Minggu lalu pencetus dan
penggagas ekonomi biru Prof Dr Gunter Pauli, diundang oleh Menteri
Kelautan dan Perikanan Dr Sharif Cicip Sutardjo berkunjung dan berbicara
pada forum regional di Bali. Pertemuan yang mendapat perhatian sangat
tinggi dari tokoh-tokoh ekonomi daerah coral di Asia itu membahas gagasan
ekonomi biru yang tidak lain merupakan penghargaan ciptaan Allah, Tuhan
Yang Maha Kuasa.
Bahwa, segala sesuatu yang
ada di muka bumi ini kehidupannya diatur oleh alam menurut sistematika
yang diciptakan-Nya menjadi anugerah bagi umat manusia untuk disyukuri
dan dinikmati dengan pemanfaatan dan pemeliharaan yang penuh kasih
sayang. Di Indonesia, gerakan ekonomi biru sesungguhnya telah dirumuskan
dalam pasal 33 UUD 45 dan dilaksanakan oleh rakyat Indonesia dalam
kerangka ekonomi kerakyatan atau disebut juga sebagai Ekonomi Pancasila.
Dalam kesempatan pertemuan
di Bali, dengan gamblang Prof Gunter Pauli menjelaskan pengalamannya
mengembangkan ekonomi biru yang digelutinya selama lebih dari sepuluh
tahun dengan mengikuti keajaiban alam, siklus yang berlangsung tanpa sisa
karena sisa suatu proses pengembangan alam yang berkelanjutan. Rumput dan
dedaunan yang dimakan sapi misalnya, menghasilkan daging dan kotoran.
Kotoran berubah menjadi gas atau bahan bakar. Sisa kotoran bahan bakar
bisa menjadi pupuk. Pupuk kemudian menyuburkan tanaman, suatu proses
alamiah yang tidak ada akhirnya dan tanpa meninggalkan sisa sama sekali.
Proses alamiah seperti
inilah yang kemudian dirangkum dalam bukunya, Blue Economy, dengan
menampilkan 100 inovasi yang menghasilkan 100 juta kesempatan kerja.
Suatu paradigma ekonomi yang secara nyata memanfaatkan bahan baku dan
kearifan lokal, suatu proses yang memberi kesempatan kerja baru kepada
hampir siapa saja karena ketersediaan bahan baku itu ada di semua daerah,
di darat dan lebih-lebih di lautan luas yang kaya dan selama ini belum
banyak dijamah manusia.
Dalam kondisi yang riel
gagasan ekonomi biru sebenarnya banyak dipraktikkan sebagai ekonomi
kerakyatan di Indonesia dan memungkinkan semua pihak secara sederhana
mengolah bahan produksi lokal dengan teknologi sederhana untuk meraih
keuntungan yang melimpah. Di beberapa daerah, dalam garapan posdaya,
telah dimulai dengan pengembangan kolam ikan dan sekaligus di daerah yang
biasa menangkap ikan dari laut, suatu proses petik, olah, jual yang
menguntungkan dipraktekkan.
Kolam-kolam ikan yang biasa
memetik ikan hasil budidayanya dan langsung dijual, dengan pelatihan
sederhana dan penggunaan alat tehnologi sederhana, rakyat mengolah ikan
itu menjadi abon ikan, nuget dan keripik ikan, yang mempunyai daya tahan
lebih lama dan menghasilkan harga jual yang lebih tinggi. Ikan tidak
menjadi busuk dalam satu hari tetapi bertahan lama dan mempunyai nilai
jual yang tinggi. Sistem ekonomi biru itu tidak meninggalkan sisa tetapi
justru membawa keuntungan yang lebih tinggi.
Perikanan darat nasibnya
sama saja. Peternak lele yang biasanya menjual lelenya untuk digoreng
atau disayur, dewasa ini, melalui pelatihan dan dengan peralatan
sederhana, bisa diolah menjadi sate lele, abon lele, keripik lele, dan
jenis produk berbahan baku lele yang enak rasanya. Sisa daging lelenya
berupa duri dan lainnya masih bisa digerus untuk campuran makanan lele
yang ternyata disukai sesama lele atau jenis ikan lain. Suatu proses
sederhana yang memperkaya penggunaan ikan lele dan sekaligus tidak
meninggalkan sisa.
Di daerah lain dalam bidang
pertanian. Biasanya mereka yang mempunyai tanaman sukun hanya
mempergunakan sukunnya untuk sayur, dan karena itu sebuah buah sukun
harus habis dimasak sekali petik. Dalam rangka gagasan ekonomi biru,
sebuah sukun bukan harus dimasak dan sisanya terbuang, tetapi buah sukun
itu dipotong potong menjadi sukun stick seperti potato stick dalam bentuk
batangan dan digoreng enak. Karena buah sukun bulat, maka selalu
menyisakan potongan yang tidak cukup panjang seperti potato stick. Untuk
sisa ini, dalam prinsip ekonomi biru, petani dan pengolah sederhana dapat
melumasnya menjadi serbuk yang kemudian diolah menjadi kue semprong yang
rasanya jauh lebih enak dibanding kue semprong yang bahan bakunya gandum
yang harus diimpor. Suatu proses pembuatan bahan baku pertanian yang
tidak meninggalkan sisa dan bahan bakunya bisa ditanam dengan mudah di
tanah air ini.
Banyak hal yang dalam
prinsip ekonomi biru sedang dikembangkan dan akan menjadi olahan
Universitas Trilogi yang diresmikan minggu lalu. Garapan ini, dalam
kerjasama dengan posdaya di desa-desa di seluruh Indonesia, diharapkan
akan berdampak pengembangan ekonomi biru yang memungkinkan rakyat biasa
dalam wadah silaturahmi posdaya di pedesaan, akan mampu menggalang
kerjasama yang erat untuk mengembangkan inovasi yang dengan mudah
dilaksanakan. Para pakar yang dianggap pro rakyat diharapkan mengolah
inovasi sederhana tetapi mudah dilaksanakan dan membawa berkah kepada
kalangan rakyat luas sekaligus mendorong perubahan dan pengembangan yang
memungkinkan rakyat merubah sampah menjadi berkah, Merubah loyang menjadi
emas dengan merangsang inovasi dan technologi tepat guna yang terjangkau
rakyat banyak.
Menurut
prinsip ini, proses pengentasan kemiskinan bukan hanya dengan memberi
beras murah, uang kontan sebagai dewa penolong, pendidikan dan kesehatan
gratist Tetapi, jaminan akses terhadap inovasi dan teknologi serta modal
kerja yang menjamin keluarga miskin untuk bekerja lebih cerdas dan keras
dan menguntungkan karena pasar yang luas bagi produk sesama anak
bangsanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar