Selasa, 23 April 2013

Republik Amuk


Republik Amuk
Yonky Karman Pengajar di STT Jakarta
KOMPAS, 22 April 2013

  
Entah bagaimana amuk menjadi sebuah sumbangan kosakata Indonesia untuk dunia. seolah-olah kerusuhan yang melibatkan banyak orang itu khas Indonesia.
Dalam deskripsi Pramoedya Ananta Toer, ”Bila mereka sudah melewati titik—dalam dari ketakutan dan kecurigaannya ...—satu golongan mana di bawah matari Tuhan ini, yang tidak biasa berpikir rasionil—dia akan melakukan dalam ledakan membabi buta yang dinamai amock” (Anak Semua Bangsa, 247).
Amuk petani Jawa yang dimaksud Pram bukan untuk membela diri, menyerang, atau membalas dendam. Itu hanya ungkapan putus asa rakyat jelata yang semua miliknya telah dirampas, termasuk kesempatan hidup terakhir. Mereka tak tahu lagi harus berbuat apa. Namun, tak semua bisa diselesaikan dengan parang dan amarah, terutama berhadapan dengan bedil dan meriam kompeni.
Berbeda dari amuk di era kolonial, sasaran amuk kini adalah simbol-simbol pemerintahan sipil dan sesama warga negara. Pelakunya dapat dikategorikan manusia-massa (mass-man) yang mengingkari disiplin dan mengklaim ”negara adalah aku” (José Ortegay Gasset, The Revolt of the Masses, 1932). Manusia-massa mengabaikan norma di luar dirinya dan bertindak menurut norma sendiri, lebih sadar hak daripada kewajiban. Deaktivasi rasionalitas bernegara diikuti aktivasi hukum rimba yang memuliakan kekuatan otot. Manusia-massa merasa aman bernaung di bawah ormas yang patronnya orang kuat. Republik hendak repot-repot mengurus ormas ketika yang diperlukan sebenarnya adalah menindak manusia-massa yang berlaku seolah-olah negara adalah kami. Organisasi massa tidak begitu saja identik dengan kumpulan manusia-massa. Negara telah berkali-kali kalah menghadapi amuk massa yang melampiaskan nafsu destruktifnya.
Ketika hukum dilecehkan massa yang garang, negara tidak hadir dengan tindakan tegas. Sesudah pecah insiden, peran negara bak pemadam kebakaran. Pihak yang lebih lemah disalahkan karena memprovokasi keberingasan massa. Hukum beradab pelindung kehidupan dicampakkan untuk membuka jalan tindakan biadab. Logika negara hukum pun terbalik-balik. Kegagalan pemerintah mengantisipasi dan menangani tuntas suatu insiden amuk massa memunculkan habitus baru manusia Indonesia. Ngamuk dulu, urusan belakangan. Amuk menjadi bahaya serius bagi negara ketika yang terlibat adalah sekelompok elite bersenjata terlatih. Dua insiden besar hanya dalam waktu sebulan dengan sasaran simbol sipil telah menggoyahkan tiang negara sipil. Garda negara menggerogoti wibawa negara hukum. Administrasi keadilan publik merupakan domain negara. Amuk adalah indikasi miskinnya disiplin berhukum.
Hukum Tak Berwibawa
Republik ini baru punya banyak hukum. Ada penegakan hukum, tetapi tak konsisten. Malangnya menjadi rakyat yang tak punya apa-apa. Enaknya menjadi (bagian dari keluarga) pejabat yang selalu mendapatkan alasan diperlakukan istimewa. Hukum tampak garang ke bawah, tetapi hilang kegarangannya ketika yang tersangkut ada kaitannya dengan lingkaran kekuasaan. Hukum memihak kekuasaan dan segelintir warga yang punya cara menaklukkan penguasa. Daripada sebagai hamba hukum, penegak hukum lebih sebagai penguasa hukum.
Merosotnya wibawa hukum terlihat dari pengguna jalan raya yang baru terlihat patuh saat ada polisi berjaga di tempat. Kalau tidak ada, segala rambu lalu lintas menjadi seperti tak ada artinya. Jika kehadiran fisik polisi sebagai ukuran, sampai kapan pun hukum di jalan tak pernah tegak sebab rasio jumlah polisi dan penduduk sulit mencapai keseimbangan yang dimaksud. Pemandangan sehari-hari adalah hukum jalanan.
Polisi sudah tak berdaya. Saat yang dibutuhkan adalah tindakan tegas, yang dilakukan polisi adalah mengimbau kepatuhan berlalu lintas untuk keselamatan jiwa. Polisi tetap sibuk memeriksa kelengkapan administratif dan menindak pelanggaran markah yang sepele, sementara pelanggaran barbar di depan mata.
Di mata para pemimpin negeri, tertib lalu lintas bukan cermin tertib sipil. Polisi lebih diapresiasi untuk tugas heroiknya daripada prestasi membenahi kesemrawutan di jalan. Padahal, di negeri yang hukumnya tegak, jarang sekali kehadiran fisik polisi di jalan. Orang tak tergoda untuk melanggar hukum sekecil apa pun, sejauh itu produk negara. Kewibawaan hukum dipertaruhkan dengan penegakan hukum tanpa bulu.
Lebih lanjut, merosotnya wibawa hukum terlihat dari korupsi otoritas. Penguasa Republik bermain mata dengan kekuatan ilegal untuk tegaknya tertib sipil dengan dalih melibatkan masyarakat. Dengan begitu, polisi memetik dua keuntungan. Pertama, mendapatkan bantuan di luar struktur. Kedua, jika terjadi insiden, polisi turun tangan bak pahlawan. Masyarakat terpaksa merogoh kocek untuk jasa pengamanan tambahan. Masyarakat dibuat bergantung pada polisi dan yang dapat bekerja sama dengan polisi demi distribusi otoritas penegakan tertib sipil. Premanisme berjubah ormas tumbuh subur di negeri ini.
Kepercayaan rendah pada proses hukum negara membuat orang tergoda menghidupkan hukum jalanan yang pelakunya kelihatan lebih beruntung. Situasi nasional yang memprihatinkan ini tak cukup ditangani penegak hukum di lapangan yang menerjemahkan kemauan atasan. Atasan tutup mata untuk korupsi kecil bawahannya agar korupsi yang lebih besar tak dipersoalkan anak buah. Politik pembiaran berjenjang sampai ke level pimpinan tertinggi. Selama ini, sanksi untuk penegak hukum hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Prajurit kecil terang-terangan dihukum, petinggi dilindungi, dan paling banter mutasi jabatan.
Harus Dikawal
Presiden seharusnya mengawal proses penegakan hukum. Bukan mencampuri proses hukum, tetapi bisa marah atas penegakan hukum yang jelas-jelas mengusik rasa keadilan. Kemarahan itu kemudian berujung sanksi kepada pejabat yang tak kompeten mengurus anak buahnya yang memerosotkan wibawa negara hukum. Indonesia rawan dengan pemilu yang berujung amuk massa. Perlu ketentuan hukum darurat yang membuat peserta pemilu kehilangan semua hak konstitusionalnya terkait pemilu apabila pendukungnya membuat kerusuhan. Ini akan memaksa para kandidat memakai wibawanya, bukan hanya untuk menarik dukungan massa, melainkan juga meredam ketidakpuasan massa pendukung.
Era reformasi sedang memperlihatkan sisi lain Indonesia. Bangsa yang lemah mengatur diri sendiri. Mungkinkah ini habitus bangsa sebagai hasil penjajahan begitu lama atau, lebih buruk lagi, manusia Indonesia memiliki mentalitas menghamba sehingga mengalami penjajahan begitu lama? Tantangan bagi para pemimpin Republik adalah tertib sipil untuk membuktikan bangsa merdeka ini dapat mengatur diri sendiri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar