Kamis, 25 April 2013

Quo Vadis Ujian Nasional?


Quo Vadis Ujian Nasional?
Hafid Abbas ; Guru Besar Universitas Negeri Jakarta
KOMPAS, 24 April 2013

  
Dalam beberapa tahun terakhir, penyelenggaraan ujian nasional selalu diwarnai persoalan, mulai dari kebocoran soal dan kunci jawaban, contek massal, hingga penundaan pelaksanaannya di sepertiga wilayah Tanah Air.

Atas realitas ini, Wakil Presiden Boediono meminta pelaksanaan UN dievaluasi kembali untuk melihat baik buruknya bagi pendidikan di Indonesia. Bahkan, Wapres lebih lanjut menekankan, Indonesia perlu mencari ide-ide baru, cara-cara baru, contoh-contoh baru, dan belajar dari negara-negara lain yang sudah lebih maju (RRI, 20/4/2013).

Beberapa Catatan

Sebagai refleksi atas harapan Wapres, betikut ini beberapa catatan penyelenggaraan UN. Pertama, jika UN dimaksudkan untuk menilai hasil belajar siswa terhadap apa yang telah dipelajari dan hasilnya akan dijadikan dasar untuk penentuan kelulusan, kelihatannya UN sudah tak relevan lagi dilaksanakan. Alasannya, sejak Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II pada era Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, tingkat kelulusan UN di jenjang SD, SLTP, dan SLTA, baik umum maupun kejuruan, selalu mencapai atau di kisaran 100 persen. Jika sudah jadi tradisi kelulusan seperti itu, tak tepat lagi digunakan dasar penentuan kelulusan.

Sebagai ilustrasi, tingkat kelulusan siswa SD di Jayapura pada 2012 mencapai 100 persen dan SLTP 99,57 persen atau lebih tinggi dibandingkan Yogyakarta yang 99,28 di jenjang SLTP. Jika semuanya sudah pasti lulus, buat apa lagi UN digunakan untuk menentukan kelulusan. Lalu, bagaimana mungkin prestasi Papua lebih tinggi dari Yogyakarta.

Hal ini berbeda dengan masa KIB I 2004-2009, Wapres Jusuf Kalla dengan gigih melaksanakan pengendalian mutu pendidikan dengan pemberlakuan standar UN. Tak ada toleransi kelulusan bagi mereka yang tak melewati standar minimum dari sejumlah mata pelajaran yang diujikan. Alasan Kalla ketika itu sangat sederhana. Jika sekolah selalu meluluskan siswanya 100 persen, siswa merasa tak perlu belajar, guru tak termotivasi mengajar sungguh-sungguh, orangtua tak merasa perlu ikut bertanggung jawab atas mutu pendidikan, dan sebagainya.

Cara ini menurutnya adalah mekanisme peningkatan mutu pendidikan yang paling murah dan paling mudah dilaksanakan. Dengan begitu, pendidikan kita jadi tanggung jawab semua pihak; siswa, masyarakat, dan pemerintah menuju pencapaian mutu pendidikan lebih tinggi.

Kedua, jika UN dimaksudkan sebagai bagian untuk memetakan standar mutu pendidikan sebagaimana diamanatkan Pasal 35 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, kelihatannya sudah tak relevan dipertahankan. Pada 21 Maret 2011, Mendikbud Mohammad Nuh dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR melaporkan, 88,8 persen sekolah di Indonesia, mulai dari SD hingga SMA/SMK, belum melewati mutu standar pelayanan minimal. 

Berdasarkan data yang ada, 40,31 persen dari 201.557 sekolah di bawah standar pelayanan minimal dan 48,89 persen pada posisi standar pelayanan minimal. Hanya 10,15 persen memenuhi standar nasional pendidikan dan 0,65 persen rintisan sekolah bertaraf internasional (Kompas, 23/3/2011).

Jika digunakan logika sederhana, dengan data itu, semestinya hanya sekitar 11 persen siswa yang dapat lulus 100 persen atau di kisaran 100 persen, 49 persen kelulusan di kisaran 55 persen, dan 40 persen lain di bawah batas kelulusan. Jika suatu sekolah berada jauh di bawah standar minimal, misalnya tak punya guru yang memenuhi kualifikasi, tak punya perpustakaan, proses belajar-mengajarnya belum berjalan normal, lalu tiba-tiba siswanya lulus 100 persen, dapat diduga pasti terjadi penyimpangan. Dengan kelulusan di kisaran 100 persen secara nasional dari penyelenggaraan UN, tak dapat lagi dibedakan antara sekolah yang belum memenuhi standar layanan minimal dengan sekolah yang bertaraf internasional. Semua sama-sama berprestasi pada capaian kelulusan sama. Akibatnya, hasil UN tidak dapat lagi digunakan untuk membedakan mana sekolah yang berada di strata bawah yang perlu dibina dan mana yang tidak.

Ketiga, jika UN hendak dijadikan dasar untuk menumbuhkan sikap jujur, akhlak mulia, budi pekerti luhur, dan karakter bangsa yang tangguh sebagaimana tujuan pendidikan nasional, kelihatannya tak relevan lagi dipertahankan. Jika pada diri anak muncul sportivitas bahwa ia belum bisa berbahasa Inggris dengan baik, lalu ia lulus dengan angka tinggi, sesungguhnya ada pembelajaran secara tak langsung pada anak itu bahwa di Indonesia semua bisa diatur. Mungkin tak disadari, proses pendidikan seperti inilah yang akan menjauhkan anak dari kejujuran, kerja keras, dan kemandirian, serta merapuhkan sendi-sendi peradaban bangsa masa depan.

Jalan Keluar

Memperhatikan harapan Boediono untuk mencari jalan keluar atas kompleksitas penyelenggaraan UN yang biayanya melewati setengah triliun rupiah, hal-hal berikut perlu dilakukan. Pertama, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) perlu dipertanyakan eksistensinya. Jika dikaji, amanah yang terkandung pada Pasal 35 UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, institusi yang paling bertanggung jawab atas segala hal terkait penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan nasional adalah BSNP. Namun, di sisi lain, tanggung jawab itu sulit diwujudkan karena BSNP sebagai satu-satunya institusi yang dapat mandat UU untuk melakukan standardisasi, penjaminan dan pengendalian mutu dengan mengembangkan, memantau, dan melaporkan pencapaiannya belum berjalan.

Keberadaan BSNP saat ini amat berbeda dan menyimpang dari tuntutan UU. Di sejumlah negara lain, kendali mutu pendidikan nasional sangat bergantung pada kemandirian dan profesionalisme badan standardisasi atau lembaga pengujiannya. Lembaga ini di Malaysia bernama Lembaga Peperiksaan Malaysia (Malaysian Examinations Syndicate/MES), di Inggris disebut Cambridge Local Examinations Syndicate atau Oxford Delegacy of Local Examinations, di Hongkong disebut Hong Kong Examinations and Assessment Authority, di Selandia Baru bernama New Zealand Qualifications Authority.

Lembaga-lembaga ini benar-benar mandiri, menghimpun para ahli dan praktisi dari semua bidang keilmuan dan bidang studi di semua jenjang, jenis, dan jalur pendidikan untuk menyiapkan naskah ujian, menentukan standar, mengolah semua proses pelaksanaan ujian, dan memberikan pengakuan. BSNP kelihatannya lebih mirip Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional di era Orde Baru dan sama sekali tak punya kemampuan teknis menangani UN secara mandiri. Jika yang melaksanakan fungsi penyiapan dan pelaksanaan UN adalah Pusat Pengujian Balitbang, mengapa institusi ini tak disiapkan sebagai institusi profesional yang mandiri. BSNP, jika masih diperlukan, dapat berperan sebagai think tank Kemdikbud.

Kedua, sesuai harapan Boediono, agar tidak ada anak didik kita yang tertinggal, kelihatannya pemerintah dapat mempelajari bagaimana AS memberlakukan The No Child Left Behind Act (2001) semasa Presiden Bush yang dilanjutkan oleh Presiden Obama untuk meningkatkan standar mutu pendidikan dasar dan menengah secara merata di seluruh negara bagian. Kebijakan ini sesungguhnya adalah penyempurnaan dari UU Pendidikan Dasar dan Menengah 1965 semasa Presiden Lyndon Johnson. Melalui kebijakan tersebut dapat dipetik berbagai cara meningkatkan standar mutu pendidikan dan memperkecil kesenjangan mutu antarsekolah, mengembangkan sistem pengujian, peningkatan kompetensi guru, kebijakan subsidi, dan sebagainya.

Kebijakan itu sesungguhnya adalah kerangka sistemik yang akan mempersiapkan anak-anaknya mendapatkan pendidikan terbaik sesuai dengan tantangan abad ke-21. Pendekatan sistemik seperti itu sungguh diperlukan di negeri tercinta ini. Akhirnya, semoga berbagai musibah pengelolaan pendidikan nasional kita akan menjadi pelajaran berharga bagi kebesaran masa depan kita bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar