UN sebagai
Kriteria Penerimaan Mahasiswa Baru
Elin Driana ; Pengajar Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah
Prof Dr HAMKA
Jakarta; Salah seorang Koordinator Education Forum
|
MEDIA
INDONESIA, 29 Oktober 2012
KEMENTERIAN Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud) kembali menegaskan rencana untuk menggunakan hasil ujian
nasional (UN) sebagai salah satu kriteria penerimaan siswa melalui jalur
undangan dan menghapus seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN)
jalur ujian tulis. Rencana lainnya, 90% kursi di perguruan tinggi negeri
(PTN) akan diperebutkan melalui jalur undangan yang nantinya dapat diikuti
semua siswa, sedangkan sisanya melalui ujian mandiri yang disenggarakan tiap
PTN.
Sangat layak dipertanyakan, apakah rencana
penghapusan SNMPTN jalur ujian tulis sudah melalui kajian-kajian yang
mendalam? Apakah penggunaan nilai UN sebagai kriteria seleksi dapat menjamin
academic excellence, keragaman, dan keadilan? Jangan sampai rencana perubahan
itu memiliki karakteristik yang sama dengan beberapa kebijakan pemerintah
lainnya di bidang pendidikan yang terkesan terburu-buru, tanpa dukungan
bukti-bukti yang memadai.
Tes Multifungsi?
Pasal 68 Peraturan Pemerintah RI Nomor 19
Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional menyebutkan hasil ujian
nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk: 1) Pemetaan mutu
program dan/atau satuan pendidikan, 2) Dasar seleksi masuk jenjang pendidikan
berikutnya, 3) Penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan
pendidikan, 4) Pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam
upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Dari aspek teknis, validitas tes bergantung
pada penggunaan tes tersebut. Tes yang digunakan untuk menentukan kelulusan
peserta didik belum tentu valid bila digunakan untuk pemetaan mutu program
ataupun dasar seleksi jenjang pendidikan berikutnya. Fungsi yang berbeda-beda
akan melahirkan desain soal yang berbeda pula. Tes yang dirancang untuk
menyeleksi siswa ke jenjang pendidikan berikutnya tentunya memiliki tingkat
kesulitan yang berbeda dengan tes yang digunakan untuk kelulusan ataupun
pemetaan.
Soal-soal dalam tes yang digunakan untuk
menyeleksi siswa ke perguruan tinggi memiliki tingkat kesulitan yang tinggi
sehingga hanya bagian kecil dari calon mahasiswa yang dapat memenuhi standar
yang ditetapkan. Sebaliknya, soal-soal untuk UN relatif lebih mudah ketimbang
soalsoal SNMPTN ataupun tes-tes mandiri yang diselenggarakan perguruan tinggi
karena lebih banyak siswa diharapkan lulus UN.
Kajian-kajian seputar validitas prediktif UN
dalam menentukan keberhasilan calon mahasiswa di perguruan tinggi pun perlu
dipaparkan kepada masyarakat. Apakah hasil UN memiliki validitas prediktif
yang lebih baik daripada hasil SNMPTN, tes-tes mandiri, ataupun nilai rapor
dan rangking siswa? Meskipun hasil UN belum dijadikan kriteria seleksi,
data-data hasil UN dari tahuntahun yang lalu tentunya dapat digunakan untuk
melakukan kajian-kajian pendahuluan sebagai dasar perumusan kebijakan.
Selain tujuan pembuatan soal yang berbeda,
kualitas penyelenggaraan UN pun masih patut dipertanyakan. Kecurangan-kecurangan
dalam pelaksanaan UN menurunkan kredibilitas hasil UN. Penggunaan 20 paket
soal pun, sebagaimana disampaikan Mendikbud M Nuh, bisa menimbulkan persoalan
baru. Dapatkah publik diyakinkan bahwa ke-20 paket soal tersebut benar-benar
telah melalui pengujian yang dikenal sebagai test equating untuk menjamin
kesetaraan paket-paket soal tersebut.
Selama ini, sepanjang pengetahuan penulis,
Kemendikbud belum pernah mengeluarkan technical report yang memaparkan
aspek-aspek teknis UN secara terbuka kepada publik. Padahal, sebagai sebuah
kebijakan yang menyedot banyak perhatian dan menyita banyak energi, technical
report UN seharusnya dihadapkan dan diuji terlebih dahulu ke publik secara
terbuka dan transparan.
Nilai Rapor dan Peringkat
Siswa
Sekalipun terdapat variasi penilaian yang
dilakukan guru, baik dalam satu sekolah maupun antarsekolah,
penelitian-penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan nilai
rapor kan nilai rapor ataupun pering kat siswa di SMA merupakan pemrediksi
yang berkorelasi paling tinggi dengan keberhasilan mahasiswa di perguruan
tinggi bila dibandingkan dengan tes-tes terstandar seperti SAT I--yang
mengukur kemampuan verbal dan matematis secara umum-ataupun SAT II--yang
mengukur penguasaan siswa terhadap materi-materi yang diajarkan di sekolah (Linn, 2005; Willingham, 2005).
Penggunaan nilai rapor dalam seleksi
penerimaan mahasiswa baru memang telah memiliki landasan yang kuat. Meskipun
demikian, kualitas penilaian yang dilakukan guru perlu terus ditingkatkan,
termasuk penggunaan beragam model-model assessment untuk menggerakkan proses
pembelajaran yang lebih bermakna dan mengembangkan berbagai aspek kecerdasan
siswa.
Pemerintah dan sekolah pun perlu terus
berkomitmen meningkatkan kemampuan guru dalam melakukan penilaian kelas.
Peningkatan kualitas evaluasi yang dilakukan guru dapat berimbas pula pada
penghitungan beban kerja yang lebih rasional karena evaluasi yang berkualitas
membutuhkan komitmen waktu yang tidak kalah berbobot dengan tatap muka yang
berlangsung di kelas.
Panitia seleksi penerimaan siswa baru,
termasuk perguruan tinggi, mesti terus mengembangkan mekanisme untuk
memastikan kredibilitas nilai rapor tersebut, termasuk pemberian sanksi
sementara bagi sekolah-sekolah yang terbukti melakukan mark-up nilai siswa. Itu bukan pekerjaan mudah dan tentunya meka
nisme yang digunakan perlu disampaikan kepada masyarakat secara terbuka.
Kriteria seleksi yang digunakan juga perlu
mempertimbangkan aspek keragaman dan keadilan. Berbagai penelitian
menunjukkan pencapaian akademis baik dalam bentuk nilai rapor maupun
hasil-hasil tes terstandar berkorelasi dengan status sosial ekonomi keluarga.
Laporan OECD (2010) terkait d dengan hasil PISA (programme for international
student assessment), yang menilai kesiapan siswa dalam mengaplikasi
pengetahuan dan kemampuannya untuk menyelesaikan masalahmasalah di dunia
nyata dan tantangan masa depan, bahkan menegaskan korelasi antara prestasi
akademis dan status sosial ekonomi menjadi semakin kuat di negara-negara yang
sejak dini telah memilah-milah siswa memilah-milah siswa dalam sistem pendidi
kannya berdasarkan capaian akademis.
Sistem pendidikan Indonesia pun menganut pemilahan
seperti itu. Nilai UN, misalnya, dijadikan kri teria seleksi penerimaan siswa
di jenjang SMP/sederajat dan SMA/ sederajat. Sekolah sekolah yang telah di
favoritkan dari masa ke masa akan dengan mudah mendapatkan siswa-siswa dengan
kemampuan akademis yang lebih tinggi ketimbang sekolah-sekolah reguler.
Perguruan tinggi pun, dengan sistem undangan
yang menggunakan nilai rapor, tentunya akan memprioritaskan penerimaan calon
mahasiswa dari sekolah-sekolah tersebut. Hal itu menjadi tidak adil bagi siswa
yang sebetulnya memiliki potensi yang tinggi, tapi berada di sekolah yang
belum tentu di lirik PTN sehingga peluangnya untuk diterima melalui jalur
undangan menjadi lebih kecil.
Penilaian Komprehensif
Angka-angka yang diperoleh dari penilaian
kelas ataupun tes terstandar hanya menggambarkan bagian kecil dari diri calon
mahasiswa. Dalam buku berjudul Choosing
Students: Higher Education Admission Tools for the 21st Century, beberapa
penulis dengan beragam latar belakang, seperti ahli testing, peneliti, dan dosen,
menegaskan perlunya penilaian yang lebih komprehensif terhadap calon
mahasiswa. Penilaian terhadap calon mahasiswa tidak memadai bila hanya
didasarkan pada aspek-aspek kognitif. Aspek-aspek nonkognitif juga menentukan
keberhasilan mahasiswa dan kesiapannya mengarungi kehidupan kelak.
Warren W William (2005), yang pernah menjadi
peneliti di Educational Testing Service,
salah satu lembaga testing terkemuka di Amerika Serikat, memandang penerimaan
mahasiswa baru juga perlu mempertimbangkan scholastic engagement yang
terepresentasi, antara lain dalam conative skill seperti motivasi, rasa ingin
tahu, dan kemampuan mengatur diri sendiri.
Sementara itu, Robert Steinberg (2005), dari
Yale University, memperkenalkan successful intelligence yang terdiri dari kecerdasan
analitis, kecerdasan praktis, dan kecerdasan kreatif sebagai kriteria
penerimaan mahasiswa baru.
Sistem penerimaan mahasiswa
baru bukanlah proses yang sudah final dan sempurna. Evaluasi terhadap sistem
yang telah ada dan kajian terhadap rencana penggunaan UN sebagai salah satu
kriteria seleksi perlu dilakukan untuk menjamin academic excellence, keragaman, dan keadilan. Tanpa adanya
evaluasi yang terstruktur dan mendalam, mustahil akan ada peningkatan standar
kualitas pendidikan yang baik sebagaimana diharapkan semua pihak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar