Selasa, 16 April 2013

Kontradiksi Paradigma Good Governance


Kontradiksi Paradigma Good Governance
Anpatar Simamora  Pengajar di Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen, Dewan Pendiri Lembaga Pemberdayaan Media dan Komunikasi (LAPiK)
KORAN SINDO, 15 April 2013


Salah satu prioritas perhatian Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) untuk tahun 2014 adalah upaya penguatan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). 

Hal itu terekam jelas dalam substansi sambutan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho pada upacara bendera dalam peringatan hari jadi ke-65 Provinsi Sumatera Utara, 15 April 2013. Bahkan, poin penguatan tata kelola pemerintahan yang baik ditempatkan pada urutan pertama dari sekian banyak program prioritas yang sedang dirancang Pemprovsu. Sepintas ada kemauan pemerintah daerah guna mewujudkan good governancedi Sumut patut disambut baik dalam melakukan penataan dan pembenahan terhadap alur kinerja birokrasi dan pelayanan publik. 

Namun, persoalannya adalah, bagaimana program prioritas dimaksud dapat direalisasikan serta sejauh mana program visi dan misi yang ada dapat diyakini memiliki tingkat keselarasan dengan program tersebut. Sebab, bagaimanapun upaya mewujudkan good governance bukan pekerjaan mudah. Dibutuhkan pemahaman yang utuh serta komprehensif tentang konsep-konsep good governance itu sendiri. 

Rangkaian pemahaman itu kemudian mesti ditindaklanjuti dengan kemauan untuk mengimplementasikan serta berusaha menelusuri sejumlah titik lemah, yang diprediksi menjadi pemicu kegagalan konsep good governance. Persoalan ini harus diletakkan dalam satu rangkaian pemahaman secara utuh agar paradigma good governance tidak sebatas slogan yang indah dalam tataran konsep, namun benar-benar berhasil seiring dengan tingkat pencapaiannya dalam tataran implementasi di lapangan.

 Prinsip Pokok Good Governance 

Good governance sering diartikulasikan sebagai kepemerintahan yang baik atau upaya menuju dan mewujudkan pemerintahan yang baik. Makna pemerintahan yang baik tentu tidak dapat dilepaskan dari prinsip-prinsip pokok, seperti efisiensi, efektivitas, transparansi, akuntabilitas, dan prinsip-prinsip lainnya, yang dapat menunjang terwujudnya sistem pengelolaan atau manajemen pemerintahan lebih mumpuni. 

Dengan demikian, maka good governance merupakan pemerintahan yang mampu mengadopsi sekaligus menjalankan prinsip-prinsip dimaksud dalam tugas keseharian. Dalam konsep good governance, pelayanan publik merupakan pintu tepat untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, karena pelayanan publik langsung bersentuhandengan kebutuhan masyarakat. 

Pelayanan publik dapat dimaknai sebagai segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan dari ketentuan peraturanperundangundangan. Dalam praktik yang terjadi selama ini, hasrat dan niat pemerintah dalam membangun kinerja birokrasi pelayanan publik menuju pelayanan prima, ternyata tidak berbanding lurus dengan fakta yang ada di lapangan. 

Dalam praktiknya, bentuk layanan prima yang mengedepankan tingkat kepuasan masyarakat tetap belum tercapai dengan baik. Kendati penyelenggaraan pemerintahan telah mengadopsi semangat otonomi daerah yang diperuntukkan dalam memberikan pelayanan publik yang lebih optimal, namun model klasik birokrasi seolah tidak mengalami perubahan. Budaya mempersulit maraknya kutipan liar dan lamanya proses administrasi dalam bidang layanan publik, sehingga era otonomi daerah tetap masih ”dipelihara”, bahkan tumbuh subur. 

Kalangan birokrat belum sepenuhnya mampu menempatkan masyarakat sebagai pelanggan yang seharusnya dijadikan sebagai “raja”. Bahkan, tidak jarang terjadi bahwa konsep pelayanan publik selama ini justru berbalik arah, karena sesungguhnya yang terjadi bukan pelayanan, tetapi permintaan untuk dilayani. Betapa tidak, dalam berurusan dengan instansi pemerintahan, mayoritas pihak kerap dibebani dengan berbagai jenis kutipan liar yang tidak jelas dasar hukum dan peruntukannya. 

Prinsip klasik birokrasi yang sudah mendarah daging seakan menjadi tradisi yang sulit dilepaskan. Karena itu, tidak heran bila kemudian banyak pihak memberikan kata-kata sindiran terhadap sistem pelayanan publik di daerah dengan beragam istilah, seperti “kalau bisa dipersulit, kenapa mesti dipermudah”atau “kalau anda mau dilayani, maka silakan melayani terlebih dulu”. Sederet kata-kata ini semacam adagium yang sudah memperoleh pembenaran di alam realita meski tidak diinginkan keberadaannya. 

Dalam perspektif negaranegara maju, setidaknya terdapat dua alasan utama yang mendorong lahirnya gagasan penciptaan pemerintahan yang baik. Pertama, gagalnya pemerintah menjalankan fungsi yang ditandai oleh tidak bekerjanya hukum dan tata aturan, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan pada pemerintah tentang bagaimana seharusnya pemerintah berinteraksi dengan masyarakatnya. 

Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab pemerintah pada masyarakatnya, termasuk kewajiban dan hak yang saling mengikat antara pemegang posisi memerintah dan diperintah. Kedua,terkait tekanan dari kelompok neoliberalisme yang mendukung dikuranginya peran negara dan pengimbangan kekuasaan kepada penyediaan layanan oleh pembeli dan pengatur (Muhadam Labolo: 2011). Dengan kata lain, pemangkasan peran pemerintah sejauh mungkin dengan cara penyerahan kepentingan antara penjual dan pembeli pada mekanisme pasar. 

Kontradiksi 

Berdasarkan catatan hingga tahun 2011, jumlah PNS di lingkungan Pemprovsu mencapai 12.256 orang. Angka ini tentu merupakan salah satu potensi dalam membangun paradigma good governance di Sumut. Hanya kenyataan menunjukkan bahwa potensi itu belum dimanfaatkan secara maksimal dalam mendulang prestasi bagi kinerja birokrasi di Sumut. 

Bahkan, dalam sejumlah hal Pemprov Sumut justru mendapat catatan buram yang patut dimaknai sebagai bagian dari kegagalan pencapaian dan perwujudan good governance. Lihat misalnya, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Gubernur Sumut untuk tahun 2009 berdasarkan Surat Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi RI Nomor B/158/M.PANRB/ 1/2011 tertanggal 18 Januari 2011, hanya mampu menduduki peringkat 16 dari 27 pemerintah provinsi dengan nilai 44,34 dan dianugerahi peringkat C. 

Hal serupa juga terjadi untuk LAKIP 2010 dan dokumen Penetapan Kinerja tahun 2011. Demikian juga dengan opini BPK terhadap laporan keuangan Pemprovsu. Untuk tahun anggaran 2010 dan 2011, BPK mengalamatkan opini wajar dengan pengecualian (WDP). 

Sejumlah fakta itu menunjukkan bahwa sampai saat ini Pemprovsu masih terjerat wajah kontradiktif antara prioritas program dalam bingkai paradigma good governancedengan realita yang tampil ke permukaan. Artinya belum ditemukan benang merah kesamaan arah dan gambaran serta perbandingan lurus antara konsep dengan fakta di lapangan. 

Karena itu, HUT Pemprovsu tahun ini, jangan sampai sebatas seremonial dengan berbagai atraksi, melainkan harus dimaknai sebagai momen untuk merefleksikan diri akan sejauh mana target dan program prioritas pemerintah dapat diwujudnyatakan, khususnya upaya perwujudan good governance. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar