Dalam pekan ini, ada dua kabar menggegerkan. Pertama,
terungkapnya pelaku penyebaran surat perintah penyelidikan (sprindik) KPK
terhadap Anas Urbaningrum. Kedua, terkuaknya pelaku pembunuhan brutal di
Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Yogyakarta.
Saat jantung berulang kali berdegup lebih kencang
saban kali menyimak berita tentang dua kegemparan tersebut, ada dua kata
sifat yang membuat dahi berkerut. Pelaku skandal sprindik mengaitkan
aksinya dengan "idealisme", sementara pelaku insiden Cebongan
disebut melakukan tindakan "kesatria" dengan mengakui
perbuatannya. Setelah dikeluarkannya dua kata tersebut, yaitu
"idealisme" dan "kesatria", situasi yang semula
bermakna tunggal terang benderang berubah menjadi ambigu samar-samar.
Siapa pun individunya, apalagi ketika menampilkan
perilaku keliru, besar kemungkinan akan bereaksi melindungi keamanan
egonya. Penyimpangan kognitif yang lazim berlangsung untuk maksud
tersebut adalah mengkambinghitamkan pihak lain ketika berhadapan dengan situasi
yang tak menyenangkan. Sebaliknya, tatkala berada dalam situasi yang
ideal, individu akan mengklaim dirinya sendiri sebagai pihak pencipta
keadaan tersebut.
Namun ada dua kendala yang menghambat fundamental
attribution bias tersebut. Dalam skandal sprindik, karena impitan waktu
dan Komisi Etik mengkonfrontasi pelaku dengan kumpulan data lengkap,
kognisi si pelaku tidak bisa menemukan data lain (konkretnya, pihak
ketiga) yang bisa ditudingnya. Begitu pula dalam insiden Cebongan, proses
investigasi yang berbasis pada pencarian bukti-bukan asumsi-tidak bisa
dielakkan hanya dengan mengandalkan "siasat" kognitif berupa
pencarian pihak lain yang bisa disalahkan.
Meski demikian, individu secara kodrati tidak akan
langsung menyerah. Kognisi pelaku skandal sprindik dan insiden Cebongan
menampilkan bias dengan versi lain. Kali ini adalah egocentric bias.
Dikaitkannya aksi pembocoran sprindik dengan "idealisme" dan
operasi balas dendam dengan "kesatria" merupakan cerminan bias
keakuan tersebut. Kognisi pelaku lagi-lagi bekerja menyimpang: hal-hal
positif langsung tersedia dalam ingatan, sedangkan hal-hal negatif
terbenamkan. Bias kognitif itu terjadi karena para pelaku masih harus
memberi respons dalam waktu yang sangat sempit dalam rangka melindungi
dirinya setelah fundamental attribution bias tak bisa dikerahkan.
Di situ terlihat bagaimana dua tipe proses berpikir
manusia. Tipe pertama adalah jalan pintas mental (mental shortcut) yang
dipresentasikan melalui penyebutan "idealisme" dan
"kesatria". Tipe kedua adalah penalaran menyeluruh (rational thought) yang dilakukan
Komisi Etik KPK dan Tim Investigasi TNI. Kedua tipe proses berpikir
tersebut saling bergelut, dan proses berpikir yang utuh keluar sebagai
pemenang.
Agar konstruksi pemaknaan atas kasus sprindik dan
insiden Cebongan tidak lagi ambigu serta kembali jernih, perlu diajukan
kontrabias. Kontrabias dimunculkan dengan membenturkan perilaku para
pelaku dengan status masing-masing organisasi tempat mereka bekerja.
Dalam skandal sprindik, pelaku bekerja di sebuah
institusi yang memerangi korupsi. Korupsi adalah penyimpangan. Dengan
kedua premis tersebut, suatu perilaku baru bisa dikatakan ideal apabila
selaras, alias tidak menyimpang, dengan arah institusi yang bersangkutan.
Atas dasar itu, klaim "idealisme" sebagai latar aksi pembocoran
sprindik justru tampak menyimpang. Sulit, bahkan mungkin tidak ada,
menemukan justifikasi untuk menopang dalih etis yang diangkat pelaku
manakala tindakan yang ia lakukan secara resmi sudah dinyatakan sebagai
pelanggaran berat etika.
Anggaplah manfaat pembocoran sprindik masih bisa
diperdebatkan. Namun pada saat yang sama telah terdapat penilaian final
bahwa aksi pembocoran itu sendiri sudah merupakan bentuk penyimpangan.
Klaim "idealisme" tak pelak menjadi absurd. Senyatanya ironi;
pelaku adalah individu yang telah melakukan korupsi "kekuasaan"
di lembaga yang menjadi tumpuan harapan bangsa dalam pemberantasan
korupsi.
Tragedi Cebongan pun serupa. Kalau sebutan
"kesatria" ingin disematkan pada para pelaku berdasarkan
kejujuran atau pengakuan atas perbuatan mereka, kejujuran itu faktanya
bertolak belakang dengan serangkaian tindakan yang berasosiasi dengan
ketidakjujuran. Mulai mengenakan penutup muka, menunjukkan surat palsu
kepada petugas penjara, dan merusak kamera CCTV. Ditambah aksi
pencederaan terhadap petugas LP selaku orang sipil dan tak bersalah,
semakin nyata kekontrasan perbuatan para pelaku dengan reputasi kesatria
sejati.
Para pelaku dalam kasus Cebongan adalah para
profesional yang ditugasi mengamankan tanah tumpah darah dari Sabang
sampai Merauke berikut seluruh penghuninya. Yang seharusnya takut kepada
mereka adalah musuh Republik Indonesia. Ketakutan yang sama tidak
sepantasnya menggenang dan meluber ke mana-mana, termasuk ke hati rakyat
Indonesia yang "Merah Putih" sejati. Sungguh mengerikan
membayangkan bahwa siapa pun yang "berurusan" dengan
oknum-oknum korps tersebut bisa langsung mengalami nasib nahas tanpa
didahului proses hukum.
Dendam pribadi para oknum korps tersebut barangkali
terlunaskan lewat butiran pelor. Tapi apakah ekspresi kesumat dalam
insiden Cebongan berhasil menjaga nama baik korps mereka sendiri? Jika
merupakan tujuan operasi, hal itu lebih tepat disebut sebagai operasi
yang gagal total.
Keterbukaan Tim Investigasi TNI dalam
mengumumkan temuan tentang pelaku kasus Cebongan menunjukkan bahwa
merekalah kesatria sejati. Kesatria yang sanggup menghukum anak-anak
kandung mereka sendiri demi supremasi hukum dan martabat korps. Demikian
pula, KPK-lah, lewat Komisi Etik-nya, yang sudah memperagakan sikap
istikamah (idealisme!) yang sesungguhnya kesatria dengan mengeluarkan
rekomendasi pemecatan atas stafnya sendiri demi tegaknya etika dan
kehormatan lembaga. ●
|
artikel Reza Indragiri Amriel ini sama persis dengan Sindo pada 6 April 2013, TEMPO sekiranya harus lebih selektif dalam menerima artikel, meskipun yang bersangkutan tokoh pakar terkenal, agar jangan mematikan penulis muda
BalasHapus