh umum (misalnya menulis komentar di dinding si narasumber, atau atas posting yang mereka sampaikan). 
Para staf AP didorong untuk menunjukkan link dari isi berita AP dalam segala format. Terkait dengan peristiwa yang sedang terjadi, staf AP dibenarkan untuk mem-posting (mengunggah) link atau membuat live tweet, tetapi setelah pekerjaannya pada AP selesai dan untuk itu ia bebas mengunggah link berita dari AP. Jika ada peristiwa yang diliput AP secara eksklusif, kantor AP harus mendapat kesempatan untuk mempublikasikan teks, foto, atau video secara eksklusif, sebelum akhirnya keluar di jejaring media sosial. 
Langkah mengidentifikasi sumber sesungguhnya dalam jejaring media sosial terkadang merupakan pekerjaan yang tak mudah. Terkadang ditemukan seseorang yang mengaku sebagai juru bicara dari satu lembaga, namun staf AP diwajibkan memverifikasi secara langsung lewat telepon ataupun e-mail terpisah. Untuk itu, para staf pun tidak dianjurkan menerima begitu saja posting yang ada di media sosial yang terpapar secara umum. Verifikasi wajib dilakukan. 
Banyak narasumber--para atlet, aktor/aktris--memiliki akun Twitter, dan terkadang mereka mengklaim bahwa itu adalah milik mereka yang sah. Namun penyalahgunaan nama para pesohor itu sangatlah mudah di dunia maya, sehingga selalu dianjurkan untuk para staf AP memeriksa langsung keabsahan suatu akun, walaupun situs seperti Twitter atau Google Plus telah memberikan tanda pengesahan khusus. 
Dengan demikian, kita melihat bahwa, dalam dunia jurnalistik yang tengah berubah seiring dengan munculnya media sosial dan saling mempengaruhi dengan dunia jurnalistik, sejumlah nilai dasar ingin tetap diperjuangkan: yaitu nilai akurasi, obyektivitas, ketidakbiasan, imparsialitas, dan keberimbangan. Mungkin ini mirip perumpamaan yang menyebutkan ibarat "anggur lama dalam botol yang baru". ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar