Jumat, 12 April 2013

Mutilasi


Mutilasi
K Bertens ;  Guru Besar Emeritus Universitas Atma Jaya, Jakarta
KOMPAS, 12 April 2013

  
Dalam media massa berulang kali dapat kita baca atau dengar tentang kasus mutilasi. Kalau begitu, maksudnya adalah kasus di mana jenazah korban, setelah dibunuh, dipotong-potong lagi oleh pelakunya dan, dalam keadaan itu, ditinggalkan dan ditemukan oleh masyarakat. Bulan lalu Kompasdalam waktu 10 hari melaporkan tentang tiga kasus macam itu. Pertama, di Jalan Tol Cikampek, Jakarta Timur, ditemukan enam potongan jenazah perempuan muda (Kompas, 6-3-2013). Kasus kedua terjadi di Atambua, NTT. Seorang petani membunuh istri dan anaknya yang masih kecil, lalu memotong-motong kedua jasad itu dan menguburkannya dalam satu lubang (Kompas, 10-3-2013). Terakhir ditemukan 11 potongan tubuh laki-laki yang dimasukkan ke dalam satu koper, dua kardus, dan lima kantong plastik di salah satu ruko di Ancol, Jakarta Utara (Kompas, 15-3-2013).
Tulisan ini tidak bermaksud mengomentari kejadian-kejadian yang sangat dramatis ini. Maksudnya hanya sekadar merefleksikan pemakaian kata mutilasi dalam pemberitaan macam ini. Mengapa kata ini hanya dipakai dalam konteks yang sangat khusus ini, yaitu pemotongan jenazah setelah korban dibunuh? Malah diberi kesan bahwa mutilasi termasuk kejahatan yang melanda masyarakat. Dalam sebuah artikel pada halaman pertama harian Kompas tentang maraknya kejahatan di ibu kota Jakarta yang disajikan sekitar terjadinya peristiwa-peristiwa tadi dikatakan: ”Aksi brutal para pelaku kejahatan tidak hanya sebatas merampok dengan senjata, tetapi juga melakukan kekerasan seksual, mutilasi, hingga membakar korban” (11-3-2013). Namun, mutilasi sendiri tidak merupakan kejahatan. Memang benar, dengan memutilasi korban, para pembunuh memperbesar lagi kejahatannya karena mutilasi tidak menghormati jenazah. Dan menghormati jenazah merupakan suatu kewajiban moral kita. Namun, kata mutilasi mempunyai arti jauh lebih luas daripada konteks kejahatan saja.
Mutilasi berarti perbuatan menghilangkan integritas tubuh atau keadaan yang disebabkan oleh perbuatan seperti itu. Pengertian ini sesuai dengan keterangan Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat: ”proses atau tindakan memotong-motong tubuh manusia atau hewan”. Hal itu tidak terbatas pada orang mati saja, tetapi bisa juga terjadi pada orang hidup. Gadis di Afganistan yang pernah dipotong batang hidungnya oleh Taliban dan menjadi perhatian seluruh dunia melalui sampul depan majalah Time tentu mengalami mutilasi. Betul, contoh ini menyangkut juga kasus kejahatan, tetapi seandainya gadis yang malang ini mengalami nasib yang mengerikan itu akibat kecelakaan, hal itu tetap akan disebut mutilasi. Jika dokter bedah mengamputasi sebagian kaki pasien diabetes atau membuang sebuah ginjal dari pasien kanker ginjal, pasien-pasien itu mengalami mutilasi juga karena integritas tubuh tidak ada lagi.
Bahasa Indonesia mengambil alih kata mutilasi dari mutilation, bahasa Inggris, atau barangkali mutilatie, bahasa Belanda. Dalam Concise Oxford Dictionary kata kerja to mutilate dijelaskan sebagai ”deprive (person etc) of limb or organ” (menghilangkan anggota tubuh atau organ dari seseorang). Kata Inggris ini berasal dari kata Latin mutilare yang mempunyai arti yang sama. Rupanya tidak ada alasan untuk menyimpang dari arti dasar itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar