Vonis Tipikor
dan Advokat Hitam
Agus Nurudin ; Advokat
di Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 13 Oktober 2012
"Patut
dipertanyakan jika banyak putusan pengadilan membebaskan terdakwa yang diduga
kuat korupsi"
KHAZANAH ilmu hukum tidak mengenal istilah
advokat hitam, demikian juga Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat. Yang ada, istilah advokat sebagai profesi terhormat dan mulia (officium nobile). Dalam
perkembangannya, ketika makin banyak orang sadar hukum, sebagian orang justru
salah kaprah memandang profesi advokat, bahkan menuding mereka yang membela
terdakwa korupsi sebagai advokat hitam.
Sejatinya tidak pernah ada advokat membela
koruptor. Hal itu mendasarkan fakta bahwa setelah seseorang dinyatakan
bersalah melakukan korupsi oleh pengadilan barulah dia bisa dan boleh disebut
koruptor. Hanya melalui putusan pengadilanlah seseorang bisa dan boleh disebut
koruptor setelah terbukti secara meyakinkan melakukan korupsi.
Sebelum ada keputusan itu, advokat
mendampingi dan membela kepentingan terdakwa kasus korupsi, terkait kesamaan
hak dan kewajibannya dengan orang lain di muka hukum (equality before the law). Yang terpenting lagi adalah agar
pengadilan proporsional menjatuhkan putusan kepada seorang terdakwa.
Kenyataannya, ketika ada advokat
mendampingi dan membela kepentingan klien yang didakwa korupsi maka ada
sebagian masyarakat, bahkan kalangan kaum intelektual tertentu, menyebutnya
sebagai advokat hitam. Ketika seseorang didakwa korupsi dan ternyata putusan
pengadilan menyatakan dia tidak bersalah, kondisi itu merupakan salah satu
bagian dari putusan pengadilan.
Kita perlu memahami putusan pengadilan hanya
dua: bersalah atau tidak bersalah. Tak ada putusan pengadil yang bersifat
seri (draw), seperti halnya
pertandingan olahraga. Patut dipertanyakan jika putusan pengadilan kebanyakan
menghukum seseorang karena diduga korupsi, agar tidak diartikan bahwa pengadilan
adalah lembaga yang menjustifikasi dipenjaranya seseorang.
Ada asas hukum menyebutkan res iudicata pro
veritate habetur, yakni ''sesuatu'' diajukan ke pengadilan supaya mendapat
kebenaran''. Juga patut dipertanyakan jika banyak putusan pengadilan
membebaskan terdakwa yang diduga kuat korupsi. Seyogianya antara putusan
bersalah dan tidak bersalah, seimbang meskipun tak persis sama seperti
persentase 50:50.
Jadi, pengadilan tipikor tetap harus
proporsional dan profesional menjalankan tugas. Proporsional berarti dalam
menjatuhkan putusan tidak mendasarkan pada kecenderungan-kecenderungan
tertentu, baik pengaruh kekuasaan maupun uang. Adapun profesional
berarti sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku, tanpa tendensi
tertentu.
Jika banyak orang yang diduga kuat korupsi
kemudian dinyatakan bebas oleh putusan pengadilan maka tidak serta-merta hal
itu karena advokat melakukan segala cara agar kliennya memenangi persidangan.
Bentuk
Kekecewaan
Penyebutan advokat hitam merupakan salah
satu bentuk kekecewaan kalangan tertentu yang tidak puas atas warna-warni
putusan pengadilan, khususnya pengadilan tipikor, terhadap berbagai kasus
korupsi di Indonesia.
Jika banyak putusan pengadilan tipikor
membebaskan terdakwa korupsi maka banyak aspek yang harus dicermati, antara
lain bukti-bukti yang kuat dan meyakinkan dalam persidangan tentang adanya
perbuatan tindak pidana korupsi, sudahkah tepat pasal-pasal yang digunakan
jaksa KPK untuk menjerat terdakwa.
Aspek lain yang juga harus dicermati adalah
fakta-fakta hukum dalam persidangan, dan yang tidak kalah penting adalah
keyakinan hakim tipikor akan adanya tindak pidana yang nyata-nyata merugikan
keuangan negara.
Masyarakat seyogianya memahami asas yang
menyebutkan quod non est in actis, non est in mundo, yaitu ''apa yang tidak
ada dalam laporan berarti juga tidak ada di dunia''. Pemaknaannya adalah
hakim hanya memperhatikan berkas-berkas perkara, adapun masalah-masalah lain
di luar itu tidak menjadi perhatiannya. Konsekuensi logisnya, ketika ada
kekeliruan dalam pemberkasan perkara korupsi maka hal itu bisa berdampak pada
putusan yang menguntungkan terdakwa.
Advokat sungguh-sungguh mencermati faktor
tersebut, apakah telah sesuai dengan prosedur hukum, hukum acara pidana, atau
belum. Ketika ada indikasi kesalahan prosedur dalam beracara, pasti advokat
berusaha supaya tidak merugikan kliennya yang diduga korupsi. Bagaimanapun,
advokat mempunyai standar penilaian, keyakinan, dan harapan tersendiri ketika
mendampingi kliennya dalam persidangan.
Meskipun demikian, ada kemungkinan advokat
menjalankan profesi keluar dari pakem, menghalalkan segala cara dalam rangka
memenangkan kliennya. Namun hal itu tidak berdiri sendiri, artinya terkait
dengan penegak hukum lain, terutama hakim, jaksa, dan polisi. Tindakan
advokat seperti itu tak bisa dibenarkan, dan mungkin masyarakat menyebutnya
advokat hitam. Sebenarnya istilah itu keliru, lebih tepat advokat yang
menghitamkan profesi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar