Kesejahteraan
Semu
M Izzul Haq ; Dosen
Prodi Ilmu Kesejahteraan Sosial UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Alumnus London
School of Economics Inggris
|
REPUBLIKA,
29 Oktober 2012
Indonesia sebagai sebuah entitas
kesatuan berbagai elemen negara kini telah berusia lebih dari 60 tahun, usia
yang sebenarnya sudah cukup dewasa untuk dikatakan layak menyandang status
sebagai negara maju. Dalam hal pencapaian ekonomi, status tersebut bisa
terbukti dengan makin kuatnya stabilitas ekonomi Indonesia yang tahan
terhadap krisis global.
Indonesia juga dinilai positif
dengan tren pertumbuhan ekonomi yang selalu di atas lima persen dan tingkat
inflasi yang bisa dipertahankan. Meskipun, utang luar negeri Indonesia per
Mei 2012, berdasarkan data dari Ditjen Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan
RI, telah mencapai angka Rp 1.944,14 triliun--itu merupakan akumulasi ke -
naik an terus-menerus sejak tahun 2000.
Berdasarkan rasio utang terhadap
PDB, utang Indonesia justru mengalami penurunan dari 88,4 persen tahun 2000
menjadi 26,9 persen tahun 2012. Menurut Bank Dunia, angka rasio tersebut menandakan,
utang Indonesia masih dianggap wajar. Mengacu pada pendapatan per kapita,
Indonesia yang dulu berpredikat sebagai negara miskin, sekarang sudah naik
status sebagai negara berpenghasilan menengah.
Dalam hal pencapaian politik,
Indonesia banyak dipuji banyak kalangan sebagai negara yang sukses
mendamaikan ketegangan antara demokrasi dan Islam meski riak-riak radikalisme
dan terorisme masih sesekali mengusik. Sebagai negara berpenduduk mayoritas
Muslim te besar sedunia sekaligus sebagai negara berpopulasi paling padat
keempat se dunia setelah Cina, India, dan AS, Indonesia menyandang predikat
sebagai ne gara demokrasi terbesar setelah AS dan India.
Jika mengacu pada dimensi ekonomi
dan politik, Indonesia sudah terlihat berada di jalur yang tepat menuju suatu
ke majuan. Maka, lain halnya di bidang sosial, khususnya dalam konteks penyelenggaraan
kesejahteraan sosial di bidang perlindungan sosial. Pada konteks perlindungan
social, Indonesia bisa di - katakan masih belia dan kini sedang mencari jalur
yang tepat.
Meskipun secara de jureIndonesia
adalah negara kesejahteraan, sebagaimana bisa dilacak pada UUD 1945, namun
secara de factoIndonesia adalah negara kesejahteraan semu. Memang telah
muncul UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada 2004 dan disusul UU Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) pada 2011, namun perlindungan sosial yang
selama ini diberikan negara kepada warganya bukanlah sesuatu yang taken for granted, melainkan
mensyaratkan adanya kontribusi warga untuk mengakses layanan tersebut.
Sebagaimana bisa disimak, skema
jaminan sosial bagi segelintir kelompok masyarakat tertentu, seperti PNS dengan
Askes/Taspen, TNI/Polri dengan ASABRI, dan tenaga kerja/karyawan dengan
Jamsostek, semuanya berbasiskan pada iuran premi melalui mekanisme pemotongan
gaji rutin. Tidak ada makan siang gratis, mungkin itu adagium yang tepat
menggambarkan bagaimana negara memperlakukan warganya.
Bisa dikatakan, skema jaminan
sosial yang dikembangkan adalah asuransi berbasis kontribusi iuran. Skema
yang sudah terlembaga selama bertahun-tahun ini pun nantinya akan dikembangkan
secara universal dan mencakup seluruh warga negara melalui rencana
transformasi berbagai penyelenggaran asuransi sosial menjadi suatu Badan Penyelanggara
Jaminan Sosial (BPJD).
Ada yang kurang diperhatikan ketika
orde baru memegang kendali administrasi pemerintahan dan menjadi kekuatan suprapolitik
paling efektif di Indonesia. Indonesia pernah mendapatkan kucuran devisa
asing melimpah baik karena dampakoil boom di era 1970-an, di tambah dengan
derasnya bantuan luar negeri yang terus membanjiri negeri ini.
Sayangnya, terjadi pengabaian pada
pem bangunan dimensi sosial. Hal ini pun menjadi pemicu lahirnya
kesulitan-kesulitan struktural maupun kultural untuk mewujudkan sebuah sistem
negara kesejahteraan yang sesungguhnya. Sebagaimana telah lazim diketahui,
orde baru kurang memberikan porsi lebih pada aspek investasi sosial, berupa
penyediaan kualitas pelayanan pen didikan dan kesehatan sebagai salah satu
komponen utama pembangunan manusia. Yang baru dilakukan sebatas pembangunan
prasarana fisik bangunan, seperti pendirian puskesmas dan SD inpres di
berbagai pelosok.
Tidak mengherankan, ribuan puskesmas
dan sekolah telah didirikan di seantero negeri. Sayangnya, warga masyarakat
tetap diharuskan untuk memberikan kontribusi berupa pembayaran untuk mendapatkan
pelayanan tersebut. Kesadaran untuk mulai membebaskan warga dari keharusan
urun biaya tersebut baru muncul di era reformasi ini. Adanya bantuan
operasional sekolah (BOS) di bidang pendidikan dasar dan asuransi kesehatan
keluarga miskin (Askeskin) di bidang kesehatan, misalnya, merupakan langkah
yang seharusnya telah dilakukan puluhan tahun silam.
Hak sosial warga di bidang jaminan
sosial itu, yang sejatinya menjadi kewajiban negara kepada warganya, baru
diakui sekitar 12 tahun silam, tepatnya sejak amandemen kedua UUD 1945 yang
ditetapkan 18 Agustus 2000. sebagaimana tertera dalam Pasal 28 H ayat 3,
\"Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan
dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat".
Pengakuan atas hak tersebut kemudian
makin dilengkapi dengan ketentuan bagi negara untuk mengembangkan suatu
sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat, sebagaimana termaktub dalam ayat 2
Pasal 34 UUD 1945 amandemen keempat yang ditetapkan 10 Agustus 2002. Pasal
tersebut kemudian melahirkan UU SJSN dan UU BPJS yang dicita-citakan bisa
menjadi instrumen mewujudkan universalisme kesejahteraan bagi semua warga
melalui skema jaminan sosial meskipun lagi-lagi warga diwajibkan untuk berkontribusi
demi mendapatkan hak jaminan sosial.
Hak sosial yang semestinya
diterima tanpa syarat pun harus ditebus dengan suatu kewajiban yang kudu
dipenuhi. Inilah ironi negara kesejahteraan semu, namun bukankah masih
mendingan ironi dibanding tragedi? Bukankah masih lebih baik kesejahteraan
semu daripada tidak sama sekali? Ironi ini pun semoga nantinya tidak berakhir
menjadi suatu tragedi. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar