Senin, 08 April 2013

Bukan Idealisme, Bukan Kesatria


Bukan Idealisme, Bukan Kesatria
Reza Indragiri Amriel ;  Mantan Ketua Delegasi Indonesia pada Program Pertukaran Pemuda Indonesia-Australia, Penerima Asian Public Intellectuals Fellowship
KORAN TEMPO, 08 April 2013

Bandingkan dengan artikel dari penulis yang sama di KORAN SINDO 06 April 2013
http://budisansblog.blogspot.com/2013/04/meluruskan-bias-kesatria.html



Dalam pekan ini, ada dua kabar menggegerkan. Pertama, terungkapnya pelaku penyebaran surat perintah penyelidikan (sprindik) KPK terhadap Anas Urbaningrum. Kedua, terkuaknya pelaku pembunuhan brutal di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Yogyakarta.

Saat jantung berulang kali berdegup lebih kencang saban kali menyimak berita tentang dua kegemparan tersebut, ada dua kata sifat yang membuat dahi berkerut. Pelaku skandal sprindik mengaitkan aksinya dengan "idealisme", sementara pelaku insiden Cebongan disebut melakukan tindakan "kesatria" dengan mengakui perbuatannya. Setelah dikeluarkannya dua kata tersebut, yaitu "idealisme" dan "kesatria", situasi yang semula bermakna tunggal terang benderang berubah menjadi ambigu samar-samar.

Siapa pun individunya, apalagi ketika menampilkan perilaku keliru, besar kemungkinan akan bereaksi melindungi keamanan egonya. Penyimpangan kognitif yang lazim berlangsung untuk maksud tersebut adalah mengkambinghitamkan pihak lain ketika berhadapan dengan situasi yang tak menyenangkan. Sebaliknya, tatkala berada dalam situasi yang ideal, individu akan mengklaim dirinya sendiri sebagai pihak pencipta keadaan tersebut. 

Namun ada dua kendala yang menghambat fundamental attribution bias tersebut. Dalam skandal sprindik, karena impitan waktu dan Komisi Etik mengkonfrontasi pelaku dengan kumpulan data lengkap, kognisi si pelaku tidak bisa menemukan data lain (konkretnya, pihak ketiga) yang bisa ditudingnya. Begitu pula dalam insiden Cebongan, proses investigasi yang berbasis pada pencarian bukti-bukan asumsi-tidak bisa dielakkan hanya dengan mengandalkan "siasat" kognitif berupa pencarian pihak lain yang bisa disalahkan.

Meski demikian, individu secara kodrati tidak akan langsung menyerah. Kognisi pelaku skandal sprindik dan insiden Cebongan menampilkan bias dengan versi lain. Kali ini adalah egocentric bias. Dikaitkannya aksi pembocoran sprindik dengan "idealisme" dan operasi balas dendam dengan "kesatria" merupakan cerminan bias keakuan tersebut. Kognisi pelaku lagi-lagi bekerja menyimpang: hal-hal positif langsung tersedia dalam ingatan, sedangkan hal-hal negatif terbenamkan. Bias kognitif itu terjadi karena para pelaku masih harus memberi respons dalam waktu yang sangat sempit dalam rangka melindungi dirinya setelah fundamental attribution bias tak bisa dikerahkan.

Di situ terlihat bagaimana dua tipe proses berpikir manusia. Tipe pertama adalah jalan pintas mental (mental shortcut) yang dipresentasikan melalui penyebutan "idealisme" dan "kesatria". Tipe kedua adalah penalaran menyeluruh (rational thought) yang dilakukan Komisi Etik KPK dan Tim Investigasi TNI. Kedua tipe proses berpikir tersebut saling bergelut, dan proses berpikir yang utuh keluar sebagai pemenang.

Agar konstruksi pemaknaan atas kasus sprindik dan insiden Cebongan tidak lagi ambigu serta kembali jernih, perlu diajukan kontrabias. Kontrabias dimunculkan dengan membenturkan perilaku para pelaku dengan status masing-masing organisasi tempat mereka bekerja.

Dalam skandal sprindik, pelaku bekerja di sebuah institusi yang memerangi korupsi. Korupsi adalah penyimpangan. Dengan kedua premis tersebut, suatu perilaku baru bisa dikatakan ideal apabila selaras, alias tidak menyimpang, dengan arah institusi yang bersangkutan. Atas dasar itu, klaim "idealisme" sebagai latar aksi pembocoran sprindik justru tampak menyimpang. Sulit, bahkan mungkin tidak ada, menemukan justifikasi untuk menopang dalih etis yang diangkat pelaku manakala tindakan yang ia lakukan secara resmi sudah dinyatakan sebagai pelanggaran berat etika.

Anggaplah manfaat pembocoran sprindik masih bisa diperdebatkan. Namun pada saat yang sama telah terdapat penilaian final bahwa aksi pembocoran itu sendiri sudah merupakan bentuk penyimpangan. Klaim "idealisme" tak pelak menjadi absurd. Senyatanya ironi; pelaku adalah individu yang telah melakukan korupsi "kekuasaan" di lembaga yang menjadi tumpuan harapan bangsa dalam pemberantasan korupsi.

Tragedi Cebongan pun serupa. Kalau sebutan "kesatria" ingin disematkan pada para pelaku berdasarkan kejujuran atau pengakuan atas perbuatan mereka, kejujuran itu faktanya bertolak belakang dengan serangkaian tindakan yang berasosiasi dengan ketidakjujuran. Mulai mengenakan penutup muka, menunjukkan surat palsu kepada petugas penjara, dan merusak kamera CCTV. Ditambah aksi pencederaan terhadap petugas LP selaku orang sipil dan tak bersalah, semakin nyata kekontrasan perbuatan para pelaku dengan reputasi kesatria sejati.

Para pelaku dalam kasus Cebongan adalah para profesional yang ditugasi mengamankan tanah tumpah darah dari Sabang sampai Merauke berikut seluruh penghuninya. Yang seharusnya takut kepada mereka adalah musuh Republik Indonesia. Ketakutan yang sama tidak sepantasnya menggenang dan meluber ke mana-mana, termasuk ke hati rakyat Indonesia yang "Merah Putih" sejati. Sungguh mengerikan membayangkan bahwa siapa pun yang "berurusan" dengan oknum-oknum korps tersebut bisa langsung mengalami nasib nahas tanpa didahului proses hukum.

Dendam pribadi para oknum korps tersebut barangkali terlunaskan lewat butiran pelor. Tapi apakah ekspresi kesumat dalam insiden Cebongan berhasil menjaga nama baik korps mereka sendiri? Jika merupakan tujuan operasi, hal itu lebih tepat disebut sebagai operasi yang gagal total.

Keterbukaan Tim Investigasi TNI dalam mengumumkan temuan tentang pelaku kasus Cebongan menunjukkan bahwa merekalah kesatria sejati. Kesatria yang sanggup menghukum anak-anak kandung mereka sendiri demi supremasi hukum dan martabat korps. Demikian pula, KPK-lah, lewat Komisi Etik-nya, yang sudah memperagakan sikap istikamah (idealisme!) yang sesungguhnya kesatria dengan mengeluarkan rekomendasi pemecatan atas stafnya sendiri demi tegaknya etika dan kehormatan lembaga.

1 komentar:

  1. artikel Reza Indragiri Amriel ini sama persis dengan Sindo pada 6 April 2013, TEMPO sekiranya harus lebih selektif dalam menerima artikel, meskipun yang bersangkutan tokoh pakar terkenal, agar jangan mematikan penulis muda

    BalasHapus