Minggu, 21 April 2013

Anatomi Pilgub Jateng 2013 (Part 2 of 2)


Anatomi Pilgub Jateng 2013 (Part 2 of 2)
A Zaini Bisri  ;  Mantan Ketua Mapilu-PWI Jateng, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Sosial (Konsentrasi Ilmu Politik) FISIP Universitas Diponegoro
SINAR HARAPAN, 20 April 2013



”Daya tarik pilgub yang rendahberkombinasi dengan aspek lainmenyebabkan biaya pilgub makin mahal"

Pilgub Jateng kali ini banyak disebut sebagai kurang greget. Penilaian ini wajar jika dibandingkan dengan Pilgub 2008 yang gegap-gempita. Ada banyak faktor yang membedakan Pilgub 2008 terhadap pilgub 2013. 

Pertama; tentu saja momentum. Pilgub 2008 merupakan pemilihan langsung kali pertama di Jateng. Saat itu, Gubernur Mardiyanto tidak mungkin lagi mencalonkan diri karena sudah dua kali menjabat. Euforia pemilihan langsung ditambah sikap gubernur yang imparsial dan netral memungkinkan pilgub berjalan fair, kontestatif, dan kompetitif. 

Pilgub berlangsung dalam kapasitas penuh dengan lima pasangan. Mereka adalah Bambang SadonoMuhammad Adnan (Golkar), Agus Soeyitno-Abdul Kholiq Arif (PKB), Sukawi Sutarip-Sudharto (Partai Demokrat dan PKS), Bibit Waluyo-Rustriningsih (PDIP), dan Muhammad Tamzil-Abdul Rozaq Rais (PPPdan PAN). 

Dua tahun sebelum pemungutan suara, wacana pilgub sudah digelindingkan. Dengan menggandeng kekuatan civil society, terutama media massa dan LSM, Mardiyanto berinisiatif mengajak masyarakat untuk menaruh perhatian pada pentingnya perhelatan demokrasi langsung itu. Melalui kerja sama dengan Mapilu-PWI Jateng misalnya, digelar tiga kali seminar tematik tentang demokrasi langsung, penyelenggaraan pilgub, dan kriteria gubernur. 

Sosialisasi itu mendapat respons masyarakat. Partai politik, yang melihat peluang terbukanya insentif dan jabatan politik dari euforia itu, juga tergugah untuk lebih awal menjaring calon gubernur dan wakilnya. Terdapat interaksi yang intens antara publik, parpol, dan pemerintah. 

Gubernur Incumbent 

Pilgub yang sekarang tidak mungkin mengulang momentum tersebut. Selain faktor kejenuhan pemilih, posisi Gubernur Bibit Waluyo yang mencalonkan diri lagi menghilangkan sebagian spirit kompetisi di kalangan parpol pengusung kandidat. Itulah sebabnya sikap parpol terlihat ogah-ogahan mengajukan calon. 

Situasi itu ditambah kondisi internal PDIPdan sikapnya yang menggantung rekomendasi hingga saat-saat terakhir pendaftaran calon di KPU Jateng. Konflik PDIP dengan Bibit dan Rustriningsih mengubah sebagian peta kekuatan kandidat. Dengan sukses Jokowi dalam Pilgub DKI Jakarta dan tersingkirnya Rustriningsih, praktis pilgub kali ini kehilangan rivalitas utama yang menarik perhatian publik. 

Di lain pihak, dengan berbagai marjin politik itu, terutama rahmat tersembunyi (blessing in disguise) oleh ketiadaan figur Jokowi dan Rustri, Bibit masih memainkan posisi sebagai gubernur incumbent. Dia berusaha menekan Rustri dan HP untuk tidak mencalonkan diri. Istilah ”hompimpa” dan berbagai atribut lain mencerminkan adanya intimidasi tersebut. 

Posisi dan parsialitas gubernur incumbent dinilai cukup berpengaruh pada gairah kontestasi pilgub. Kondisi sosial juga ikut berperan. Aktivitas civil society, khususnya sejumlah LSM yang kritis, menurun akibat kooptasi kekuasaan. 

Berbeda dari latar belakang para cagub 2008 yang relatif heterogen, pilgub kali ini diikuti para cagub yang asal wilayah genetiknya sama. Tiga cagub seluruhnya berasal dari satu eks karesidenan (HP dan Bibit lahir di Klaten, Ganjar lahir di Karanganyar). HP dan Bibit lahir di Dapil V, ”dapil neraka” pada Pemilu 2009. 

Biaya Pilgub 

Seluruh faktor itu bermuara pada kualitas Pilgub Jateng 2013. Daya tarik pilgub yang rendah berkombinasi dengan aspek-aspek lain menyebabkan biaya pilgub makin mahal. Setiap pasangan calon harus didukung biaya saksi di TPS minimal Rp 25 miliar dan biaya kampanye di 35 kabupaten/kota paling sedikit Rp 50 miliar.

Alokasi dana yang besar itu, di luar kebutuhan lain, mengancam integritas gubernur terpilih. Padahal, penghasilan gubernur selama lima tahun menjabat tidak sampai Rp 40 miliar. Gaji, insentif, dan tunjangan gubernur Jateng per bulan Rp 627 juta atau setahun Rp 7,5 miliar. 

Daftar pemilih tetap (DPT) pilgub sudah ditetapkan sebanyak 27.385.985. Jumlah TPS sebanyak 61.951. DPT muncul setelah sebelumnya diwarnai kontroversi basis data kependudukan antara versi Pemprov Jateng dan Kementerian Dalam Negeri. 

Anggaran pilgub yang sebesar Rp 621 miliar untuk dua putaran relatif lebih rendah dibandingkan Pilgub Jabar yang sampai Rp 1,2 triliun. KPU Jateng sudah berusaha menghemat anggaran dengan meniadakan kartu pemilih, mengurangi jumlah petugas KPPS, dan menekan jumlah TPS. 
Namun, dengan jumlah pasangan calon yang lebih sedikit dan tingkat partisipasi pemilih yang diprediksi bakal turun, akan meningkatkan indeks biaya pilgub. Betapa pun efisiensi dilakukan, cara-cara konvensional tidak akan menghasilkan efisiensi sebesar kalau pilgub menggunakan pemungutan suara elektronik (e-voting). Sayang, e-voting belum diterapkan.

Indikator Kualitas

Mengacu pada hasil penelitian Jorgen Elklit dan Andrew Reynolds (2005), diperlukan 11 indikator untuk mengukur kualitas Pilgub Jateng 2013. Ke-11 indikator itu adalah regulasi, kualitas penyelenggara, konstituensi, pendidikan pemilih, penyusunan DPT, lokasi TPS, aturan kampanye, partisipasi pemilih, proses penghitungan suara, penyelesaian sengketa, dan audit hasil pilgub.
Dari berbagai indikator itu, penting dicermati kualitas penyelenggara, pendidikan pemilih, DPT, aturan kampanye, partisipasi pemilih, penghitungan suara, dan verifikasi hasil pilgub. 

Kualitas penyelenggara, dalam hal ini KPU dan Pengawas Pemilu Jateng serta KPU dan pengawas kabupaten/kota, diukur dari sejauh mana independensi, imparsialitas, dan profesionalisme dalam menangani pekerjaan teknis pilgub. Pendidikan pemilih terutama menyangkut informasi pilgub yang dikuasai pemilih pemula. Cukup disayangkan, KPU Jateng tampaknya kurang memperhatikan pemilih pemula. Jumlah mereka tidak diketahui pasti, hanya disebutkan 10 - 15 juta orang. 

DPT harus aman dari bias angka, akurasi pencocokan dan penelitian (coklit) di lapangan, serta kepercayaan diri pemilih. Sabuk pengaman DPT sudah disiapkan dengan hak pemilih tidak terdaftar untuk menunjukkan KTP sesuai putusan Mahkamah Konstitusi. Aturan kampanye terutama harus menjamin transparansi dana publik, akses ke media massa, dan kontrol terhadap penggunaan fasilitas negara. Partisipasi pemilih bukan hanya menyangkut jumlah golput dan struktur usianya, juga adakah tindak kekerasan dan intimidasi selama tahapan pilgub berlangsung. 

Penghitungan suara wajib menjamin integritas petugas dan akurasinya, transparan, mudah diakses oleh publik, dan tidak ada penundaan pengumuman. Adapun hasil pilgub bisa diverifikasi dan diaudit, statistik dan review hasil pilgub mudah diakses, serta disahkan tanpa diragukan validitasnya. Pemantau pilgub harus ikut memberikan penilaian atas seluruh tahapan yang dinyatakan tidak ada masalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar