Peraturan
Penelitian
Terry Mart ; Dosen Fisika FMIPA Universitas
Indonesia
|
KOMPAS,
29 Oktober 2012
Beberapa waktu lalu
departemen kami kedatangan tamu seorang profesor fisika muda dengan prestasi
penelitian yang cemerlang dari National University of Singapore.
Tentu
saja yang menarik bukan melulu karena dia seorang profesor di NUS, singkatan
universitas nasional di Singapura itu, melainkan karena dia seorang warga
negara Indonesia. Ia menamatkan sarjana di salah satu perguruan tinggi di
republik ini.
Dengan
sederet publikasi ilmiah di jurnal papan atas berfaktor dampak sangat tinggi
seperti Nature, Science, Applied Physics Letters, dan Physical Review Letters
serta dana dan fasilitas penelitian yang tak terbayangkan untuk peneliti
Indonesia, tentu saja anak muda ini tidak dapat dipandang enteng di komunitas
ilmiahnya. Didorong rasa ingin tahu tentang sepak terjangnya di komunitas
ilmiah, saya segera meramban laman tempat yang bersangkutan bekerja.
Saya
terkesima, di grup penelitiannya bercokol dua profesor warga negara kita,
lulusan perguruan tinggi Tanah Air, dengan segudang prestasi ilmiah seperti
publikasi dan paten internasional. Saya sangat yakin, NUS bukan hanya
menyimpan dua ilmuwan seperti ini. Masih banyak yang lain yang jarang
terliput. Dengan prestasi yang mereka miliki, mereka bersafari ke Tanah Air
mencari calon-calon mahasiswa pascasarjana cemerlang untuk diajak bergabung
dengan grup mereka.
Jelas
hal ini menjadi pertanyaan besar, mengapa anak bangsa bisa begitu cemerlang
di luar negeri. Sedikit saja keluar dari peta Indonesia, prestasi dapat
meningkat luar biasa. Pasti ada yang salah dengan sistem kita karena kita
jelas menyimpan segudang generasi muda genius, yang dibuktikan dengan
perolehan medali emas di ajang-ajang olimpiade nasional hingga internasional,
baik sains maupun sosial.
Memang
jumlah dana penelitian yang diinvestasikan pemerintah masih jauh dari cukup.
Namun, jika dibandingkan dengan 10 tahun silam, peningkatan prestasi
penelitian kita tidak seimbang dengan peningkatan dana yang terjadi. Tidak
diragukan lagi, sistem yang berlaku telah memberikan andil penting pada
permasalahan ini, apalagi jika dikaitkan dengan merosotnya prestasi ilmuwan
kita dibandingkan dengan tetangga.
Sebenarnya,
permasalahan penelitian di Tanah Air sudah cukup jelas meski sangat rumit
karena terkait dengan sistem dan budaya, seperti kepangkatan dan jabatan,
kegilaan akan gelar, hingga uang. Solusi yang paling ideal tentu saja
”reformasi”. Namun, jelas hal ini sulit dilakukan. Resistensinya mahadahsyat
karena menyangkut hajat hidup banyak individu. Contoh paling sepele adalah
kesadaran pentingnya publikasi internasional.
Publikasi
internasional sebenarnya untuk menjaga kualitas penelitian agar hasil
penelitian bermakna secara universal. Karena produktivitas penelitian
berkaitan langsung dengan karier si peneliti, publikasi ini membuat peneliti
tetap diakui sejawatnya secara global.
Selain
itu, publikasi internasional juga sangat diperlukan masyarakat global karena
melalui cara ini para peneliti bergotong royong menyelesaikan permasalahan
sehingga hasilnya dapat lebih cepat dinikmati masyarakat. Namun, yang tidak
kalah penting adalah publikasi internasional merupakan bentuk
pertanggungjawaban ilmiah atas dana yang telah dipakai, yang jauh lebih
berarti dari sekadar laporan keuangan karena hanya sejawat sebidang yang
dapat memeriksa keabsahan hasil penelitian.
Kedua
anak muda di NUS itu paham betul bahwa mereka tidak dapat mempertahankan
karier jika tidak memiliki publikasi di Nature atau Science. Di republik ini,
publikasi internasional malah sering dibenturkan dengan keperluan praktis
sesaat atau dengan kondisi penelitian yang kurang kondusif saat ini.
Lebih
tragis lagi, kewajiban publikasi internasional bagi calon doktor yang sudah
sangat lazim saat ini, baik di negara maju maupun jiran, mendapat tentangan
hebat di sini. Hal ini sangat menyedihkan karena selain sangat tidak tepat,
pembenturan ini mencerminkan ketidakpahaman akan hakikat penelitian.
Jika
reformasi terasa mustahil dilakukan, mungkin pemerintah dapat mengawal
kemajuan penelitian melalui peraturan penyelenggaraan penelitian (PPP) di
perguruan tinggi. Karena PPP harus dapat memagari kualitas peneliti dan hasil
penelitian melalui publikasi dan paten internasional, dalam pembuatannya kita
harus belajar dari negara berkembang yang berhasil dalam hal ini. Sebutlah
Singapura, Malaysia, atau Afrika Selatan. Untuk meningkatkan sinergi dan
efisiensi, perlu pembagian porsi yang jelas antara perguruan tinggi dan lembaga
penelitian (kementerian).
Seyogianya
PPP mendorong semua perguruan tinggi mengalokasikan sejumlah dana untuk
tujuan penelitian. Untuk perguruan tinggi riset, alokasi dana penelitian 10
persen dari dana operasional bukanlah hal yang tidak masuk akal, bahkan dapat
dikatakan minimal. Perguruan tinggi juga dapat menugaskan sejumlah pengajar
yang berprestasi untuk fokus dalam penelitian, seperti yang dilakukan
Universitas Indonesia dalam empat tahun terakhir.
Sejalan
dengan itu, pemerintah harus pula melakukan peningkatan investasi penelitian
melalui pembangunan infrastruktur penelitian secara berkala serta pemberian
insentif penelitian. Kita tahu, investasi penelitian di negara kita kalah
jauh dibandingkan dengan negara jiran. Maka, PPP harus dapat mendorong tercapainya
critical mass di tiap komunitas penelitian. Pada akhirnya, PPP harus berhasil
mengangkat peradaban bangsa ini melalui penelitian, sesuai dengan amanat UUD
1945. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar