Senin, 01 April 2013

Lenyapnya Monopoli Kekerasan Negara


Lenyapnya Monopoli Kekerasan Negara
Triyono Lukmantoro  ;  Dosen Sosiologi Komunikasi, FISIP,
Universitas Diponegoro Semarang
KORAN SINDO, 01 April 2013

  
Negara sedang menghadapi persoalan penting berkaitan dengan keamanan yang diperoleh warganya. Bagaimana mungkin empat tahanan yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta, Sabtu (23/3), tewas akibat diberondong timah panas oleh gerombolan bersenjata. 

Kelompok terlatih berjumlah 17 orang berhasil menerobos penjara dan menghabisi empat tahanan itu hanya dalam waktu 15 menit. Siapa pun pelaku dalam tragedi itu telah melenyapkan aspek penting dari kehadiran negara, yakni otoritas negara dalam memonopoli kekerasan. Bahkan, pada peristiwa lain, polisi yang seharusnya memiliki keabsahan untuk menjalankan daya paksa fisik atas nama hukum justru dikeroyok massa. 

Kapolsek Dolok Pardamean Ajun Komisaris Polisi (AKP) Andar Yonas Siahaan yang sedang menangkap pelaku judi diteriaki maling. Lebih dari seratus warga yang terprovokasi, menganiaya secara brutal sang polisi hingga tewas mengenaskan. Kejadian tragis itu berlangsung pada Rabu malam (27/3), di Desa Dolok Saribu, Kecamatan Dolok Pardamean, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. 

Penjara dan polisi adalah dua entitas penegak hukum. Namun, hukuman yang diberikan negara bukan dimaksudkan untuk menyengsarakan warga. Penjara, dengan berbagai kerangkengnya yang berfungsi membatasi kebebasan warganya yang dinilai bersalah, merupakan instrumen kekerasan negara. Hanya, kekerasan yang terdapat pada penjara dan daya paksa fisik yang dijalankan polisi bukankah diarahkan untuk menghancurkan warga. 

Semua paksaan itu diadakan untuk merehabilitasi siapa pun yang melanggar norma-norma. Ketika pihak yang dituding melanggar batas norma dibunuh kelompok bersenjata dan polisi yang berwenang mengerahkan daya paksa malah tewas dikeroyok massa, di manakah klaim negara terhadap monopoli kekerasan yang dimaksudkan untuk menegakkan kebaikan? 

Sebagai Instrumen 

Kekerasan otoritatif yang dimiliki negara kerap dipertanyakan. Untuk apa dan siapakah kekerasan itu diarahkan? Kalau untuk alasan keamanan, siapakah yang paling diuntungkan dari terciptanya keamanan itu? Kekerasan merupakan perangkat yang memberikan keuntungan bagi satu kelompok yang berhasil menunggangi negara untuk menyingkirkan kelompok yang lain. 

Dalam posisi demikian, negara tidak lebih sebagai instrumen bagi kaum dominan untuk melenyapkan kelompok subordinat. Gagasan negara sebagai perangkat kelompok dominan (kaum borjuis) untuk memecundangi kelompok tertindas (kaum buruh) dikemukakan oleh Louis Althusser (1918–1990). Pada tradisi Marxis, Althusser menguraikan, negara dipahami sebagai sebuah aparatus represif. 

Negara adalah mesin penindas yang menjadikan kelas-kelas yang berkuasa mampu memastikan dominasinya terhadap kelas pekerja untuk meraih keuntungan ekonomis. Aparatus represif di sini ialah polisi, pengadilan, penjara, dan tentara. Khusus pada tentara, Althusser memberikan catatan tambahan bahwa aparatus ini menjadikan “kaum proletariat harus membayar pengalamannya dengan darah”. 

Dengan darah atau bukan, perspektif Althusserian menempatkan negara tidak lebih sebagai perkakas yang berguna membenarkan kepentingan segelintir orang yang berkuasa. Pemikiran semacam ini selalu berprasangka bahwa negara berwatak represif (menindas dan tiada lain kecuali menindas) serta tidak memberikan keberpihakan bagi kebanyakan orang. 

Apa yang diabaikan sudut pandang ini adalah negara tidak pernah berbuat baik, misalnya menyajikan rasa aman bagi warga masyarakat. Selain itu, jika kekuasaan negara terus- menerus represif, bukankah warga makin memiliki kesadaran untuk menjalankan perlawanan terhadap lembaga penindas ini? 

Terancam Anarki 

Gagasan lain yang menyatakan negara identik dengan kekerasan dikemukakan oleh Max Weber (1864–1920). Secara tegas, Weber menyatakan bahwa setiap negara didirikan di atas paksaan. Jika tidak ada penggunaan kekerasan, secara otomatis konsep negara akan musnah. Kenyataan yang ada hanyalah anarki, sebuah keadaan yang sangat kacau. 

Merujuk pada asumsi itu, Weber mendefinisikan negara sebagai sebuah komunitas manusia yang sukses mengklaim monopoli penggunaan kekerasan fisik yang sah (legitimate) dalam sebuah teritori tertentu. Penekanan yang harus diberikan terhadap pemikiran Weber adalah kekerasan yang digulirkan negara hanya bisa terjadi apabila ada alasan-alasan pembenarnya. Kekerasan yang dilakukan negara berdasarkan pada legalitas yang rasional. 

Selain itu, negara tidak boleh mendapatkan saingan dari lembaga-lembaga mana pun, terlebih masyarakat, dalam menjalankan kekerasan. Jika ada aparat negara yang melakukan kekerasan tanpa alasan yang jelas dan sama sekali tidak mampu membuktikan dasar-dasar legalitasnya, maka negara sedang dalam bahaya anarki. Lebih ironis lagi, apabila pihak yang menciptakan anarki itu justru adalah aparat represif negara sendiri. 

Ironisme mengenai lenyapnya monopoli kekerasan negara, sebenarnya, telah berulang kali terjadi. Gerombolan-gerombolan orang tertentu yang mengatasnamakan kebenaran dan kepentingan agama yang secara agresif menyerang pihak- pihak lain yang tidak disukainya, adalah bukti konkret betapa kekerasan tidak lagi dimonopoli negara. Fenomena yang lebih buruk lagi adalah negara memang “rela berbagi” dengan gerombolan-gerombolan yang menebarkan kekerasan itu. 

Negara membiarkan karena institusi itu sudi digantikan kekuatannya oleh gerombolan. Realitas itu menunjukkan bahwa anarki adalah ciptaan negara sendiri. Anarki yang sesungguhnya merupakan musuh paling nyata negara dan harus dibasmi negara justru menjadi sekutu paling akrab. Dalam situasi semacam ini, pihak yang sangat dirugikan dan pasti mengalami ketersudutan adalah kelompok minoritas. 

Apa yang disebut sebagai minoritas dalam lingkup negara kita bukan hanya mereka yang secara kuantitatif berjumlah sedikit. Minoritas adalah kelompok sosial yang paling sering menderita karena selalu mendapatkan prasangka dan tindakan yang diskriminatif dari masyarakat maupun negara. Kaum minoritas dipandang negatif dan mendapatkan perlakuan tidak adil karena alasan kelas sosial, etnisitas, dan keagamaan. 

Lenyapnya monopoli kekerasan negara ternyata tidak saja mengorbankan kaum minoritas. Para tahanan yang berada dalam penjara, daerah yang seharusnya paling aman dari serbuan gerombolan dan amukan massa yang beringas, ternyata bisa menemui kematian di ujung senapan kelompok terlatih. 

Bahkan, polisi yang bertugas menegakkan hukum pun tewas dalam genggaman kebrutalan massa. Kita berharap semua kasus ini segera terungkap. Monopoli kekerasan—yang selama ini lenyap dan akhirnya hanya menghasilkan anarki—harus segera diambil negara. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar