Kamis, 25 Oktober 2012

Konsep dan Implementasi Haji Mabrur

Konsep dan Implementasi Haji Mabrur
Amirul Ulum ; Esais dan Ketua Website PP Al Anwar Sarang Rembang, Jateng
SUARA KARYA, 25 Oktober 2012


Menjadi haji yang mabrur merupakan cita-cita dari kebanyakan orang Islam yang telah menjalankan ritual ibadah haji. Kalau tidak mabrur, maka hajinya akan berdampak sia-sia. Buahnya hanya diunduh di dunia, seperti sanjungan dengan sebutan 'pak haji' dan 'bu hajah'. Sedangkan di akhirat, dia tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali penyesalan.
Orang yang sudah berhaji itu mempunyai daya magis tersendiri dibandingkan dengan yang belum haji. Rukun Islam yang lima sudah dijalankan dengan sempurna. Seolah-olah kebaikan sudah dimilikinya secara sempurna. Namun, sebagian dari mereka ada yang lupa atau memang tidak mengetahui tujuan awal mengerjakan ibadah haji yang tidak lain adalah kemabruran. Hal ini disebabkan salahnya niat ketika hendak berangkat. Niat adalah pangkal dari ibadah.
Jika niatnya salah, bukan karena Allah, maka akan berdampak negatif. Tujuan mereka hanya berkeinginan mendapat prestise 'haji' yang dijadikan sebagai alat memperkuat status sosialnya, khususnya untuk mendapatkan legitimasi sosial dari masyarakat. Mereka tersihir dengan perdikat haji sehingga menjadikan dirinya sombong kepada yang belum haji. Songkok putih yang seharusnya menjadi simbol putihnya akhlak telah dikotori dengan sifat-sifat tercela.
Tidak lain karena ingin menyempurnakan sesuatu yang prinsipil terhadap keberislaman kita, sehingga kita termasuk orang-orang yang dekat kepada-Nya. Jadi, apa artinya haji yang akan kita tunaikan, jika ternyata bukan mendekatkan diri kita kepada Allah. Setiap ibadah yang kita tunaikan dengan tujuan selain mencari rida Allah, tidak akan bernilai di sisi Allah SWT, dengan kata lain ibadah hajinya akan ditolak.
Mabrur (bahasa Arab) yang berasal dari kata barra-yaburru-barran mempunyai arti taat berbakti. Dalam kamus Al Munawwir Arab-Indonesia karya Ahmad Warson Munawwir dijelaskan kata-kata albirru artinya ketaatan, kesalehan atau kebaikan. Sedangkan mabrur sendiri artinya haji yang diterima pahalanya oleh Allah SWT. Berkaitan dengan hal itu Nabi Muhammad SAW bersabda, "Haji yang mabrur tiada balasan kecuali surga." (HR Bukhari dan Muslim)
Ibadah haji dinilai mabrur, apabila memiliki beberapa kriteria sebagai berikut:
Pertama, motivasi dan niat ibadah tersebut ikhlas semata-mata mengharap rida Allah SWT.
Kedua, proses pelaksanaannya sesuai dengan manasik yang telah dicontohkan Rasulullah SAW, yakni syarat, rukun, wajib bahkan sunah ibadah tersebut terpenuhi.
Ketiga, biaya yang digunakan untuk ibadah haji, biaya perjalanan maupun biaya untuk keperluan keluarga yang ditinggalkan diperoleh dengan cara yang halal.
Keempat, dampak dari ibadah haji tersebut adalah positif bagi pelakunya, yaitu adanya perubahan kualitas perilaku ke arah yang lebih baik dan lebih terpuji.
Haji mabrur juga dapat dicapai oleh orang yang melaksanakannya sesuai dengan syarat, wajib dan rukunnya dan saat melaksanakannya dia tidak melakukan rafats, fusuq, dan jidal. Rafats bukan sekadar hubungan seksual tapi termasuk bicara yang porno, matanya juga harus dijaga. Fusuq adalah perbuatan fasik yang maksiat, misalnya, membicarakan kejelekan orang lain atau mengadu domba. Sementara jidal artinya berkelahi. Pokoknya selama di Tanah Suci, mereka bisa menahan hawa nafsu untuk tidak menimbulkan amarah orang sehingga dia harus banyak menerima sabar. Haji yang mabrur adalah haji yang diterima oleh Allah SWT dan lawannya adalah haji mardud (tertolak).
Banyak ulama menyatakan, ciri-ciri haji mabrur yang paling utama adalah berubahnya perilaku menjadi lebih baik setelah berhaji. Meningkat semangat belajarnya, meningkat usahanya untuk keluarga juga meningkat semangat pengajiannya. Hubungan dengan keluarganya, membina anak-anaknya untuk beribadah semakin meningkat setelah pulang dari ibadah haji.
Haji mabrur juga mempunyai daya refleksi aktif berkiprah dalam memperjuangkan, mendakwahkan Islam dan istiqamah serta sungguh-sungguh dalam melaksanakan amar makruf dengan cara yang makruf, melaksanakan nahi mungkar tidak dengan cara yang mungkar. Sifat dan sikapnya berubah menjadi terpuji.
Orang yang bergelar haji mabrur akan malu kepada Allah SWT untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang-Nya. Ia terlihat semangat dan sungguh-sungguh dalam menambah dan mengembangkan ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu Islam. Orang yang hajinya mabrur akan cepat melakukan tobat apabila telanjur melakukan kesalahan dan dosa, tidak membiasakan diri proaktif dengan perbuatan dosa, tidak mempertontonkan dosa, dan tidak betah dalam setiap aktivitas yang berbau berdosa.
Menggapai haji mabrur sangatlah sulit, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Siapa sangka, dari setiap 600.000 jiwa yang berangkat ke Tanah Suci, hanya 6 orang yang meraih haji mabrur. Begitulah riwayat yang tertera dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazali. Bahkan, siapa sangka pula, ada yang meraih haji mabrur, padahal yang bersangkutan sama sekali tidak ke sana, gagal berangkat lantaran menyerahkan ongkos hajinya untuk memberi makan orang miskin. Sebagaimana kisah Abdullah Ibn al-Mubarak dalam riwayat yang lain.
Cerita atau kisah itu entah kapan kejadiannya. Tapi terlepas benar tidaknya kisah tersebut, Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa tekad dan niat dapat menjadi sebab diraihnya kebaikan yang sempurna, meskipun perbuatan itu sendiri belum dilakukan. "Maka siapa saja yang bertekad untuk melakukan kebaikan sementara ia belum sempat untuk mewujudkannya, Allah SWT telah menuliskannya sebagai sebuah kebajikan yang sempurna (sama seperti telah melaksanakannya)."


Tidak ada komentar:

Posting Komentar