Semestinya Hari Kartini sangat perlu dikaji lebih
serius. Kita tidak harus mengkonsumsi wacana dominan dari perspektif
hegemoni Barat, melainkan melihat hal tersebut dalam perspektif yang
lebih Timur.
Toety Heraty, dalam sebuah pengantarnya di buku
Selendang Pelangi-Tujuh Belas Penyair Perempuan Indonesia, mengatakan, "Gerakan perempuan yang mendunia
telah menggugah kesadaran perempuan secara meluas…. Gelombang pertama
menemukan gemanya di Tanah Air lewat tokoh seperti R.A. Kartini pada awal
abad ke-20. Berikutnya, gerakan trans-Atlantik ini diawali Simone de
Beauvoir di Prancis (1949)."
Pernyataan tersebut dapat dipahami sebagai
representasi suara masyarakat Indonesia pada umumnya yang mengelu-elukan
pentingnya apa yang dilakukan oleh Kartini, yang banyak mendapat julukan
dari masyarakat Indonesia, dari pahlawan perempuan, emansipatoris, hingga
tokoh tonggak kesetaraan gender. Berdasarkan banyak julukan tersebut,
terdapat hal yang perlu disayangkan, yaitu terkadang keterikatan batin
antara Kartini dan masyarakat Indonesia adalah keterikatan yang tidak
kritis. Masyarakat Indonesia terkadang merasa sangat mengenal sosok
Kartini, namun tidak berusaha menganalisis apa yang dilakukannya dengan
lebih jelas, misalnya dengan mengajukan pertanyaan, "Apa yang dilakukan Kartini sebenarnya? Seberapa pentingkah
tindakan yang Kartini lakukan?"
Kartini adalah anak Bupati Jepara R.M.A. Sosroningrat
dengan Ngasirah. Dia hanya diberi izin mengenyam pendidikan Sekolah
Rendah Belanda. Setelah dia lulus pada usia 12,5 tahun, dia masuk ke
kamar pingitan. Maka, keterkungkungan di kamar pingitan tersebutlah yang
akhirnya membuat dia diikonkan sebagai pahlawan nasional. Di dalam
pingitan tersebut, ia menulis surat kepada banyak orang Eropa, di
antaranya Nyonya Abendanon, Nyonya M.C.E Ovink-Soer, Nyonya H.G. De
Booij-Boisevain, dan Estella Zeehandelar (surat Kartini paling banyak
datang kepadanya), seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda
ini kemudian mengenalkan Kartini kepada berbagai ide modern, terutama
mengenai perjuangan wanita dan sosialisme.
Surat-surat Kartini pada mulanya dibukukan oleh
Abendanon dengan judul Door
Duisternis tot Lich. Berikutnya, muncul edisi bahasa Inggrisnya
dengan judul Letters of a Javanese
Princess. Dan beberapa tahun kemudian, terjemahan dalam bahasa
Indonesia barulah terbit dengan judul Habis
Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922, terjemahan Empat
Saudara). Buku antologi surat Kartini tersebut mungkin perlu juga
disandingkan dengan pengakuan Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya yang
berjudul Jejak Langkah. Dalam
fragmen di novel tersebut, Kartini pernah berkata kepada Ang San Mei, "Tanpa kebebasan berarti juga
tanpa ada apa-apa bisa dicapai. Sedang di Priangan sana, katanya lagi,
ada seorang wanita muda sudah berhasil mendirikan taman pendidikan
seperti yang selama ini ia impikan. Dewi Sartika namanya."
(Toer, 2009: 148).
Dalam kalimat tersebut sebenarnya dapat dijelaskan
bahwa ketidakbebasan Kartini menjadikannya bukan siapa-siapa, dan di
tengah kondisi yang sama, ada seorang perempuan lain bernama Dewi Sartika
berhasil mewujudkan apa yang telah diimpikannya. Penggalan percakapan
tersebut juga seakan-akan mengatakan bahwa Kartini merasa tidak mencapai
apa-apa dalam hidupnya. Dan di situlah letak persoalannya, ketidakbebasan
Kartini justru dianggap sebagai poin yang dikenang oleh banyak orang,
yaitu meskipun dibelenggu, dia tetap melakukan banyak hal. Benarkah
demikian?
Orientalisme
Menurut Piliang (2: 2009), kolonialisme adalah sebuah
fenomena politik yang dibangun di atas "imajinasi" tertentu,
yaitu "imajinasi kolonial" (colonial
imagination) tentang wilayah, orang, dan budaya terjajah. Dalam
kolonialisme Timur, imajinasi-imajinasi kolonial sebagian mengkristal
dalam apa yang disebut "orientalisme", yaitu produksi imajinasi
dan pengetahuan tentang Timur melalui kacamata Barat. Orientalisme,
menurut Said, adalah tanda dari kekuasaan Eropa-Atlantik atas Timur
ketimbang sebagai wacana kebenaran tentang Timur. Ia adalah distribusi
kesadaran geopolitik ke dalam teks-teks estetik, kecendekiaan, ekonomi,
sosiologi, kesejarahan, dan filologi. Ia bukan lukisan obyektif dan
ilmiah tentang Timur, melainkan lukisan yang sarat kepentingan,
manipulasi, dan bias.
Orientalisme menjadikan Indonesia dimaknai sesuai
dengan kacamata para penjajah. Ketika Kartini melakukan korespondensi
dengan orang-orang Belanda, ada dua hal yang akan menjadi keuntungan
pihak Belanda. Pertama, orang-orang Belandalah yang pada akhirnya
dianggap memantik kesadaran kesamaan gender pada diri Kartini dengan
pikiran-pikiran modern yang diceritakan oleh mereka kepada Kartini.
Kedua, secara tidak langsung, ketika nama Kartini banyak dikenal oleh
publik di Indonesia, masyarakat Indonesia akan menarik ke belakang untuk
mencari tahu apa yang Kartini lakukan sehingga dia diangkat menjadi
pahlawan nasional yang menjadi tonggak emansipasi wanita Indonesia. Maka,
jawabannya: dia melakukan korespondensi dengan orang-orang Belanda.
Artinya, jasa Belanda akan
terus-menerus melekat ketika nama Kartini terus-terusan dielu-elukan oleh
masyarakat Indonesia.
Belanda memiliki peran yang cukup besar untuk
menetapkan kebenaran yang sepihak terhadap keindonesiaan dalam konteks
independensi. Belanda mengontrol ruang secara politis pada negara bekas
jajahan atas nama nasionalisme. Kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap
Belanda tidak hanya pada wilayah yang fisik, misalnya tentang adanya
arsitektur Eropa yang berdiri megah di Indonesia. Yang lebih besar dari
itu semua adalah kepercayaan yang tak terlihat, yaitu alam pikir
masyarakat Indonesia telah dikuasai.
Semestinya Hari Kartini dikaji lebih serius. Kita
tidak harus mengkonsumsi wacana dominan dari perspektif hegemoni Barat,
melainkan melihat hal tersebut dalam perspektif yang lebih Timur.
Masyarakat Indonesia seolah-olah diberi angin segar dengan kata
"emansipasi", yang sesungguhnya hanyalah merupakan bahasa
pinjaman yang kemudian dianggap menjadi kepunyaan Indonesia. Maka, dapat
dikatakan bahwa hal tersebut merupakan cara mempertahankan kekuasaan Eropa
terhadap negara bekas jajahannya. Hal tersebut dapat dibuktikan
berdasarkan pelacakan data penerbitan surat-surat Kartini di atas. Yang
pertama kali muncul justru dalam bahasa Belanda terlebih dulu. Dan
berdasarkan histori penerbitan, dapat dianalisis secara sederhana bahwa
pengikonan Kartini mula-mula ada di Belanda, dan Indonesia mulai mengkonsumsi surat-surat tersebut
karena adanya legalitas dari dua negara dominan: Belanda dan Inggris.
Masyarakat Indonesia seharusnya memproduksi sendiri kriteria-kriteria
terhadap kepahlawanan, dengan menelaah secara lebih jauh kontribusi
pahlawan terhadap masyarakat Indonesia pada umumnya, sehingga kita tidak
terjebak dalam klaim-klaim pihak-pihak yang memiliki kepentingan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar