”Daya
tarik pilgub yang rendahberkombinasi dengan aspek lainmenyebabkan biaya
pilgub makin mahal"
Pilgub Jateng kali ini banyak disebut sebagai kurang greget. Penilaian
ini wajar jika dibandingkan dengan Pilgub 2008 yang gegap-gempita. Ada
banyak faktor yang membedakan Pilgub 2008 terhadap pilgub 2013.
Pertama; tentu saja momentum. Pilgub 2008
merupakan pemilihan langsung kali pertama di Jateng. Saat itu, Gubernur
Mardiyanto tidak mungkin lagi mencalonkan diri karena sudah dua kali
menjabat. Euforia pemilihan langsung ditambah sikap gubernur yang
imparsial dan netral memungkinkan pilgub berjalan fair, kontestatif, dan
kompetitif.
Pilgub berlangsung dalam kapasitas penuh
dengan lima pasangan. Mereka adalah Bambang SadonoMuhammad Adnan
(Golkar), Agus Soeyitno-Abdul Kholiq Arif (PKB), Sukawi Sutarip-Sudharto
(Partai Demokrat dan PKS), Bibit Waluyo-Rustriningsih (PDIP), dan
Muhammad Tamzil-Abdul Rozaq Rais (PPPdan PAN).
Dua tahun sebelum pemungutan suara,
wacana pilgub sudah digelindingkan. Dengan menggandeng kekuatan civil
society, terutama media massa dan LSM, Mardiyanto berinisiatif mengajak
masyarakat untuk menaruh perhatian pada pentingnya perhelatan demokrasi
langsung itu. Melalui kerja sama dengan Mapilu-PWI Jateng misalnya,
digelar tiga kali seminar tematik tentang demokrasi langsung,
penyelenggaraan pilgub, dan kriteria gubernur.
Sosialisasi itu mendapat respons
masyarakat. Partai politik, yang melihat peluang terbukanya insentif dan
jabatan politik dari euforia itu, juga tergugah untuk lebih awal
menjaring calon gubernur dan wakilnya. Terdapat interaksi yang intens
antara publik, parpol, dan pemerintah.
Gubernur
Incumbent
Pilgub yang sekarang tidak mungkin
mengulang momentum tersebut. Selain faktor kejenuhan pemilih, posisi
Gubernur Bibit Waluyo yang mencalonkan diri lagi menghilangkan sebagian
spirit kompetisi di kalangan parpol pengusung kandidat. Itulah sebabnya
sikap parpol terlihat ogah-ogahan mengajukan calon.
Situasi itu ditambah kondisi internal
PDIPdan sikapnya yang menggantung rekomendasi hingga saat-saat terakhir
pendaftaran calon di KPU Jateng. Konflik PDIP dengan Bibit dan
Rustriningsih mengubah sebagian peta kekuatan kandidat. Dengan sukses
Jokowi dalam Pilgub DKI Jakarta dan tersingkirnya Rustriningsih, praktis
pilgub kali ini kehilangan rivalitas utama yang menarik perhatian
publik.
Di lain pihak, dengan berbagai marjin
politik itu, terutama rahmat tersembunyi (blessing in disguise) oleh ketiadaan figur Jokowi dan Rustri,
Bibit masih memainkan posisi sebagai gubernur incumbent. Dia berusaha
menekan Rustri dan HP untuk tidak mencalonkan diri. Istilah ”hompimpa”
dan berbagai atribut lain mencerminkan adanya intimidasi tersebut.
Posisi dan parsialitas gubernur incumbent dinilai cukup
berpengaruh pada gairah kontestasi pilgub. Kondisi sosial juga ikut
berperan. Aktivitas civil society,
khususnya sejumlah LSM yang kritis, menurun akibat kooptasi
kekuasaan.
Berbeda dari latar belakang para cagub
2008 yang relatif heterogen, pilgub kali ini diikuti para cagub yang asal
wilayah genetiknya sama. Tiga cagub seluruhnya berasal dari satu eks
karesidenan (HP dan Bibit lahir di Klaten, Ganjar lahir di Karanganyar).
HP dan Bibit lahir di Dapil V, ”dapil neraka” pada Pemilu 2009.
Biaya
Pilgub
Seluruh faktor itu bermuara pada kualitas
Pilgub Jateng 2013. Daya tarik pilgub yang rendah berkombinasi dengan
aspek-aspek lain menyebabkan biaya pilgub makin mahal. Setiap pasangan
calon harus didukung biaya saksi di TPS minimal Rp 25 miliar dan biaya
kampanye di 35 kabupaten/kota paling sedikit Rp 50 miliar.
Alokasi dana yang besar itu, di luar
kebutuhan lain, mengancam integritas gubernur terpilih. Padahal,
penghasilan gubernur selama lima tahun menjabat tidak sampai Rp 40
miliar. Gaji, insentif, dan tunjangan gubernur Jateng per bulan Rp 627
juta atau setahun Rp 7,5 miliar.
Daftar pemilih tetap (DPT) pilgub sudah
ditetapkan sebanyak 27.385.985. Jumlah TPS sebanyak 61.951. DPT muncul
setelah sebelumnya diwarnai kontroversi basis data kependudukan antara
versi Pemprov Jateng dan Kementerian Dalam Negeri.
Anggaran pilgub yang sebesar Rp 621
miliar untuk dua putaran relatif lebih rendah dibandingkan Pilgub Jabar
yang sampai Rp 1,2 triliun. KPU Jateng sudah berusaha menghemat anggaran
dengan meniadakan kartu pemilih, mengurangi jumlah petugas KPPS, dan
menekan jumlah TPS.
Namun, dengan jumlah pasangan calon yang
lebih sedikit dan tingkat partisipasi pemilih yang diprediksi bakal
turun, akan meningkatkan indeks biaya pilgub. Betapa pun efisiensi
dilakukan, cara-cara konvensional tidak akan menghasilkan efisiensi
sebesar kalau pilgub menggunakan pemungutan suara elektronik (e-voting). Sayang, e-voting belum diterapkan.
Indikator
Kualitas
Mengacu pada hasil penelitian
Jorgen Elklit dan Andrew Reynolds (2005), diperlukan 11 indikator untuk
mengukur kualitas Pilgub Jateng 2013. Ke-11 indikator itu adalah
regulasi, kualitas penyelenggara, konstituensi, pendidikan pemilih,
penyusunan DPT, lokasi TPS, aturan kampanye, partisipasi pemilih, proses
penghitungan suara, penyelesaian sengketa, dan audit hasil pilgub.
Dari berbagai indikator itu, penting
dicermati kualitas penyelenggara, pendidikan pemilih, DPT, aturan
kampanye, partisipasi pemilih, penghitungan suara, dan verifikasi hasil
pilgub.
Kualitas penyelenggara, dalam hal ini KPU
dan Pengawas Pemilu Jateng serta KPU dan pengawas kabupaten/kota, diukur
dari sejauh mana independensi, imparsialitas, dan profesionalisme dalam
menangani pekerjaan teknis pilgub. Pendidikan pemilih terutama menyangkut
informasi pilgub yang dikuasai pemilih pemula. Cukup disayangkan, KPU
Jateng tampaknya kurang memperhatikan pemilih pemula. Jumlah mereka tidak
diketahui pasti, hanya disebutkan 10 - 15 juta orang.
DPT harus aman dari bias angka, akurasi
pencocokan dan penelitian (coklit) di lapangan, serta kepercayaan diri
pemilih. Sabuk pengaman DPT sudah disiapkan dengan hak pemilih tidak
terdaftar untuk menunjukkan KTP sesuai putusan Mahkamah Konstitusi.
Aturan kampanye terutama harus menjamin transparansi dana publik, akses
ke media massa, dan kontrol terhadap penggunaan fasilitas negara.
Partisipasi pemilih bukan hanya menyangkut jumlah golput dan struktur
usianya, juga adakah tindak kekerasan dan intimidasi selama tahapan
pilgub berlangsung.
Penghitungan suara wajib menjamin
integritas petugas dan akurasinya, transparan, mudah diakses oleh publik,
dan tidak ada penundaan pengumuman. Adapun hasil pilgub bisa diverifikasi
dan diaudit, statistik dan review
hasil pilgub mudah diakses, serta disahkan tanpa diragukan validitasnya.
Pemantau pilgub harus ikut memberikan penilaian atas seluruh tahapan yang
dinyatakan tidak ada masalah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar