Sabtu, 27 Oktober 2012

Merawat Pohon Kebangsaan


Merawat Pohon Kebangsaan
Suwidi Tono ; Koordinator Forum ”Menjadi Indonesia”
KOMPAS, 27 Oktober 2012
  

Dari Sumpah Pemuda 1928 kita mewarisi semangat bersatu dalam keragaman, kesetaraan, martabat luhur. Maklumat penegasan satu bangsa-negara dan menjunjung bahasa persatuan dari generasi avant- garde Indonesia itu juga mengusung keyakinan tinggi: Ibu Pertiwi dapat dan memiliki semua syarat menjadi bangsa besar.
Bagaimana Indonesia hari ini? Kita belajar dari 15 tahun perjalanan reformasi, kehidupan bermasyarakat, dan bernegara. Kesimpulannya: tidak menggembirakan. Kita terus-menerus menyia-nyiakan peluang dan harapan.
Dari kinerja dan hubungan antarlembaga negara, mengemuka komplikasi dan oligarki. Belum terbangun simbiosis eklektik: saling memajukan-memampukan. Yang mencuat politik transaksional sesaat. Masing-masing sibuk pada agenda sendiri, alpa membereskan aneka malapraktik kewenangan.
Korupsi tidak menunjukkan gejala surut meski banyak pejabat, pengusaha, kader partai, aparat dipenjarakan. Konflik suku, agama, ras, antargolongan (SARA) dan vertikal-horizontal: tawuran pelajar, ormas, antarwarga, massa-aparat, kerap timbul. Pertanda agregasi sosial melemah.
Korelasi fakta ini jelas tecermin dari memburuknya posisi Indonesia dalam Indeks Negara Gagal yang dirilis organisasi nirlaba Fund for Peace (Kompas, 20/6). Juga merosotnya kualitas pemerintahan sebagaimana laporan lembaga riset terkemuka Freedom House (Kompas, 19/9).
Kita terinspirasi Peter F Drucker: Tak ada negara terbelakang, yang ada hanyalah salah urus! Agar tak keliru mengelola masa transisi yang rawan konflik kepentingan, Seymour M Lipset (1993) mengingatkan: ”Perlu waktu cukup untuk melembagakan komitmen, pekerjaan, nilai-nilai, pada fase transformasi menuju negara demokratis dan maju.” Jadi, kita harus sabar dan cermat mengawal tahap kritis reformasi.
Miskin Karakter
Kita perlu menjejak hakikat persoalan. Salah satu sumber utama ”penyakit” bangsa adalah miskin karakter. Di sini dikemukakan tiga biang keladinya.
Pertama, pendidikan yang melumpuhkan nalar. Atas nama standardisasi, ruang untuk kreatif dan kritis dibatasi. Pelajaran mengarang lenyap dari kurikulum, melengkapi rendahnya tradisi baca masyarakat. Penyair Taufiq Ismail (1997) masygul ketika mendapati wajib baca sastra di SMA negeri adalah nol, bandingkan dengan enam judul buku per tahun di Malaysia dan 32 judul di Amerika Serikat. Kegenitan mengejar sukses menurut ukuran kekinian pernah disindir budayawan Kuntowijoyo (”Mentalitas Bangsa Klien”, Kompas, 23/12/2004) dan Umar Kayam (novel Jalan Menikung, 2000).
Humaniora tersisih, dikalahkan ilmu-ilmu praktis untuk bekal kerja di sektor modern. Ujian nasional jadi satu-satunya kriteria sukses belajar-mengajar, mengingkari realitas ketidakmerataan dan kemajemukan. Paradigma pendidikan kita mengabaikan esensi kebutuhan sejati manusia: keseimbangan olah akal-budi, otak dan watak.
Orientasi pada hasil menabrak kaidah paedagogik, menyuburkan mentalitas menerabas, mengagungkan gelar dan pangkat. Penghayatan berbangsa pudar. Banyak sekolah berlabel khusus meniadakan upacara bendera, tak menyanyikan ”Indonesia Raya” dan berkhidmat kepada Pancasila dan Mukadimah UUD 1945.
Hasilnya adalah miskin budi pekerti. Petunjuknya: disiplin sosial rendah, emosional, intoleran, dan kekerasan marak. Tayangan bermacam peristiwa dan tragedi mengiris hati dan laporan di media massa yang mengusik nurani cukup menjelaskan kerusakan ini.
Yang juga menyedihkan adalah hampa rasa hayat sejarah. Banyak pernyataan elite mengingkari kebinekaan. Sebagian sibuk berdebat untuk perkara-perkara situasional dan sudah jelas duduk-soalnya. Sebuah indikasi kedangkalan peradaban ketika wacana publik ingar-bingar oleh kegaduhan kering makna.
Kedua, meluasnya hipokrisi. Mentalitas hipokrit yang meluas menumbuhkan berbagai paradoks. Bahkan, semarak beragama belum melansir kesalehan sosial, tapi tidak mampu mendarahdagingkan moralitas agama pada sistem sosial. Ekspresi beragama lebih simbolik-politik ketimbang substansi esoterik. Disorientasi nilai ini jadi petunjuk suburnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme di kancah politik- ekonomi. Juga tergerusnya ketulusan menghargai perbedaan yang demikian indah diteladankan para Bapak Bangsa.
Indonesia turut meratifikasi Konvensi HAM PBB, tapi upaya menuntaskan kasus pembunuhan Munir, aktivis hilang, dan aneka tindak penistaan kemanusiaan tidak mencerminkan penghormatan atas konsekuensi itu. Pembiaran sejumlah rekomendasi Komnas HAM menunjukkan absennya kuasa negara.
Ketiga, langka keteladanan otentik. Sekarang, menjadi pemimpin harus punya modal besar. Kota-desa dipenuhi spanduk, baliho wajah para calon pembesar. Pemimpin bukan tumbuh bersemi dan beroleh pengakuan dari rakyat, tapi dimunculkan partai.
Tatkala pohon kebangsaan terusik, kita sadar telah kehilangan pribadi-pribadi besar, kukuh prinsip, dengan erudisi mengagumkan seperti Gus Dur dan Cak Nur. Belum muncul lagi tokoh otentik untuk mendobrak kebuntuan dialog, mengawal persatuan dalam keberbedaan.
Pohon yang Perlu Dirawat
Kondisi darurat sejak reformasi hingga kini merupakan tantangan bersama. Dari keprihatinan, kita berharap muncul kesadaran, bermuara pada resonansi gerakan menuju ikhtiar besar bersama.
Sejarah Indonesia kaya riwayat kepeloporan kaum terdidik dalam memanggul perubahan. Intelektual selalu lekat dengan tugas sejarah. Mereka terpanggil bila mendapati situasi membahayakan kelangsungan regenerasi dan kemanusiaan. Kaum ini umumnya berbuat cerdas pada tiga sendi peradaban: pendidikan, kebudayaan, kedaulatan politik-ekonomi. Semua bangsa maju memfokuskan energinya untuk ini.
Mazhab ketergantungan Timur-Barat rontok berkat fenomena kemajuan sejumlah negara bekas jajahan: Korsel, Hongkong, Taiwan, Malaysia, Singapura, China, yang berbalik ikut menentukan dunia. Sementara Indonesia rentan pengaruh global (ideologi radikal, investasi, utang). Artinya, sejak dulu kebutuhan mendasar bangsa ini tetap sama, yaitu mandiri, tahan banting gejolak internal-eksternal.
Mandiri adalah kemampuan memproduksi barang, jasa, dan industri kreatif unggul, sekaligus menegaskan identitas. Cadangan nasional berupa daya cipta dan modal terus bertumbuh. Rakyat dan negara bukan sekadar pasar produk asing. Harga diri bangsa terangkat lewat visi melenting jauh ke depan yang menjadi panduan bersama.
Pohon kebangsaan perlu diruwat dan dirawat agar mengayomi semua warga bangsa. Setiap merenungkan Sumpah Pemuda, kita seperti diingatkan lagi bahwa generasi pendahulu telah mewariskan legacy, pusaka yang kokoh: prinsip-prinsip dasar dan tujuan asasi bernegara. Tugas nasional kita memelihara dan menguatkan fondasi sangat berharga ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar