Perspektif
Hukum Pidana Internasional
Kasus
Cebongan
Romi Atmasasmita ; Guru Besar
Emeritus Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran (Unpad)
|
|
KORAN SINDO, 20 April 2013
Cebongan
salah satu kecamatan di Kabupaten Sleman, Yogyakarta menjadi sorotan
dunia internasional dan nasional.
Apakah kasus penembakan yang mengakibatkan empat tahanan polisi mati di
tempat penahanan Lapas Cebongan termasuk kejahatan biasa atau kejahatan
luar biasa? Ada kriteria harus dipenuhi jika kejahatan termasuk biasa
yaitu bersifat individual, tidak ada korban massal, dan tidak terlibat
unsur kekuasaan lazim alat negara seperti polisi dan unsur ABRI atau
pemegang jabatan kekuasaan eksekutif. Sedangkan kejahatan bersifat luar
biasa memiliki ciri sebaliknya dan ditambah dengan unsur ada perintah
komandan.
Doktrin hukum pidana internasional telah sepakat bahwa pelanggaran HAM
yang disebut luar biasa terkandung unsur kekuasaan (negara) berhadapan
dengan warga negara dan jika fakta benar terjadi, pelanggaran HAM itu
disebut “gross-violation of human
rights”. Jika peristiwa penembakan di Cebongan sampai menimbulkan
kekhawatiran masyarakat luas dan merasa tidak aman dari ancaman teror
yang bersifat terus-menerus tanpa henti-henti, peristiwa tersebut dapat
digolongkan ke dalam tindak pidana terorisme (Pasal 6 UU RI Nomor 15
Tahun 2003) atau dapat digolongkan ke dalam tindak pidana sebagaimana
diatur dalam UU RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Kasus Cebongan ternyata dilakukan oleh sekelompok oknum Kopassus AD dan
telah diakui oleh tim investigasi AD. Dengan pengakuan tersebut untuk
sementara tidak serta-merta telah terjadi pelanggaran HAM berat karena
belum ada bukti-bukti bahwa perbuatan tersebut dilakukan di bawah
perintah komandan kecuali jika hasil pemeriksaan mendalam oleh tim
investigasi AD menunjukkan sebaliknya.
Bagaimana
peranan Komnas HAM? Komnas HAM sesuai UU RI Nomor 26 Tahun 2000
melaksanakan fungsi penyelidikan dan tetap wajib dilanjutkan.
Sekalipun temuan tim investigasi AD telah diumumkan kepada publik, hasil
temuan Komnas HAM wajib diserahkan kepada Jaksa Agung. Polri tidak
memiliki kewenangan melakukan penyelidikan sesuai UU RI Nomor 26 Tahun
2000 kecuali jika Komnas HAM menemukan bukti indikasi bahwa peristiwa
Cebongan bukan termasuk pelanggaran HAM berat, Polri wajib bekerja sama
dengan Puspom ABRI menyelidiki lebih lanjut peristiwa tersebut sebagai
tindak pidana biasa vide pelanggaran KUHP. Jika peristiwa Cebongan merupakan
tindak pidana biasa, pengadilan militer yang menuntut dan mengadili para
pelakunya.
Sementara jika peristiwa tersebut terbukti merupakan pelanggaran HAM
sejalan dengan UU RI Nomor 26 Tahun 2000, pengadilan HAM yang memiliki
kompetensi untuk memeriksa dan mengadilinya. Masalah kewenangan mengadili
tidak perlu dijadikan pro dan kontra karena bergantung hasil penyidikan
baik tim investigasi AD maupun Komnas HAM atau penyidik Polri dan POM AD.
Yang penting dalam peristiwa Cebongan adalah telah ada korban sipil siapa
pun mereka dan ada pelaku yang memiliki status prajurit AD.
KUHP hanya menyediakan dua pasal yaitu Pasal 338 untuk pembunuhan biasa
dan Pasal 340 untuk pembunuhan berencana; sedangkan UU RI Nomor 26 Tahun
2000 hanya membedakan dua kategori pelanggaran HAM yaitu genosida dan
kejahatan kemanusiaan. Jika merujuk pada dua kategori tersebut, peristiwa
Cebongan belum termasuk pelanggaran HAM karena kejahatan kemanusiaan
masih harus dibuktikan dipenuhinya “systematic
and widespread attack to civil population” yang direncanakan dan atas
perintah komandan.
Sedangkan untuk genosida masih harus dibuktikan bahwa penyerangan dan
pembunuhan oleh oknum Kopassus ditujukan untuk membasmi dan menghapuskan
etnis tertentu. Analisis saya atas peristiwa Cebongan adalah bukan
peristiwa pelanggaran HAM, melainkan tindak pidana biasa sehingga tidak
memerlukan pengadilan HAM. Mengapa? Sejak pelanggaran HAM di Timor Leste,
pembuktian bahwa peristiwa tersebut menjadi tanggung jawab seorang
komandan sangat sulit karena perbedaan mindset ahli hukum terutama praktisi tidak terbiasa dengan
pengertian istilah hukum yang dikenal dengan “tanggung jawab komandan” yang menggunakan pendekatan “should have known test”.
Pendekatan yang telah lazim diketahui dan dilaksanakan sejak HIR dan
KUHAP yaitu pendekatan teori kausalitas (causaliteits-leer) yang hanya mengakui hubungan langsung
antara pemberi perintah dan yang diperintah dalam konteks yang terjadi
dan diduga kejahatan. KUHP justru melindungi penerima perintah (bawahan)
jika perintah tersebut dilaksanakan dalam lingkup kewenangan jabatan
pemberi perintah (atasan), namun perintah itu juga harus diyakini
penerima perintah yang beriktikad baik bahwa perintah tersebut sesuai
dengan kewenangan yang diberikan undangundang kepada atasannya.
Atas dasar uraian ini, penegakan hukum terhadap suatu pelanggaran HAM
bukan terletak semata-mata pada komitmen seorang presiden atau panglima
ABRI dan jajarannya, melainkan juga terletak pada pengetahuan, pemahaman,
dan perubahan mindset di kalangan praktisi hukum itu sendiri termasuk
Komnas HAM tentang konsep “should
have known test” yang terbukti di lapangan sulit memperoleh bukti
yang cukup daripada konsep kausalitas yang telah terinternalisasi, baik
sejak pendidikan hukum maupun dalam praktik penegakan hukum yang telah
diakui sejak lama. ●
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar