Entah bagaimana amuk menjadi
sebuah sumbangan kosakata Indonesia untuk dunia. seolah-olah kerusuhan
yang melibatkan banyak orang itu khas Indonesia.
Dalam deskripsi Pramoedya
Ananta Toer, ”Bila mereka
sudah melewati titik—dalam dari ketakutan dan kecurigaannya ...—satu
golongan mana di bawah matari Tuhan ini, yang tidak biasa berpikir
rasionil—dia akan melakukan dalam ledakan membabi buta yang dinamai amock”
(Anak Semua Bangsa, 247).
Amuk petani Jawa yang dimaksud
Pram bukan untuk membela diri, menyerang, atau membalas dendam. Itu hanya
ungkapan putus asa rakyat jelata yang semua miliknya telah dirampas,
termasuk kesempatan hidup terakhir. Mereka tak tahu lagi harus berbuat
apa. Namun, tak semua bisa diselesaikan dengan parang dan amarah,
terutama berhadapan dengan bedil dan meriam kompeni.
Berbeda dari amuk di era
kolonial, sasaran amuk kini adalah simbol-simbol pemerintahan sipil dan
sesama warga negara. Pelakunya dapat dikategorikan manusia-massa
(mass-man) yang mengingkari disiplin dan mengklaim ”negara adalah aku” (José
Ortegay Gasset, The Revolt of the Masses, 1932). Manusia-massa
mengabaikan norma di luar dirinya dan bertindak menurut norma sendiri,
lebih sadar hak daripada kewajiban. Deaktivasi rasionalitas bernegara
diikuti aktivasi hukum rimba yang memuliakan kekuatan otot. Manusia-massa
merasa aman bernaung di bawah ormas yang patronnya orang kuat. Republik
hendak repot-repot mengurus ormas ketika yang diperlukan sebenarnya
adalah menindak manusia-massa yang berlaku seolah-olah negara adalah
kami. Organisasi massa tidak begitu saja identik dengan kumpulan
manusia-massa. Negara telah berkali-kali kalah menghadapi amuk massa yang
melampiaskan nafsu destruktifnya.
Ketika hukum dilecehkan massa
yang garang, negara tidak hadir dengan tindakan tegas. Sesudah pecah
insiden, peran negara bak pemadam kebakaran. Pihak yang lebih lemah
disalahkan karena memprovokasi keberingasan massa. Hukum beradab
pelindung kehidupan dicampakkan untuk membuka jalan tindakan biadab.
Logika negara hukum pun terbalik-balik. Kegagalan pemerintah
mengantisipasi dan menangani tuntas suatu insiden amuk massa memunculkan
habitus baru manusia Indonesia. Ngamuk dulu, urusan belakangan. Amuk
menjadi bahaya serius bagi negara ketika yang terlibat adalah sekelompok
elite bersenjata terlatih. Dua insiden besar hanya dalam waktu sebulan
dengan sasaran simbol sipil telah menggoyahkan tiang negara sipil. Garda
negara menggerogoti wibawa negara hukum. Administrasi keadilan publik
merupakan domain negara. Amuk adalah indikasi miskinnya disiplin
berhukum.
Hukum Tak Berwibawa
Republik ini baru punya banyak
hukum. Ada penegakan hukum, tetapi tak konsisten. Malangnya menjadi
rakyat yang tak punya apa-apa. Enaknya menjadi (bagian dari keluarga)
pejabat yang selalu mendapatkan alasan diperlakukan istimewa. Hukum
tampak garang ke bawah, tetapi hilang kegarangannya ketika yang
tersangkut ada kaitannya dengan lingkaran kekuasaan. Hukum memihak
kekuasaan dan segelintir warga yang punya cara menaklukkan penguasa.
Daripada sebagai hamba hukum, penegak hukum lebih sebagai penguasa hukum.
Merosotnya wibawa hukum terlihat
dari pengguna jalan raya yang baru terlihat patuh saat ada polisi berjaga
di tempat. Kalau tidak ada, segala rambu lalu lintas menjadi seperti tak
ada artinya. Jika kehadiran fisik polisi sebagai ukuran, sampai kapan pun
hukum di jalan tak pernah tegak sebab rasio jumlah polisi dan penduduk
sulit mencapai keseimbangan yang dimaksud. Pemandangan sehari-hari adalah
hukum jalanan.
Polisi sudah tak berdaya. Saat
yang dibutuhkan adalah tindakan tegas, yang dilakukan polisi adalah
mengimbau kepatuhan berlalu lintas untuk keselamatan jiwa. Polisi tetap
sibuk memeriksa kelengkapan administratif dan menindak pelanggaran markah
yang sepele, sementara pelanggaran barbar di depan mata.
Di mata para pemimpin negeri,
tertib lalu lintas bukan cermin tertib sipil. Polisi lebih diapresiasi
untuk tugas heroiknya daripada prestasi membenahi kesemrawutan di jalan.
Padahal, di negeri yang hukumnya tegak, jarang sekali kehadiran fisik
polisi di jalan. Orang tak tergoda untuk melanggar hukum sekecil apa pun,
sejauh itu produk negara. Kewibawaan hukum dipertaruhkan dengan penegakan
hukum tanpa bulu.
Lebih lanjut, merosotnya wibawa
hukum terlihat dari korupsi otoritas. Penguasa Republik bermain mata
dengan kekuatan ilegal untuk tegaknya tertib sipil dengan dalih
melibatkan masyarakat. Dengan begitu, polisi memetik dua keuntungan.
Pertama, mendapatkan bantuan di luar struktur. Kedua, jika terjadi
insiden, polisi turun tangan bak pahlawan. Masyarakat terpaksa merogoh
kocek untuk jasa pengamanan tambahan. Masyarakat dibuat bergantung pada
polisi dan yang dapat bekerja sama dengan polisi demi distribusi otoritas
penegakan tertib sipil. Premanisme berjubah ormas tumbuh subur di negeri
ini.
Kepercayaan rendah pada proses
hukum negara membuat orang tergoda menghidupkan hukum jalanan yang
pelakunya kelihatan lebih beruntung. Situasi nasional yang memprihatinkan
ini tak cukup ditangani penegak hukum di lapangan yang menerjemahkan
kemauan atasan. Atasan tutup mata untuk korupsi kecil bawahannya agar
korupsi yang lebih besar tak dipersoalkan anak buah. Politik pembiaran
berjenjang sampai ke level pimpinan tertinggi. Selama ini, sanksi untuk
penegak hukum hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Prajurit kecil
terang-terangan dihukum, petinggi dilindungi, dan paling banter mutasi
jabatan.
Harus Dikawal
Presiden seharusnya mengawal
proses penegakan hukum. Bukan mencampuri proses hukum, tetapi bisa marah
atas penegakan hukum yang jelas-jelas mengusik rasa keadilan. Kemarahan
itu kemudian berujung sanksi kepada pejabat yang tak kompeten mengurus
anak buahnya yang memerosotkan wibawa negara hukum. Indonesia rawan
dengan pemilu yang berujung amuk massa. Perlu ketentuan hukum darurat
yang membuat peserta pemilu kehilangan semua hak konstitusionalnya
terkait pemilu apabila pendukungnya membuat kerusuhan. Ini akan memaksa
para kandidat memakai wibawanya, bukan hanya untuk menarik dukungan
massa, melainkan juga meredam ketidakpuasan massa pendukung.
Era reformasi sedang
memperlihatkan sisi lain Indonesia. Bangsa yang lemah mengatur diri
sendiri. Mungkinkah ini habitus bangsa sebagai hasil penjajahan begitu
lama atau, lebih buruk lagi, manusia Indonesia memiliki mentalitas
menghamba sehingga mengalami penjajahan begitu lama? Tantangan bagi para
pemimpin Republik adalah tertib sipil untuk membuktikan bangsa merdeka
ini dapat mengatur diri sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar