Minggu, 21 April 2013

Orientalisme Kepahlawanan : Sebuah Tinjauan terhadap Hari Kartini


Orientalisme Kepahlawanan :
Sebuah Tinjauan terhadap Hari Kartini
Mutia Sukma  ;  Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Ilmu Sastra
Universitas Gadjah Mada 
KORAN TEMPO, 20 April 2013



Semestinya Hari Kartini sangat perlu dikaji lebih serius. Kita tidak harus mengkonsumsi wacana dominan dari perspektif hegemoni Barat, melainkan melihat hal tersebut dalam perspektif yang lebih Timur. 
Toety Heraty, dalam sebuah pengantarnya di buku Selendang Pelangi-Tujuh Belas Penyair Perempuan Indonesia, mengatakan, "Gerakan perempuan yang mendunia telah menggugah kesadaran perempuan secara meluas…. Gelombang pertama menemukan gemanya di Tanah Air lewat tokoh seperti R.A. Kartini pada awal abad ke-20. Berikutnya, gerakan trans-Atlantik ini diawali Simone de Beauvoir di Prancis (1949)." 
Pernyataan tersebut dapat dipahami sebagai representasi suara masyarakat Indonesia pada umumnya yang mengelu-elukan pentingnya apa yang dilakukan oleh Kartini, yang banyak mendapat julukan dari masyarakat Indonesia, dari pahlawan perempuan, emansipatoris, hingga tokoh tonggak kesetaraan gender. Berdasarkan banyak julukan tersebut, terdapat hal yang perlu disayangkan, yaitu terkadang keterikatan batin antara Kartini dan masyarakat Indonesia adalah keterikatan yang tidak kritis. Masyarakat Indonesia terkadang merasa sangat mengenal sosok Kartini, namun tidak berusaha menganalisis apa yang dilakukannya dengan lebih jelas, misalnya dengan mengajukan pertanyaan, "Apa yang dilakukan Kartini sebenarnya? Seberapa pentingkah tindakan yang Kartini lakukan?" 
Kartini adalah anak Bupati Jepara R.M.A. Sosroningrat dengan Ngasirah. Dia hanya diberi izin mengenyam pendidikan Sekolah Rendah Belanda. Setelah dia lulus pada usia 12,5 tahun, dia masuk ke kamar pingitan. Maka, keterkungkungan di kamar pingitan tersebutlah yang akhirnya membuat dia diikonkan sebagai pahlawan nasional. Di dalam pingitan tersebut, ia menulis surat kepada banyak orang Eropa, di antaranya Nyonya Abendanon, Nyonya M.C.E Ovink-Soer, Nyonya H.G. De Booij-Boisevain, dan Estella Zeehandelar (surat Kartini paling banyak datang kepadanya), seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini kepada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. 
Surat-surat Kartini pada mulanya dibukukan oleh Abendanon dengan judul Door Duisternis tot Lich. Berikutnya, muncul edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javanese Princess. Dan beberapa tahun kemudian, terjemahan dalam bahasa Indonesia barulah terbit dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922, terjemahan Empat Saudara). Buku antologi surat Kartini tersebut mungkin perlu juga disandingkan dengan pengakuan Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya yang berjudul Jejak Langkah. Dalam fragmen di novel tersebut, Kartini pernah berkata kepada Ang San Mei, "Tanpa kebebasan berarti juga tanpa ada apa-apa bisa dicapai. Sedang di Priangan sana, katanya lagi, ada seorang wanita muda sudah berhasil mendirikan taman pendidikan seperti yang selama ini ia impikan. Dewi Sartika namanya." (Toer, 2009: 148). 
Dalam kalimat tersebut sebenarnya dapat dijelaskan bahwa ketidakbebasan Kartini menjadikannya bukan siapa-siapa, dan di tengah kondisi yang sama, ada seorang perempuan lain bernama Dewi Sartika berhasil mewujudkan apa yang telah diimpikannya. Penggalan percakapan tersebut juga seakan-akan mengatakan bahwa Kartini merasa tidak mencapai apa-apa dalam hidupnya. Dan di situlah letak persoalannya, ketidakbebasan Kartini justru dianggap sebagai poin yang dikenang oleh banyak orang, yaitu meskipun dibelenggu, dia tetap melakukan banyak hal. Benarkah demikian? 
Orientalisme 
Menurut Piliang (2: 2009), kolonialisme adalah sebuah fenomena politik yang dibangun di atas "imajinasi" tertentu, yaitu "imajinasi kolonial" (colonial imagination) tentang wilayah, orang, dan budaya terjajah. Dalam kolonialisme Timur, imajinasi-imajinasi kolonial sebagian mengkristal dalam apa yang disebut "orientalisme", yaitu produksi imajinasi dan pengetahuan tentang Timur melalui kacamata Barat. Orientalisme, menurut Said, adalah tanda dari kekuasaan Eropa-Atlantik atas Timur ketimbang sebagai wacana kebenaran tentang Timur. Ia adalah distribusi kesadaran geopolitik ke dalam teks-teks estetik, kecendekiaan, ekonomi, sosiologi, kesejarahan, dan filologi. Ia bukan lukisan obyektif dan ilmiah tentang Timur, melainkan lukisan yang sarat kepentingan, manipulasi, dan bias. 
Orientalisme menjadikan Indonesia dimaknai sesuai dengan kacamata para penjajah. Ketika Kartini melakukan korespondensi dengan orang-orang Belanda, ada dua hal yang akan menjadi keuntungan pihak Belanda. Pertama, orang-orang Belandalah yang pada akhirnya dianggap memantik kesadaran kesamaan gender pada diri Kartini dengan pikiran-pikiran modern yang diceritakan oleh mereka kepada Kartini. Kedua, secara tidak langsung, ketika nama Kartini banyak dikenal oleh publik di Indonesia, masyarakat Indonesia akan menarik ke belakang untuk mencari tahu apa yang Kartini lakukan sehingga dia diangkat menjadi pahlawan nasional yang menjadi tonggak emansipasi wanita Indonesia. Maka, jawabannya: dia melakukan korespondensi dengan orang-orang Belanda. Artinya, jasa Belanda akan terus-menerus melekat ketika nama Kartini terus-terusan dielu-elukan oleh masyarakat Indonesia
Belanda memiliki peran yang cukup besar untuk menetapkan kebenaran yang sepihak terhadap keindonesiaan dalam konteks independensi. Belanda mengontrol ruang secara politis pada negara bekas jajahan atas nama nasionalisme. Kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap Belanda tidak hanya pada wilayah yang fisik, misalnya tentang adanya arsitektur Eropa yang berdiri megah di Indonesia. Yang lebih besar dari itu semua adalah kepercayaan yang tak terlihat, yaitu alam pikir masyarakat Indonesia telah dikuasai. 
Semestinya Hari Kartini dikaji lebih serius. Kita tidak harus mengkonsumsi wacana dominan dari perspektif hegemoni Barat, melainkan melihat hal tersebut dalam perspektif yang lebih Timur. Masyarakat Indonesia seolah-olah diberi angin segar dengan kata "emansipasi", yang sesungguhnya hanyalah merupakan bahasa pinjaman yang kemudian dianggap menjadi kepunyaan Indonesia. Maka, dapat dikatakan bahwa hal tersebut merupakan cara mempertahankan kekuasaan Eropa terhadap negara bekas jajahannya. Hal tersebut dapat dibuktikan berdasarkan pelacakan data penerbitan surat-surat Kartini di atas. Yang pertama kali muncul justru dalam bahasa Belanda terlebih dulu. Dan berdasarkan histori penerbitan, dapat dianalisis secara sederhana bahwa pengikonan Kartini mula-mula ada di Belanda, dan Indonesia mulai mengkonsumsi surat-surat tersebut karena adanya legalitas dari dua negara dominan: Belanda dan Inggris. 
Masyarakat Indonesia seharusnya memproduksi sendiri kriteria-kriteria terhadap kepahlawanan, dengan menelaah secara lebih jauh kontribusi pahlawan terhadap masyarakat Indonesia pada umumnya, sehingga kita tidak terjebak dalam klaim-klaim pihak-pihak yang memiliki kepentingan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar