Minggu, 21 April 2013

Perspektif Hukum Pidana Internasional Kasus Cebongan


Perspektif Hukum Pidana Internasional
Kasus Cebongan
Romi Atmasasmita  ;  Guru Besar Emeritus Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran (Unpad) 
KORAN SINDO, 20 April 2013

  
Cebongan salah satu kecamatan di Kabupaten Sleman, Yogyakarta menjadi sorotan dunia internasional dan nasional. 

Apakah kasus penembakan yang mengakibatkan empat tahanan polisi mati di tempat penahanan Lapas Cebongan termasuk kejahatan biasa atau kejahatan luar biasa? Ada kriteria harus dipenuhi jika kejahatan termasuk biasa yaitu bersifat individual, tidak ada korban massal, dan tidak terlibat unsur kekuasaan lazim alat negara seperti polisi dan unsur ABRI atau pemegang jabatan kekuasaan eksekutif. Sedangkan kejahatan bersifat luar biasa memiliki ciri sebaliknya dan ditambah dengan unsur ada perintah komandan. 

Doktrin hukum pidana internasional telah sepakat bahwa pelanggaran HAM yang disebut luar biasa terkandung unsur kekuasaan (negara) berhadapan dengan warga negara dan jika fakta benar terjadi, pelanggaran HAM itu disebut “gross-violation of human rights”. Jika peristiwa penembakan di Cebongan sampai menimbulkan kekhawatiran masyarakat luas dan merasa tidak aman dari ancaman teror yang bersifat terus-menerus tanpa henti-henti, peristiwa tersebut dapat digolongkan ke dalam tindak pidana terorisme (Pasal 6 UU RI Nomor 15 Tahun 2003) atau dapat digolongkan ke dalam tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. 

Kasus Cebongan ternyata dilakukan oleh sekelompok oknum Kopassus AD dan telah diakui oleh tim investigasi AD. Dengan pengakuan tersebut untuk sementara tidak serta-merta telah terjadi pelanggaran HAM berat karena belum ada bukti-bukti bahwa perbuatan tersebut dilakukan di bawah perintah komandan kecuali jika hasil pemeriksaan mendalam oleh tim investigasi AD menunjukkan sebaliknya.
Bagaimana peranan Komnas HAM? Komnas HAM sesuai UU RI Nomor 26 Tahun 2000 melaksanakan fungsi penyelidikan dan tetap wajib dilanjutkan. 
Sekalipun temuan tim investigasi AD telah diumumkan kepada publik, hasil temuan Komnas HAM wajib diserahkan kepada Jaksa Agung. Polri tidak memiliki kewenangan melakukan penyelidikan sesuai UU RI Nomor 26 Tahun 2000 kecuali jika Komnas HAM menemukan bukti indikasi bahwa peristiwa Cebongan bukan termasuk pelanggaran HAM berat, Polri wajib bekerja sama dengan Puspom ABRI menyelidiki lebih lanjut peristiwa tersebut sebagai tindak pidana biasa vide pelanggaran KUHP. Jika peristiwa Cebongan merupakan tindak pidana biasa, pengadilan militer yang menuntut dan mengadili para pelakunya. 

Sementara jika peristiwa tersebut terbukti merupakan pelanggaran HAM sejalan dengan UU RI Nomor 26 Tahun 2000, pengadilan HAM yang memiliki kompetensi untuk memeriksa dan mengadilinya. Masalah kewenangan mengadili tidak perlu dijadikan pro dan kontra karena bergantung hasil penyidikan baik tim investigasi AD maupun Komnas HAM atau penyidik Polri dan POM AD. Yang penting dalam peristiwa Cebongan adalah telah ada korban sipil siapa pun mereka dan ada pelaku yang memiliki status prajurit AD. 

KUHP hanya menyediakan dua pasal yaitu Pasal 338 untuk pembunuhan biasa dan Pasal 340 untuk pembunuhan berencana; sedangkan UU RI Nomor 26 Tahun 2000 hanya membedakan dua kategori pelanggaran HAM yaitu genosida dan kejahatan kemanusiaan. Jika merujuk pada dua kategori tersebut, peristiwa Cebongan belum termasuk pelanggaran HAM karena kejahatan kemanusiaan masih harus dibuktikan dipenuhinya “systematic and widespread attack to civil population” yang direncanakan dan atas perintah komandan. 

Sedangkan untuk genosida masih harus dibuktikan bahwa penyerangan dan pembunuhan oleh oknum Kopassus ditujukan untuk membasmi dan menghapuskan etnis tertentu. Analisis saya atas peristiwa Cebongan adalah bukan peristiwa pelanggaran HAM, melainkan tindak pidana biasa sehingga tidak memerlukan pengadilan HAM. Mengapa? Sejak pelanggaran HAM di Timor Leste, pembuktian bahwa peristiwa tersebut menjadi tanggung jawab seorang komandan sangat sulit karena perbedaan mindset ahli hukum terutama praktisi tidak terbiasa dengan pengertian istilah hukum yang dikenal dengan “tanggung jawab komandan” yang menggunakan pendekatan “should have known test”. 

Pendekatan yang telah lazim diketahui dan dilaksanakan sejak HIR dan KUHAP yaitu pendekatan teori kausalitas (causaliteits-leer) yang hanya mengakui hubungan langsung antara pemberi perintah dan yang diperintah dalam konteks yang terjadi dan diduga kejahatan. KUHP justru melindungi penerima perintah (bawahan) jika perintah tersebut dilaksanakan dalam lingkup kewenangan jabatan pemberi perintah (atasan), namun perintah itu juga harus diyakini penerima perintah yang beriktikad baik bahwa perintah tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan undangundang kepada atasannya. 

Atas dasar uraian ini, penegakan hukum terhadap suatu pelanggaran HAM bukan terletak semata-mata pada komitmen seorang presiden atau panglima ABRI dan jajarannya, melainkan juga terletak pada pengetahuan, pemahaman, dan perubahan mindset di kalangan praktisi hukum itu sendiri termasuk Komnas HAM tentang konsep “should have known test” yang terbukti di lapangan sulit memperoleh bukti yang cukup daripada konsep kausalitas yang telah terinternalisasi, baik sejak pendidikan hukum maupun dalam praktik penegakan hukum yang telah diakui sejak lama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar