Kembali, DPR (dan pemerintah)
mengajukan draf rancangan undang-undang yang bertentangan dengan harapan
dan kebutuhan publik.
Melihat judulnya, seyogianyalah
RUU Pemberantasan Perusakan Hutan (RUU P2H) mendapatkan sambutan positif
mengingat buruknya pengelolaan sumber daya hutan Indonesia. Sejak tahun
1985, rata-rata Indonesia kehilangan 1,6 juta hektar hutan atau hampir
seluas negara Kuwait setiap tahun.
The devil is in the details, itu
juga yang terjadi dengan draf RUU berjudul bagus ini. RUU P2H mengandung
kelemahan- kelemahan mendasar.
Latar Belakang
RUU P2H merupakan metamorfosis
RUU Pemberantasan Illegal Logging yang diusulkan pertengahan dekade
2000-an. Frase illegal logging diperkenalkan karena ketiadaan
terminologi yang tepat saat itu. Di Indonesia, frase illegal logging
kerap dipakai EIA/Telapak melalui serangkaian publikasi tentang
penebangan hutan Indonesia secara ilegal.
Dalam The Final Cut (1999), Above the Law (2002), dan The Last Frontier (2005) ditegaskan bahwa illegal logging didalangi
tokoh-tokoh yang mengorkestrasi operasi secara terorganisasi. Publikasi
EIA/Telapak lewat investigasi menyamar menunjukkan bahwa illegal
logging di Indonesia kerap didalangi penjahat internasional lintas
negara.
The Ramin Rackets (2004) dan Profiting from Plunder (2004) mengekspos bagaimana pengusaha
jahat Malaysia mengobok-obok hutan Indonesia. Singapore’s Illegal Timber Trade (2003) mengekspos pemain
sejenis di Singapura. Behind the
Veneer (2006) mengupas tentang pasar kayu Eropa dan Amerika yang
menampung kayu ilegal dari Indonesia.
Merajalelanya mafia kayu (timber
baron) berpadu dengan lemahnya penegakan hukum sehingga perlu aturan
khusus untuk menyasar para pemain kakap. Fokus inilah yang tidak tampak
di RUU P2H karena hanya menyasar rantai terendah organisasi mafia kayu,
yaitu masyarakat.
Tidak banyak hal baru
yang genuine dalam draf RUU P2H. Kebanyakan telah diatur dalam
undang-undang yang berlaku sebelumnya, terutama UU Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan dan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi. Hal-hal
baru yang dimasukkan, seperti pidana minimal, pidana korporasi, pelembagaan
pemberantasan perusakan hutan, juga ada kelemahan substansial.
Kehadiran RUU P2H akan menambah
kusut karena substansinya yang ingin mengatur juga kementerian terkait
dan pemerintah daerah. Padahal, Prof Maria S Sumardjono et al (2009)
menyebutkan, betapa regulasi sumber daya alam Indonesia saling
bertabrakan (conflicting).
Kenyataan inilah yang mendasari
Nota Kesepakatan Bersama 12 Kementerian terkait sumber daya alam. Muncul
keharusan harmonisasi regulasi kehutanan untuk mendorong percepatan pengukuhan
kawasan hutan Indonesia.
Merajalela
Ketika RUU
Pemberantasan Illegal Logging diusulkan satu dekade lalu,
kejahatan illegal logging sedang merajalela di kawasan hutan dari
Aceh hingga Papua. Salah satu pemicunya adalah kapasitas terpasang
industri kayu yang melebihi kemampuan hutan memproduksi kayu. Laporan
Greenpeace berjudul Partners
in Crime (2003) menyebut 88 persen kayu Indonesia dipanen secara
ilegal.
Namun, pengaturan pasar kayu
berpadu dengan stok kayu hutan alam yang semakin menipis mengakibatkan
volume illegal logging
liar turun. Salah satu tonggak penting pengetatan mekanisme pasar adalah Bali Declaration mengenai Forest Law Enforcement and Governance
(FLEG) pada 2001.
Jika illegal logging Indonesia pada 2001 diprediksi 80 persen dari
total kayu yang beredar, tahun 2006 ”tinggal” 40 persen (Sam Lawson and
Larry MacFaul, 2010). HPH aktif di Indonesia, dari 600 HPH tahun 2000
juga turun jadi 115 unit tahun 2012. Namun, kehilangan hutan Indonesia
tetap berlangsung pada luasan amat besar.
Kasus-kasus di Komisi
Pemberantasan Korupsi mengindikasikan perubahan pola kejahatan kehutanan
Indonesia. Dari kayu menjadi penguasaan lahan hutan untuk dikonversi
menjadi perkebunan atau pertambangan.
Namun, RUU P2H lebih mengenai
penebangan dan peredaran kayu ilegal. Dari total 58 jenis perbuatan
pidana yang diatur di dalamnya, hanya 9 yang menyangkut perbuatan pidana
pertambangan dan atau perkebunan yang merusak hutan.
Menurut Indonesia Corruption Watch, dari 205 pelaku illegal logging kakap pada 2005-2008,
yang diadili hanya 19,51 persen. Sisanya, 80,48 persen, pelaku kelas teri
(sopir, operator, dan petani). Dari pelaku kelas kakap yang diadili, 82
persen divonis bebas. Pada pelaku kelas teri, 66 persen divonis bebas, 21
persen divonis di bawah setahun, 7 persen divonis 1-2 tahun, dan 5 persen
divonis di atas 2 tahun.
Dalam RUU P2H, dari total 12
pasal yang mengatur ketentuan pidana, 2 pasal hanya menambahkan mekanisme
pemidanaan, 2 pasal mengatur pidana yang dilakukan pejabat negara, 1
pasal mengenai kejahatan korporasi, dan 7 pasal mengatur pidana-pidana
perbuatan langsung. Terlihat bahwa RUU P2H tidak diperuntukkan bagi otak
kejahatan (mastermind), tetapi hanya para pelaku langsung yang umumnya
adalah rantai terendah dalam kejahatan terorganisasi atau pelaku tunggal
yang biasanya adalah masyarakat lokal yang miskin.
Adanya 1 pasal mengenai
kejahatan korporasi di dalam RUU P2H pun tak sesuai harapan karena
sanksinya diwakilkan ke pengurus serta tiadanya sanksi kompensasi
pemulihan ekosistem yang terlanjur rusak.
Lembaga Bias
Kejahatan sumber daya alam sudah
lama menjadi momok global dan dianggap sebagai kejahatan terorganisasi.
Menurut United Nations on Drugs and
Crime (UNODC), setiap tahun ada Rp 36 triliun kejahatan sumber daya
alam, keempat terbesar di bawah perdagangan obat terlarang, perdagangan
manusia, serta pembajakan dan kejahatan siber.
Di Indonesia, kerugian akibat
pertambangan dalam kawasan hutan karena tanpa izin pinjam pakai saja
mencapai Rp 15,9 triliun per tahun (KPK, 2010). Kerugian tak langsung
akibat kejahatan kehutanan juga luar biasa, terutama terhadap masyarakat
lokal dan atau terdampak lainnya seperti banjir.
Selama ini, kredibilitas dan
efektivitas penanganan oleh KPK menjadi faktor kunci penanganan kasus
korupsi kehutanan. Namun, tidak semua kejahatan kehutanan ada unsur
korupsi sehingga bukan domain KPK. Inilah yang tampaknya ingin dijawab
RUU P2H dengan mengusulkan Lembaga Pemberantasan Perusakan Hutan (LP2H).
Akan tetapi, lembaga tersebut
justru berpeluang menambah kerumitan. Dimasukkannya fungsi pencegahan
menjadikan lembaga ini tumpang tindih peran dengan Kementerian Kehutanan.
Dibatasinya peran LP2H hanya sebatas penyidikan membuatnya tak lebih dari
penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) Kemenhut yang saat ini ada. Padahal,
kendala terbesar selama ini adalah peran penuntutan yang tidak maksimal
serta PPNS yang kerap terhalang oleh penyidik Polri.
Namun, kekayaan ini tak tecermin
dalam keseharian penduduk sekitar hutan. Rich forest poor people,
demikian gambaran Nancy Peluso (1992) terhadap masyarakat dan hutan
sekitarnya yang dikelola Perhutani di Jawa. Berpadu dengan tingginya
konflik agraria, kekayaan ini justru menjadi kutukan (Kutukan Komoditas,
Gelder et al, 2005).
RUU P2H berpotensi memperparah
situasi ini. Konstruksi pasal demi pasal yang cenderung mengatur pelaku
langsung akan sangat mudah dipelintir untuk mengkriminalisasi masyarakat
sekitar hutan yang hidupnya bergantung pada hutan.
Pasal 84 RUU P2H menyebutkan,
barangsiapa membawa alat-alat yang lazim dipakai untuk menebang,
memotong, atau membelah pohon dalam kawasan hutan akan dipidana 2-15
tahun penjara dan denda Rp 1 miliar hingga Rp 7,5 miliar. Jika yang
membawa penduduk sekitar hutan dipidana 3 bulan-10 tahun penjara dan
denda Rp 0,5 miliar-Rp 5 miliar.
Bagaimana dengan anggota
pencinta alam yang menjelajah hutan membawa golok? Penduduk kawasan hutan
yang juga membawa golok saat mencari madu hutan? Belum lagi ada sekitar
32.000 desa berkonflik batas dengan kawasan hutan. Mereka pun biasa
memegang parang untuk mencari pakan ternak.
Jelaslah bahwa RUU P2H harus
ditarik, ditunda pengundangannya, dan dirombak total. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar