Belakangan, media massa,
khususnya televisi, begitu santer memberitakan ihwal serangkaian aksi
kekerasan. Kejadian demi kejadian hampir tanpa jarak disajikan secara
telanjang.
Seakan-akan media massa saat ini
memang lebih tertarik pada konflik, kekerasan, pertikaian bersenjata,
amuk massa, korban tewas, dan kerusakan-kerusakan lainnya. Alih-alih
memberi ruang bagi fungsi mediasi yang lebih mendamaikan dan menggugah
perasaan, media justru tampak menjadi semacam kanal yang berfungsi
mengalirkan luapan emosi, amarah, dan kecenderungan destruktif manusia
secara wajar. Akibatnya, kedamaian dan rasa aman masyarakat menjadi kian
terkoyak ketika letupan-letupan kekerasan itu terlihat semakin tajam,
sadis, dan dramatis ketika diberitakan.
Hal ini tampak, misalnya, dalam
peliputan tragedi berdarah di LP Cebongan, Sleman, Yogyakarta, baru-baru
ini. Lagi-lagi, tragedi yang semula adalah perkelahian antarindividu
akhirnya berkembang menjadi penyerbuan bersenjata dan sentimen
antarkelompok. Perkembangan eskalasi konflik ini pun kemudian meluas
menjadi isu nasional, bahkan internasional.
Secara ideal, media memang harus
menyediakan informasi yang jujur dan seluas mungkin mengenai apa yang
layak dan perlu diketahui masyarakat. Namun, menurut Wilbur Schramm
(1971), pola kerja pemberitaan media tentang krisis sosial masih cenderung
mengutamakan penyajian berita secara cepat, tetapi minus akurat.
Akibatnya, isi berita menjadi
terfragmentasi, silang sengkarut, dan membingungkan. Lebih lagi ketika
satu peristiwa yang sama diberitakan secara berbeda, bahkan bertentangan.
Inilah yang sering kali memunculkan bias pemahaman di tengah masyarakat.
Di balik independensi dan
obyektivitas media, tersimpan paradoks, tragedi, bahkan ironi. Media
tercerabut dari ruh yang seharusnya berkiblat kepada kepentingan publik.
Kehadiran media belum mampu menjamin perbaikan situasi krisis sosial yang
kini tengah berlangsung. Pemberitaan tentang kekerasan yang disajikan
masih bersifat permukaan, parsial, dan kurang proporsional.
Bangun Sensitivitas
Jika dicermati, sebagian besar
liputan media hanya menekankan pada sisi kronologis jalannya kekerasan
dan dikotomi sederhana antara dua kubu yang berseteru. Bukan pada aspek
akar masalah dan proses verifikasi yang bisa mendukung perbaikan situasi
bagi tumbuhnya perdamaian.
Padahal, setiap kekerasan yang
ditampilkan secara vulgar oleh media akan bersentuhan langsung dengan
karakteristik ”murni” masyarakat. Informasi tentang kekerasan akan
diteruskan ke dalam struktur kognitif (memori) mereka dan membentuk
sistem respons yang dapat memicu perubahan nilai, sikap, dan perilaku.
Lebih-lebih, Aristoteles pernah menyatakan bahwa melihat pemandangan
kekerasan dapat mengeluarkan perasaan agresif manusia.
Dalam konteks ini, Fred Siebert
(1986) mengingatkan bahwa pemberitaan media yang berisi konflik dapat
membawa dua pengaruh, yakni memperluas eskalasi kekerasan atau dapat
membantu meredakan dan menyelesaikan konflik.
Untuk itulah, media harus
memikirkan ulang (rethinking) bahwa berita yang ditulis dan ditayangkan
akan punya efek atau dampak berganda kepada masyarakat yang menyimaknya.
Penyaringan (filterisasi) dan pembingkaian (framing) informasi bukan
untuk memprovokasi dan mempertajam konflik, melainkan berusaha mendorong
kemunculan ide-ide kreatif bagi alternatif penyelesaian konflik. Media
harus membangun sensitivitas dan kesadaran untuk membawa pemberitaan
kekerasan ke arah perdamaian.
Sensitivitas media ini adalah
dengan mengedepankan sikap empati kepada korban konflik dan akibat-akibat
kemanusiaan lainnya daripada liputan kontinu tentang jalannya kekerasan.
Inilah yang disebut Jake Lynch dan Annabel McGoldrick (1991) sebagai
jurnalisme damai (peace journalism).
Jurnalisme damai selalu
menempatkan perang atau kekerasan sebagai sebuah ironi kemanusiaan yang
tidak seharusnya terjadi. Hal ini akan terwujud jika media menetapkan
”pilihan-pilihan bersifat damai” tentang berita yang disajikan dan
bagaimana cara menyajikannya.
Di sini, sensitivitas media
berperan menyerukan kepada semua pihak untuk memikirkan dampak yang tak
langsung terlihat akibat dari kekerasan. Sebutlah seperti kerugian
psikologis, kerusakan struktur sosial, budaya, moral, dan hancurnya masa
depan korban kekerasan.
Peran Aktif
Kini, media harus memosisikan
berita kekerasan sedemikian rupa sehingga mendorong dilakukannya analisis
konflik dan tanggapan tanpa kekerasan. Kebiasan untuk mendongkrak (mem-blow up), memberi vonis (trial by the press) sebuah
peristiwa secara berlebihan demi meningkatkan daya tarik publik justru
menunjukkan lemahnya tanggung jawab media dalam pemberitaan.
Apalagi, jika berita yang disajikan
itu tidak didukung disiplin verifikasi dan klarifikasi fakta secara
akurat. Untuk itu, pembingkaian berita harus dilakukan secara lebih luas,
berimbang, dan akurat dengan didasarkan pada informasi tentang kekerasan
dan perubahan-perubahan yang terjadi, khususnya ekses fatal yang
ditimbulkan.
Pola kerja media harus dapat
melihat suatu tragedi kekerasan dari beberapa perspektif yang berbeda.
Pengungkapan akar masalah kekerasan bisa terkait dengan sejarah,
psikologi, sosial, budaya, dan lain sebagainya. Dengan demikian, media
akan mampu mengungkap fakta tentang kekerasan secara lebih komprehensif
dan holistik sehingga masalah dapat dianalisis dan dipetakan untuk
kemudian dimunculkan berbagai alternatif solusi pemecahannya.
Geser Sudut Pandang
Langkah ini diperlukan agar
peristiwa kekerasan menjadi semakin transparan, bukan mengacaukan
interpretasi publik. Dari sinilah media—melalui strategi pemberitaan yang
tepat—akan mampu berperan aktif menjadi bagian dari solusi, bukan
memperkeruh situasi krisis sosial itu.
Selain itu, media juga dituntut
untuk memindahkan orientasi sumber pemberitaan dari level elite ke level
masyarakat. Misalnya dengan menggeser sudut pandang liputan dari fakta
kekerasan ke arah pusat penderitaan masyarakat. Suara publik yang mulai jenuh
dengan pemberitaan konflik dan kekerasan harus mendapat porsi pemberitaan
yang lebih banyak dibandingkan para pihak yang berkonflik.
Hal ini bertujuan untuk
menggugah kesadaran bahwa konflik yang disertai kekerasan hanya
mendatangkan kerugian dan penderitaan bagi manusia yang menjadi korban.
Akhirnya, kualitas komunikasi dan informasi media melalui berbagai upaya
perluasan pemberitaan yang lebih damai dapat membantu perbaikan situasi
krisis sosial yang kini kian marak terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar