Bahasa
Indonesia yang Malang
Agus Dermawan T ; Kritikus, Penulis
Buku-Buku Berbasis Sosial, Seni, dan Budaya
|
KORAN
TEMPO, 25 Oktober 2012
Sejak Sumpah
Pemuda 28 Oktober 1928, bangsa Indonesia sudah berjanji sepenuh hati
menjunjung bahasa Indonesia. Lantaran penjunjungan itu sudah berlangsung 84
tahun, boleh diyakini bahwa seluruh rakyat Indonesia sudah mahir menggunakan
bahasa resmi bangsanya sendiri ini.
Namun keyakinan itu segera jadi kekagetan.
Sebab, menurut penelitian Krisanjaya, M. Hum, ahli linguistik Universitas
Negeri Jakarta, orang Indonesia yang mampu berbahasa Indonesia secara benar
cuma 16,77 persen. Selebihnya berbahasa daerah, seperti yang dilakukan oleh
masyarakat jelata berpendidikan rendah. Atau berbahasa Indonesia pasar, bagai
yang digunakan oleh masyarakat kelas menengah berpendidikan cukup.
Yang ganjil, dalam keterbatasan berbahasa
Indonesia itu kontaminasi bahasa Inggris tampak begitu riuh, dalam tutur
maupun dalam karya tulis. Bahkan dalam pidato resmi di depan publik
Indonesia, bagai yang kerap dilakukan sejumlah tokoh masyarakat, pejabat
tinggi, bahkan Presiden, pada tahun-tahun terakhir. Realitas ini menjadi unik
dan aneh ketika disandingkan dengan kenyataan lain yang menyebutkan:
penguasaan bahasa Inggris orang Indonesia justru terbilang sangat rendah!
Setidaknya menurut lembaga English First.
Lembaga ini sejak 2007 melakukan penelitian
lewat tes secara online atas 2 juta orang dewasa di 44 negara yang tidak
menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu. Hasilnya, Indonesia menduduki
nomor 34 dengan meraih nilai cuma 44,78. Sementara Norwegia yang meraih nilai
69,09 masuk kategori "very high proficiency", Indonesia "very
low proficiency".
Bangsa Mengambang
Sastrawan Sutan Takdir Alisjahbana pernah
berkata bahwa, apabila sebuah bangsa "kurang berkehendak" menguasai
bahasa asing, bangsa itu harus menguasai sebaik-baiknya dan
sebangga-bangganya bahasanya sendiri. Kampiun bahasa Indonesia (yang pemuja
Barat) ini menunjuk Spanyol, Portugal, Tiongkok, dan Jepang sebagai
contohnya. Dan bangsa Indonesia diindikasikan sebagai bagian dari yang
"kurang berkehendak".
Meski "kurang berkehendak", gegar
budaya bahasa Inggris ternyata sudah kuat berjangkit di benak bangsa
Indonesia sejak (sangat) lama. Bahasa buku Tuanku Rao karangan Mangaraja
Onggang Parlindungan, yang terbit dan populer puluhan tahun lalu, adalah
buktinya. Mari kita baca satu alinea tulisannya yang tampak antusias dan
beringgris-inggris itu.
"Dibandingkan kepada itu, asal usul
dari suku bangsa Batak di sekitar danau Toba malahan relatively paling simple
dapat re-constructed. How?? Dengan emparing Ethnology, Philology, Mythology,
and Folklore. Why?? Suku bangsa Batak hingga abad ke-XIX secara sukarela
berkurung in splendid isolation di pegunungan Bukit Barisan, selama 3000
tahun, selama lebih kurang 100 generations. Very strange custom untuk sesuatu
Suku Bangsa yang hidup di atas sesuatu pulau. How come??"
Gaya bahasa Indonesia model begini pernah
dikritik kencang oleh budayawan Remy Sylado dalam Kongres Bahasa Indonesia
VII di Hotel Indonesia, Jakarta, medio Oktober 2003. Dan jauh hari
sebelumnya, kecenderungan seperti itu dikecam oleh Presiden Sukarno lewat
pidato "Manipol Usdek" pada 17 Agustus 1959. Sukarno menyebutkan
bahwa bahasa semacam itu adalah presentasi anak bangsa yang tidak
berkepribadian, mengambang, dan kurang berharkat.
Pada tahun-tahun terakhir, kecenderungan
menggulirkan bahasa Inggris juga dilakukan di RSBI (Rintisan Sekolah
Berstandar Internasional) di Indonesia. Celakanya, usaha penerapan itu
cenderung dipaksakan, lantaran dilakukan oleh guru-guru yang kurang menguasai
bahasa Inggris.
Cuma Sofistikasi
Penyakit Inggris ini pada sepuluh tahun
terakhir semakin merasuki segala sisi. Sektor pariwisata tak hentinya
mencetak brosur berbahasa Inggris, bahkan ditambah juga Jepang dan Mandarin,
dengan tak sedikit pun menyentuh bahasa Indonesia. Padahal wisatawan domestik
yang membutuhkan brosur berkali-kali lipat banyaknya dibanding wisatawan
asing.
Bahasa Inggris juga menggelitik dunia
kebudayaan Indonesia, dengan presentasi yang kentara pada kesenian, seperti
seni rupa dan seni lainnya. Padahal seni adalah sebuah wilayah profesi yang
sejak dulu dikenal membumi. Dari sekitar 850 pameran seni rupa yang relatif
penting sejak 2001, tak kurang dari 450 judul yang menggunakan bahasa
Inggris. Padahal judul pameran yang dipampang-pampang di ruang publik
Indonesia itu adalah bendera yang mengibarkan roh pameran seni Indonesia.
Simak secuplik contoh judul ini, "Watching
Information through Pressure & Pleasure", pameran bersama
(Jakarta, 2005); "Return to
Innocence, Return to Yourself", pameran foto Ve Dhanito (Jakarta 2011).
Bahkan tak sedikit katalogus pameran yang hanya mencantumkan bahasa Inggris,
meski yang menonton seratus persen orang Buleleng, Rogojampi, sampai
Tasikmalaya.
Judul-judul di atas bukan hasil
penerjemahan dari judul berbahasa Indonesia, lantaran semua memang dibikin
dengan hasrat meninggalkan sama sekali bahasa negerinya. Pesta "Inggris-ria" ini juga diikuti
oleh banyak kitab susunan orang Indonesia yang bicara tentang seni budaya
Indonesia. Kitab yang samasekali tidak menyertakan bahasa Indonesia itu
dicetak di Indonesia, diterbitkan di Indonesia, diedarkan di Indonesia, untuk
orang Indonesia.
Hasrat mereduksi kedaulatan bahasa
Indonesia seperti di atas menimbulkan tafsir berbagai-bagai. Ada yang
mengatakan itu adalah hal wajar dan niscaya di tengah pergaulan global. Ada
yang mengira itu cuma tren sofistikasi, intelektualisasi, untuk menggapai elitisme.
Ada yang menyebut itu bagian dari strategi pemasaran dan internasionalisasi,
agar "orang Inggris" tertarik. Padahal alangkah cantik apabila para
pelaku budaya membuat judul dalam bahasa Indonesia (yang tak kalah gagah
apabila diolah) untuk forum Indonesia. Dan versi Inggrisnya didampingkan atau
baru dimunculkan ketika memasuki ajang internasionalisasi.
Orang
Indonesia tentu sah untuk memakai bahasa bangsa lain dengan bangga, apalagi
bahasa internasional seperti bahasa Inggris. Tapi tidak elok apabila tindakan
itu menyebabkan bahasa Indonesia kesepian, bagai ibu yang tidak diakui
anak-anaknya yang menjelma menjadi Malin Kundang. Sejauh ini kita tetap
beranggapan, ikrar Sumpah Pemuda bukan cuma ornamentasi sejarah kebangsaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar