Selasa, 09 April 2013

Pengembangan Ekonomi Biru


Pengembangan Ekonomi Biru
Haryono Suyono ;  Mantan Menko Kesra dan Taskin
SUARA KARYA, 08 April 2013


Minggu lalu pencetus dan penggagas ekonomi biru Prof Dr Gunter Pauli, diundang oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Dr Sharif Cicip Sutardjo berkunjung dan berbicara pada forum regional di Bali. Pertemuan yang mendapat perhatian sangat tinggi dari tokoh-tokoh ekonomi daerah coral di Asia itu membahas gagasan ekonomi biru yang tidak lain merupakan penghargaan ciptaan Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa.

Bahwa, segala sesuatu yang ada di muka bumi ini kehidupannya diatur oleh alam menurut sistematika yang diciptakan-Nya menjadi anugerah bagi umat manusia untuk disyukuri dan dinikmati dengan pemanfaatan dan pemeliharaan yang penuh kasih sayang. Di Indonesia, gerakan ekonomi biru sesungguhnya telah dirumuskan dalam pasal 33 UUD 45 dan dilaksanakan oleh rakyat Indonesia dalam kerangka ekonomi kerakyatan atau disebut juga sebagai Ekonomi Pancasila.

Dalam kesempatan pertemuan di Bali, dengan gamblang Prof Gunter Pauli menjelaskan pengalamannya mengembangkan ekonomi biru yang digelutinya selama lebih dari sepuluh tahun dengan mengikuti keajaiban alam, siklus yang berlangsung tanpa sisa karena sisa suatu proses pengembangan alam yang berkelanjutan. Rumput dan dedaunan yang dimakan sapi misalnya, menghasilkan daging dan kotoran. Kotoran berubah menjadi gas atau bahan bakar. Sisa kotoran bahan bakar bisa menjadi pupuk. Pupuk kemudian menyuburkan tanaman, suatu proses alamiah yang tidak ada akhirnya dan tanpa meninggalkan sisa sama sekali.

Proses alamiah seperti inilah yang kemudian dirangkum dalam bukunya, Blue Economy, dengan menampilkan 100 inovasi yang menghasilkan 100 juta kesempatan kerja. Suatu paradigma ekonomi yang secara nyata memanfaatkan bahan baku dan kearifan lokal, suatu proses yang memberi kesempatan kerja baru kepada hampir siapa saja karena ketersediaan bahan baku itu ada di semua daerah, di darat dan lebih-lebih di lautan luas yang kaya dan selama ini belum banyak dijamah manusia.

Dalam kondisi yang riel gagasan ekonomi biru sebenarnya banyak dipraktikkan sebagai ekonomi kerakyatan di Indonesia dan memungkinkan semua pihak secara sederhana mengolah bahan produksi lokal dengan teknologi sederhana untuk meraih keuntungan yang melimpah. Di beberapa daerah, dalam garapan posdaya, telah dimulai dengan pengembangan kolam ikan dan sekaligus di daerah yang biasa menangkap ikan dari laut, suatu proses petik, olah, jual yang menguntungkan dipraktekkan.

Kolam-kolam ikan yang biasa memetik ikan hasil budidayanya dan langsung dijual, dengan pelatihan sederhana dan penggunaan alat tehnologi sederhana, rakyat mengolah ikan itu menjadi abon ikan, nuget dan keripik ikan, yang mempunyai daya tahan lebih lama dan menghasilkan harga jual yang lebih tinggi. Ikan tidak menjadi busuk dalam satu hari tetapi bertahan lama dan mempunyai nilai jual yang tinggi. Sistem ekonomi biru itu tidak meninggalkan sisa tetapi justru membawa keuntungan yang lebih tinggi.

Perikanan darat nasibnya sama saja. Peternak lele yang biasanya menjual lelenya untuk digoreng atau disayur, dewasa ini, melalui pelatihan dan dengan peralatan sederhana, bisa diolah menjadi sate lele, abon lele, keripik lele, dan jenis produk berbahan baku lele yang enak rasanya. Sisa daging lelenya berupa duri dan lainnya masih bisa digerus untuk campuran makanan lele yang ternyata disukai sesama lele atau jenis ikan lain. Suatu proses sederhana yang memperkaya penggunaan ikan lele dan sekaligus tidak meninggalkan sisa.

Di daerah lain dalam bidang pertanian. Biasanya mereka yang mempunyai tanaman sukun hanya mempergunakan sukunnya untuk sayur, dan karena itu sebuah buah sukun harus habis dimasak sekali petik. Dalam rangka gagasan ekonomi biru, sebuah sukun bukan harus dimasak dan sisanya terbuang, tetapi buah sukun itu dipotong potong menjadi sukun stick seperti potato stick dalam bentuk batangan dan digoreng enak. Karena buah sukun bulat, maka selalu menyisakan potongan yang tidak cukup panjang seperti potato stick. Untuk sisa ini, dalam prinsip ekonomi biru, petani dan pengolah sederhana dapat melumasnya menjadi serbuk yang kemudian diolah menjadi kue semprong yang rasanya jauh lebih enak dibanding kue semprong yang bahan bakunya gandum yang harus diimpor. Suatu proses pembuatan bahan baku pertanian yang tidak meninggalkan sisa dan bahan bakunya bisa ditanam dengan mudah di tanah air ini.

Banyak hal yang dalam prinsip ekonomi biru sedang dikembangkan dan akan menjadi olahan Universitas Trilogi yang diresmikan minggu lalu. Garapan ini, dalam kerjasama dengan posdaya di desa-desa di seluruh Indonesia, diharapkan akan berdampak pengembangan ekonomi biru yang memungkinkan rakyat biasa dalam wadah silaturahmi posdaya di pedesaan, akan mampu menggalang kerjasama yang erat untuk mengembangkan inovasi yang dengan mudah dilaksanakan. Para pakar yang dianggap pro rakyat diharapkan mengolah inovasi sederhana tetapi mudah dilaksanakan dan membawa berkah kepada kalangan rakyat luas sekaligus mendorong perubahan dan pengembangan yang memungkinkan rakyat merubah sampah menjadi berkah, Merubah loyang menjadi emas dengan merangsang inovasi dan technologi tepat guna yang terjangkau rakyat banyak.

Menurut prinsip ini, proses pengentasan kemiskinan bukan hanya dengan memberi beras murah, uang kontan sebagai dewa penolong, pendidikan dan kesehatan gratist Tetapi, jaminan akses terhadap inovasi dan teknologi serta modal kerja yang menjamin keluarga miskin untuk bekerja lebih cerdas dan keras dan menguntungkan karena pasar yang luas bagi produk sesama anak bangsanya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar