Usulan revisi KUHP yang
memasukkan santet ke dalam kategori tindak kejahatan yang dapat dipidana
telah memicu polemik dalam masyarakat.
Undang-undang yang mengatur
suatu hal berdimensi supernatural—seperti santet—memang selalu
kontroversial.
Dalam kajian antropologi, santet
merupakan gejala sosial budaya yang sangat kompleks karena terkait
cosmological belief masyarakat, baik primitif maupun modern. Kompleksitas
makin tinggi bila santet dikaitkan dengan upaya pengaturan dalam
undang-undang karena harus mendudukkan secara jelas dua hal: budaya dan
tindak kejahatan (culture and
criminal offense).
Kejahatan terkait santet (witchcraft-related crime) harus
dipahami dalam tiga kategori perbuatan. Pertama, perbuatan santet
terhadap orang lain yang menyebabkan luka, derita, nasib buruk, sakit,
bahkan kematian.
Kedua, syak wasangka/tuduhan
terhadap seseorang sebagai dukun santet—disebut witchcraft accusations—sebagai pelaku santet, acapkali memicu
kemarahan massa yang berujung anarki.
Ketiga, tindakan main hakim
sendiri oleh kerumunan orang (taking
the law into people’s hands) terhadap seseorang yang dituduh sebagai
dukun santet yang sering berakibat kematian.
Di sinilah letak komplikasi
masalah santet sebagai tindak kejahatan berkonsekuensi hukum. Karena itu,
apabila kejahatan santet hendak diatur di dalam KUHP, harus didefinisikan
lebih dulu jenis-jenis perbuatan yang dapat dipidana dan dipilah perbuatan
mana yang dapat disebut tindak kejahatan.
Penuh Misteri
Santet adalah suatu fenomena
yang penuh misteri dalam dua konteks. Pertama, santet melibatkan kekuatan
gaib yang tidak bisa dideteksi indera manusia sehingga sangat sulit untuk
melakukan obyektivikasi.
Obyektivikasi adalah suatu
proses mematerialkan (baca: membuktikan) suatu gejala sosial agar dapat
diamati, diidentifikasi, dan dieksaminasi oleh banyak—bukan hanya
satu—orang untuk diterima sebagai peristiwa faktual atau kenyataan
obyektif.
Kedua, perbuatan santet selalu
tersembunyi dan dilakukan di suatu wilayah di luar jangkauan pengamatan
langsung orang lain sehingga tidak ada yang dapat mengklaim tuduhan
santet berdasarkan observasi dan bukti empiris. Dukun santet bekerja
memanfaatkan kekuatan gaib atau memanipulasi magic power.
Para ahli antropologi menyebut
santet sebagai penjelmaan psychic
phenomenon sehingga tidak ada fakta keras (hard facts) yang dapat menjadi bukti konkret untuk mendukung
sangkaan atas suatu tindak kejahatan santet. Untuk menguatkan tuduhan
bahwa seseorang telah menyantet orang lain pun biasanya hanya merujuk
pada circumstantial evidence—bukan
empirical evidence—yang
tecermin pada sikap iri, dengki, cemburu, marah, dendam, atau permusuhan
satu orang dengan orang lain. Ketiadaan bukti fisik membuat hukum positif
tidak bisa menjangkau tindak kejahatan santet atau menerima sebagai suatu
realitas sosial.
Dua Sisi
Dalam konteks ini, hukum formal
yang bersandar pada pembuktian empiris seolah tidak berdaya ketika ada
tuntutan untuk memprosekusi tindak kejahatan santet. Sebagian pihak bisa
memaklumi kesulitan pembuktian tindak kejahatan santet dalam penegakan
hukum.
Bagi pihak lain, terlebih lagi
korban santet, ketidakberdayaan aparat penegak hukum mengadili tindak
kejahatan santet menjadi alasan menggerakkan mob justice. Suatu bentuk
peradilan komunal melalui mobilisasi massa dan digerakkan logika massa. Mob justice cenderung eksesif
karena ia merefleksikan public
outrage yang menjelma dalam aksi brutal, seperti membakar orang yang
dituduh dukun santet.
Jika santet hendak diatur di
dalam KUHP, bagaimana konstruksi hukumnya? Bagaimana di di negara lain?
Pertanyaan pertama biarlah dijawab para pakar. Pertanyaan kedua, penulis
dapat menyajikan sejumlah ilustrasi.
Banyak negara di berbagai
belahan dunia—membentang dari Afrika sampai Amerika Utara—mengatur
masalah santet di dalam kitab undang-undang yang disebut Criminal Code.
Afrika Selatan punya The South
African Witchcraft Suppression Act (Nomor 3, 1957). Tertulis, ”Any person who professes knowledge of
witchcraft or the use of charms shall be guilty of an offence where the
accused has been proved to be a witchdoctor or witch-finder.”
Zambia punya The Zambian Witchcraft Ordinance
(No 31, 1952) yang menyebut: ”Whoever
shall be proved to be a witchdoctor or witch-finder shall be liable upon
conviction to a fine” (Theodore
Petrus, Defining Witchcraft-Related Crime, 2011).
Hukum Berkuasa
Republik Pantai Gading
menggunakan Criminal Law
warisan Perancis—negara modern yang menjadi salah satu pelopor Renaisans
Eropa—untuk mengadili pelaku kejahatan dengan prinsip nemo censitur ignorare legem (no one should ignore the law),
termasuk pelaku santet (Veerle
Gijsegem, Criminal Law of French Origin—The Modernity of Witchcraft
Trials in the Republic of the Ivory Coast, 2006).
Jangan terkejut, negara yang
sangat maju seperti Kanada juga mengatur santet dalam The Canadian Criminal Code
(c.C-46, 1985, section 365), tertulis: ”Everyone who fraudulently (i) pretends to exercise or to use any
kind of witchcraft, sorcery, enchantment; (ii) undertakes, for a
consideration, to tell fortune; or (iii) pretends from his skill in or
knowledge of an occult or crafty science to discover where or in what
manner anything that is supposed to have been stolen or lost may be
found, is guilty of an offence punishable on summary conviction.”
Esensi moralitas hukum adalah
memberi proteksi atas hak hidup, jaminan perlindungan properti,
memelihara ketertiban dan keteraturan sosial, serta mewujudkan keadilan
bagi setiap insan. Sebagai bagian dari budaya, santet adalah anathema
esensi moralitas hukum. Namun, mengingat pelik dan dampaknya bagi
tertuduh, pembuatan aturan hukum harus hati-hati dan penuh pertimbangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar