Salah
satu prioritas perhatian Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu)
untuk tahun 2014 adalah upaya penguatan tata kelola pemerintahan yang
baik (good governance).
Hal itu terekam jelas dalam substansi sambutan Gubernur Sumatera Utara
Gatot Pujo Nugroho pada upacara bendera dalam peringatan hari jadi ke-65
Provinsi Sumatera Utara, 15 April 2013. Bahkan, poin penguatan tata
kelola pemerintahan yang baik ditempatkan pada urutan pertama dari sekian
banyak program prioritas yang sedang dirancang Pemprovsu. Sepintas ada
kemauan pemerintah daerah guna mewujudkan good governancedi Sumut patut
disambut baik dalam melakukan penataan dan pembenahan terhadap alur
kinerja birokrasi dan pelayanan publik.
Namun, persoalannya adalah, bagaimana program prioritas dimaksud dapat
direalisasikan serta sejauh mana program visi dan misi yang ada dapat
diyakini memiliki tingkat keselarasan dengan program tersebut. Sebab,
bagaimanapun upaya mewujudkan good
governance bukan pekerjaan mudah. Dibutuhkan pemahaman yang utuh
serta komprehensif tentang konsep-konsep good governance itu sendiri.
Rangkaian pemahaman itu kemudian mesti ditindaklanjuti dengan kemauan
untuk mengimplementasikan serta berusaha menelusuri sejumlah titik lemah,
yang diprediksi menjadi pemicu kegagalan konsep good governance. Persoalan ini harus diletakkan dalam satu
rangkaian pemahaman secara utuh agar paradigma good governance tidak sebatas slogan yang indah dalam tataran
konsep, namun benar-benar berhasil seiring dengan tingkat pencapaiannya
dalam tataran implementasi di lapangan.
Prinsip
Pokok Good Governance
Good governance sering
diartikulasikan sebagai kepemerintahan yang baik atau upaya menuju dan
mewujudkan pemerintahan yang baik. Makna pemerintahan yang baik tentu tidak
dapat dilepaskan dari prinsip-prinsip pokok, seperti efisiensi,
efektivitas, transparansi, akuntabilitas, dan prinsip-prinsip lainnya,
yang dapat menunjang terwujudnya sistem pengelolaan atau manajemen
pemerintahan lebih mumpuni.
Dengan demikian, maka good
governance merupakan pemerintahan yang mampu mengadopsi sekaligus
menjalankan prinsip-prinsip dimaksud dalam tugas keseharian. Dalam konsep
good governance, pelayanan
publik merupakan pintu tepat untuk mewujudkan tata pemerintahan yang
baik, karena pelayanan publik langsung bersentuhandengan kebutuhan
masyarakat.
Pelayanan publik dapat dimaknai sebagai segala kegiatan pelayanan yang
dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan dari ketentuan
peraturanperundangundangan. Dalam praktik yang terjadi selama ini, hasrat
dan niat pemerintah dalam membangun kinerja birokrasi pelayanan publik
menuju pelayanan prima, ternyata tidak berbanding lurus dengan fakta yang
ada di lapangan.
Dalam praktiknya, bentuk layanan prima yang mengedepankan tingkat
kepuasan masyarakat tetap belum tercapai dengan baik. Kendati
penyelenggaraan pemerintahan telah mengadopsi semangat otonomi daerah
yang diperuntukkan dalam memberikan pelayanan publik yang lebih optimal,
namun model klasik birokrasi seolah tidak mengalami perubahan. Budaya
mempersulit maraknya kutipan liar dan lamanya proses administrasi dalam
bidang layanan publik, sehingga era otonomi daerah tetap masih
”dipelihara”, bahkan tumbuh subur.
Kalangan birokrat belum sepenuhnya mampu menempatkan masyarakat sebagai
pelanggan yang seharusnya dijadikan sebagai “raja”. Bahkan, tidak jarang
terjadi bahwa konsep pelayanan publik selama ini justru berbalik arah,
karena sesungguhnya yang terjadi bukan pelayanan, tetapi permintaan untuk
dilayani. Betapa tidak, dalam berurusan dengan instansi pemerintahan,
mayoritas pihak kerap dibebani dengan berbagai jenis kutipan liar yang
tidak jelas dasar hukum dan peruntukannya.
Prinsip klasik birokrasi yang sudah mendarah daging seakan menjadi
tradisi yang sulit dilepaskan. Karena itu, tidak heran bila kemudian
banyak pihak memberikan kata-kata sindiran terhadap sistem pelayanan
publik di daerah dengan beragam istilah, seperti “kalau bisa dipersulit,
kenapa mesti dipermudah”atau “kalau anda mau dilayani, maka silakan
melayani terlebih dulu”. Sederet kata-kata ini semacam adagium yang sudah
memperoleh pembenaran di alam realita meski tidak diinginkan
keberadaannya.
Dalam perspektif negaranegara maju, setidaknya terdapat dua alasan utama
yang mendorong lahirnya gagasan penciptaan pemerintahan yang baik.
Pertama, gagalnya pemerintah menjalankan fungsi yang ditandai oleh tidak
bekerjanya hukum dan tata aturan, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan
pada pemerintah tentang bagaimana seharusnya pemerintah berinteraksi
dengan masyarakatnya.
Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab pemerintah pada masyarakatnya,
termasuk kewajiban dan hak yang saling mengikat antara pemegang posisi
memerintah dan diperintah. Kedua,terkait tekanan dari kelompok
neoliberalisme yang mendukung dikuranginya peran negara dan pengimbangan
kekuasaan kepada penyediaan layanan oleh pembeli dan pengatur (Muhadam
Labolo: 2011). Dengan kata lain, pemangkasan peran pemerintah sejauh
mungkin dengan cara penyerahan kepentingan antara penjual dan pembeli
pada mekanisme pasar.
Kontradiksi
Berdasarkan catatan hingga tahun 2011, jumlah PNS di lingkungan Pemprovsu
mencapai 12.256 orang. Angka ini tentu merupakan salah satu potensi dalam
membangun paradigma good governance
di Sumut. Hanya kenyataan menunjukkan bahwa potensi itu belum
dimanfaatkan secara maksimal dalam mendulang prestasi bagi kinerja
birokrasi di Sumut.
Bahkan, dalam sejumlah hal Pemprov Sumut justru mendapat catatan buram
yang patut dimaknai sebagai bagian dari kegagalan pencapaian dan
perwujudan good governance. Lihat misalnya, Laporan Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah (LAKIP) Gubernur Sumut untuk tahun 2009 berdasarkan
Surat Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi RI Nomor B/158/M.PANRB/ 1/2011
tertanggal 18 Januari 2011, hanya mampu menduduki peringkat 16 dari 27
pemerintah provinsi dengan nilai 44,34 dan dianugerahi peringkat C.
Hal serupa juga terjadi untuk LAKIP 2010 dan dokumen Penetapan Kinerja
tahun 2011. Demikian juga dengan opini BPK terhadap laporan keuangan
Pemprovsu. Untuk tahun anggaran 2010 dan 2011, BPK mengalamatkan opini
wajar dengan pengecualian (WDP).
Sejumlah fakta itu menunjukkan bahwa sampai saat ini Pemprovsu masih
terjerat wajah kontradiktif antara prioritas program dalam bingkai
paradigma good governancedengan realita yang tampil ke permukaan. Artinya
belum ditemukan benang merah kesamaan arah dan gambaran serta
perbandingan lurus antara konsep dengan fakta di lapangan.
Karena itu, HUT Pemprovsu tahun ini, jangan sampai sebatas seremonial
dengan berbagai atraksi, melainkan harus dimaknai sebagai momen untuk
merefleksikan diri akan sejauh mana target dan program prioritas
pemerintah dapat diwujudnyatakan, khususnya upaya perwujudan good governance. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar