Pascareformasi 1998,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tercatat sebesar Rp1.200
triliun dan Produk Domestik Bruto (PDB) mendekati Rp7.000 triliun, tetapi
kemiskinan justru meningkat menjadi 31 juta lebih orang.
Fenomena ini menunjukkan buruknya kinerja pemerintah dalam pengelolaan
APBN termasuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Menteri
keuangan melaporkan Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SILPA) APBD Tahun
Anggaran 2012 mencapai Rp99,24 triliun. Besarnya silpa APBD menunjukkan
buruknya kinerja pemerintah dalam pengelolaan keuangan daerah.
Buruknya pengelolaan keuangan daerah semakin diperparah dengan adanya
sikap buruk pemerintah daerah dalam implementasi (realisasi) anggaran
daerah (APBD). Tidak jarang pemerintah daerah menghabiskan anggaran
melalui kegiatan proyek tanpa memperhitungkan dampak positif bagi
pembangunan daerah. Mendekati akhir tahun anggaran, unit-unit pemerintah
gencar menghabiskan anggaran tanpa didasari tujuan yang jelas untuk
pembangunan daerah, sehingga banyak dijumpai penyimpangan pengelolaan
keuangan negara/daerah. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan,
meskipun di tahun 2012 pengelolaan keuangan daerah semakin membaik, namun
banyak pemerintah daerah kategori tidak wajar (TW) dalam pengelolaan
keuangan daerah.
Pengelolaan anggaran yang buruk berdampak luas pada pembangunan daerah
termasuk tingginya angka kemiskinan dan buruknya sumber daya manusia
Indonesia. Berdasarkan laporan Badan Perencanaan dan Pembangunan
Nasional (bappenas) masyarakat miskin Indonesia di tahun 2012
mencapai 29.13 Jiwa. Angka kemiskinan tersebut tersebar diberbagai
daerah. Jumlah terbesar penduduk miskin sebesar 57,8 persen berada di
pulau Jawa. Lalu sebanyak 21 persen di Sumatera, 7,5 persen di Sulawesi,
6,2 persen di Nusa Tenggara, 4,2 persen di Maluku dan Papua dan angka
terkecil sebesar 3,4 persen tersebar di Kalimantan. United Nations Development Programme mencatat Indek
Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia menempati urutan ke-121 di seluruh
dunia. IPM Indonesia masuk kategori menengah. Peringkat Indonesia
tersebut setara dengan negara-negara di Karibia dan Afrika Selatan. Data
normatif tersebut jauh lebih parah apa yang terjadi di lapangan. Contoh
kasus, 95 warga di Distrik Kwor, Kabupaten Tambrau, Papua Barat,
meninggal akibat busung lapar. Di Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa
Tenggara Barat (NTB), dan bahkan dipulau Jawa masih dijumpai warga
meninggal atau sakit karena busung lapar.
Buruknya pengelolaan keuangan daerah disebabkan kinerja buruk
pemerintah daerah dalam pengelolaan anggaran. Hemat penulis, terdapat
tiga faktor yang melatar belakangi kinerja buruk pemerintah daerah dalam
pengelolaan keuangan daerah, yaitu (1) minimnya pemahaman pemerintah
daerah (SDM) tentang pengelolaan keuangan daerah, (2) sistem penganggaran
yang rigid (rumit), dan (3) pengaruh politik dalam pengelolaan anggaran.
Minimnya SDM
Pendukung
Sumber daya manusia merupakan hal yang terpenting dalam sebuah
organisasi. Baik-buruknya organisasi sangat ditentukan baik-buruknya
kinerja manusia yang ada didalamnya.
Membangun organisasi dibutuhkan SDM yang berkualitas, profesional, dan
bervisi jangka panjang termasuk dalam pengelolaan kebijakan anggaran.
Banyak pemerintah daerah tidak memiliki SDM pendukung implementasi
kebijakan APBD sehingga anggaran tidak dapat direalisasaikan dengan baik.
Banyak faktor yang menyebabkan pemerintah daerah tidak memiliki SDM yang
baik, diantaranya pola rekruitmen SDM yang tidak berdasarkan analisis
kemampuan. Pemerintah daerah dalam rekreuitmen SDM masih mengedepankan
sikap kolusifitas sehingga tidak jarang dijumpai unit-unit pemerintah
ditempati SDM yang tidak memiliki kemampuan dalam pengelolaan anggaran
berbasiskan kegiatan dan kebutuhan strategis untuk pembangunan daerah.
Sistem Penganggaran
yang Rigid
Sistem penganggaran pemerintahan daerah dinilai sangat rigid sehingga
implementasi (realisasi) anggaran tidak dapat dilaksanakan sebagaimana
yang sudah diatur dalam kebijakan APBD. Pengguna anggaran harus melalui
proses dan waktu panjang untuk mendapatkan anggaran karena harus
menyiapkan syarat-syarat legalitas yang harus dipenuhi untuk realisasi
anggaran. Apabila pengguna anggaran tidak melalui sistem termasuk
memenuhi syarat legalitas, maka akan berdampak pada sanksi yang harus
diterima. Karena itu, pengguna anggaran (apalagi SDM yang tidak
berkualitas) seringkali tidak ingin pusing dengan aturan sehingga
anggaran tidak dapat direalisasikan. Masyarakat (apalagi yang tidak
paham tentang mekanisme anggaran) semakin kesulitan untuk
mendapatkan anggaran. Masyarakat mendapatkan anggaran harus melalui
proses sesuai aturan hukum yang barlaku. Kebutuhan masyarakat yang
insidental tidak dapat dibiayai melalui APBD karena tidak melalui sistem.
Rigidsitas anggaran menyebabkan pemerintah dan masyarakat kesulitan untuk
akses anggaran.
Kuatnya Pengaruh
Politik
Mengingat kebijakan anggaran bagian dari politik, maka implementasi
(realisasi) anggaran sarat dengan kepentingan politik. Kepentingan
politik menentukan realisasi anggaran. Banyak program-program besar
pemerintah daerah tidak dapat direalisasikan karena dihambat kepentingan
politik stakeholder. Kepala daerah dan DPRD adalah dua stakeholder yang
berkepentingan lansung dengan kebijakan anggaran. Acapkali kepala daerah
dan DPRD tidak harmonis dalam pengelolaan anggaran. Mereka mengedepankan
kepentingan masing-masing. Kepala daerah menbawa visi yang berbeda dengan
DPRD. Kebijakan anggaran dikelola berdasarkan kepentingan, bukan kinerja
dan kebutuhan penting untuk pembangunan daerah. Perbedaan kepentingan dan
visi memperburuk pengelolaan keuangan daerah sehingga kebijakan anggaran
diimplementasikan tanpa arah yang jelas.
Tiga faktor yang dijelaskan di atas memperburuk pengelolaan keuangan
daerah sehingga APBD tidak dapat direalisasikan dengan baik terutama
untuk menopang kesejahteraan masyarakat. Andai saja pemerintah daerah
memiliki komitmen untuk mengelola anggaran dengan baik dengan menyediakan
SDM yang berkualitas, mempermudah sistem penganggaran, dan stakeholder bekerja di atas
kepentingan umum, diyakini kemiskinan tidak dijumpai di negara ini.
Pemerintah daerah perlu kedepankan komitmen kuat untuk mengelola anggaran
sehingga berdampak luas pada pembangunan daerah. Hemat saya, di era
demokrasi seperti sekarang ini, salah satu jalan nyata untuk membangun
komitmen pemerintah daerah yaitu melalui political will rakyat untuk memilih pemimpin yang amanah,
cerdas, dan profesional dalam menjalankan tugas dan fungsi pemerintahan
(melindungi, melayani, dan mengayomi). Selama rakyat tidak memilih
pemimpin seperti yang disampaikan tersebut, selama itu-pula rakyat tidak
memiliki pemerintah daerah yang komitmen dalam menjalankan tugas dan
fungsi termasuk pengelolaan keuangan daerah dengan baik. Karena itu, political will rakyat wajib
dimiliki untuk mewujudkan komitmen pemerintah daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar