Dalam
tradisi India kuno, yang berpengaruh besar pada sastra agung dan klasik:
Ramayana dan Mahabharata, yang semuanya—sesudah tiba di tanah Jawa—
menjadi seolah Jawa tulen, kita temukan begitu banyak jenis kutukan,
sebagai ungkapan rasa kecewa atau marah.
Resi Gotama,
mengutuk istrinya, Dewi Regu, yang bertindak selingkuh dengan Batara
Surya, dan sang dewa memberinya “cupumanik Astagina” sebuah piala, yang
di dalamnya, seluruh isi dunia, dan rahasia-rahasia kehidupan, dapat
dilihat. Luar biasa. Cupu itu kemudian diberikan pada Anjani, putrinya,
dengan pesan, jangan diceritakan pada siapa pun, dan jangan sampai ada
seorang pun yang tahu. “Ini rahasia besar.” kata Ibunya.
Tapi Guwarsa
dan Guwarsi, kedua kakaknya, tahu akan benda istimewa itu. Maka ketiga
kakak beradik itu pun berebut untuk menguasainya. Dan berita itu sampai
pada Sang Ayah: Resi Gotama tadi. Sang resi menanyai putrinya, Dewi
Anjani, dari mana dia memperoleh benda itu, dan si Anjani, bocah yang tak
tahu-menahu rahasia, mengatakan apa adanya, bahwa dia mendapatkan benda
itu dari sang Ibu.
Resi Gotama
tahu, itu benda langit, milik dewa-dewa, dan bukan benda sembarang benda.
Maka, ditanyainya sang istri. “Dari mana kau memperoleh benda itu?”
Istrinya membisu. Siapa yang memberikan benda itu padamu?” Istrinya
membisu “Pasti ada seseorang yang memberikannya padamu bukan? Istrinya
tetap membisu. Makin lama kesabaran sang resi makin habis.
Maka,
dikutuknya sang istri, dengan kemarahan tak terkendali: “Kamu bisu
seperti tugu…” Dan Dewi Regu pun berubah wujud menjadi seonggok tugu
batu. Dan tragedi kehidupan keluarga pun dimulai. Dalam sastra
pedalangan, kita tahu Guwarsa dan Guwarsi menjadi kera, bersama Subali
dan Sugriwa, sedang Anjani, wajah dan tangannya seperti kera. Mereka
masuk hutan.
Para resi,
brahmin, pertama, rohaniwan dan orang-orang suci, yang berusaha hidup
untuk menjadi “orang baik”, yang mencari kepuasan lebih secara “jiwani”,
dapat juga disebut kepuasan “rohaniah” dan menjauhkan diri dari kepuasan
“rendah”, sekedar puas pada tataran “badani”, yang “kasar”, rata-rata
menjadi orang sakti. Setiap kata yang diucapkannya bertuah. Kata, bagi
mereka, berubah menjadi “mantra”, dan memiliki kesaktian luar biasa.
Orang-orang
suci itu ibaratnya menjadi orang yang disebut “idu geni”: yang disabda
nyata, ada, dan menjadi wujud seperti sabdanya. Orang jahat, yang
selingkuh dari “hatinya sendiri”, menyimpang dari “kata hati”, jangan
dekat- dekat mereka. Bukan apaapa. Mereka itu sangat sensitif. Dan
umumnya sangat anti pada penyimpangan. Orang yang menyimpang, sekecil
apapun, bisa-bisa dikutuk jadi tikus. Apalagi, orang yang korup miliaran
rupiah dan menyengsarakan rakyat.
Sekali mereka
tahu hal itu, pastilah dia dikutuk jadi Tugu Monas. Di sini, di zaman
modern, yang hidup sangat kapitalistik, dan nilai manusia ditentukan
berdasarkan benda yang dimilikinya, “brahmin”, resi, pertama dan
orang-orang suci, para rohaniwan sejati, hampir tak ada lagi. Tapi siapa
bilang bahwa mereka itu tak sesekali muncul dan mengutuk manusia?
Mereka muncul
di tengah-tengah kita, secara diam-diam, “nyaru” menjadi orang kebanyakan,
mungkin menjadi pemulung atau pengemis jalanan, tapi mengamati para
penjahat, koruptor, dan pencoleng, dan dikutuklah mereka diam-diam, dan
tak ada yang tahu, agar mereka celaka. Wujud kata “celaka” bisa saja
kejahatannya terbongkar. Bisa juga langsung ditangani KPK. Dan kemudian
jadilah berita besar di media, dan seluruh penduduk negeri tahu belaka
siapa dia sebenarnya.
Yang“terkutuk”
tersebar aibnya. Biar mereka bicara tentang nama baik dan menuntut
dipulihkannya nama baik mereka, para Brahmin, para resi, orang-orang suci
tadi menghalangi tuntutan mereka, dengan pertanyaan tandas, tajam: “Apa
kau pernah punya nama baik?” Yang terkutuk pun resah. Biarpun tampaknya
digembiragembirakan, keresahan di dalam tetap memancar di wajah mereka.
Senyum mereka
kecut. Ucapan mereka hambar. Tapi jarang yang kemudian secara otomatis
menyadari bahwa kepahitan besar yang mereka terima, jauh lebih kecil dari
kepahitan hidup rakyat, yang selamanya belum pernah merasakan
kegembiraan. Pemimpin macam apa yang begitu tumpul nalar dan budinya,
sehingga tak disadarinya bahwa kejahatannya yang besar menimbulkan
kecelakaan besar bagi orang lain? Yang tidak tahu, mungkin tugu batu.
Yang ditanya,
tahukah kau bahwa tindak pidana korupsi yang kaulakukan, membunuh harkat
kemanusiaan, yang selama ini tetap miskin, tapi dia, yang ditanya itu
diam, membisu, agaknya dia pun pantas disebut tugu batu. Yang “terkutuk”,
pelan-pelan diumumkan, dan aibnya terbongkar. Adapun mereka yang
“terpuji”, sebaiknya juga diumumkan. Yang “terpuji”, di antara dua ratus
lima puluh juta jiwa warga negara, masa tak ada? Mustahil.
Mereka harus
ada, dan memang ada. Jumlah mereka memang tak sebanyak mereka yang
“terkutuk” itu. Tapi sedikit jumlah orang yang “terpuji”, jika diumumkan—
misalnya diberi penghargaan sebagai warga masyarakat yang luhur budinya—
jelas akan memiliki pengaruh hebat di masyarakat. Kejujuran akan menjadi
daya tarik. Kecuali itu, kita butuh berita baik, yang bisa dijadikan
penyejuk hati, dan membuat kita optimistis menjalani hidup di dunia fana
yang ruwet ini.
Yang
“terpuji” harus dimunculkan di Koran, majalah, tabloid, radio, televisi,
dan semua jenis media “online”— kalau perlu media “offline juga
boleh—supaya ruh jahat tidak gentayangan dan merajalela sendirian di
negeri ini. Ruh kebaikan, harus mengutuki. Di mana yang “terkutuk”
berkokok, seolah dia paling jagoan, dan sering berlagak paling jujur,
maka yang “terpuji’ harus menyampaikan suara perlawanan.
Sikap
berlagak boleh muncul. Sok jujur boleh dimediakan. Tapi itu semua palsu.
Barang palsu, mudah diketahui. Dan :dikutuk” habis. Sebaliknya, kebaikan,
biarpun suaranya samarsamar, terdengar dan tetap mengimbau kita.
Yang
“terpuji” hadir bukan hanya di dalam hati, tapi dia mengembangkan sayapnya,
yang membentang dari barat ke timur, utara dan selatan, hingga memenuhi
dunia ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar