Poso dan Poso
Lagi
Hamid Awaludin ; Dosen Fakultas Hukum
|
KOMPAS,
30 Oktober 2012
Poso kembali menyedot
perhatian kita hari-hari ini lantaran kekerasan yang terus terjadi beruntun.
Poso seolah menjadi palagan dan simbol kekerasan di negeri kita. Kekerasan
seakan menemukan lahan persemaian abadi di Poso kendati perdamaian atas
konflik horizontal telah dirajut persis sepuluh tahun silam.
Tanggal
23 Oktober 2012, saya bersama Jusuf Kalla tiba di Poso pada pagi hari. Sejam
sebelumnya, bom tanpa korban, masih meledak, seolah mengirim pesan bahwa para
pelaku kekerasan masih berseliweran dan tiap saat bisa beraksi.
Kami
tak peduli dengan itu. Banyak rentetan kekerasan dengan menggunakan bom yang
terjadi belakangan ini di Poso diarahkan kepada simbol-simbol negara: pos
jaga polisi dan aparat keamanan. Bahwa ada rakyat sipil yang kena, tampaknya
itu hanya dampak. Dengan potret ini, jelaslah bahwa motif kekerasan tersebut
adalah anti terhadap negara.
Motif
bisa jadi muncul lantaran negara berhasil menyapu, menangkap, dan menindak
para pelaku kekerasan yang biasa dilabel sebagai teroris di berbagai tempat.
Kesuksesan negara mengatasi tindak kekerasan ini membuat mereka meradang dan
ingin membalas kepada negara. Pertanyaannya kemudian, mengapa tindakan balas
dendam itu dilakukan di Poso?
Tidak
pelik menjawabnya: Poso adalah kawasan dengan sisa puing konflik horizontal
yang terjadi lebih dari sepuluh tahun lalu. Sekam kekerasan masih ada dan
setiap saat bisa menyala lagi. Poso adalah kumpulan ilalang kering yang masih
begitu mudah terbakar.
Konflik
horizontal, di mana pun, selalu membutuhkan rentang waktu yang begitu panjang
untuk memulihkannya. Konflik horizontal tidak hanya meninggalkan kerugian
material dan luka badan, tetapi juga luka rasa dan hati.
Para
teroris memahami betul psikologi ini. Karena itu, mereka menjadikan Poso
sebagai tempat membalas dendam, dengan harapan sekam sisa-sisa konflik masa
lalu itu bisa dengan enteng dinyalakan lagi.
Untunglah,
hingga kini, kedua komunitas yang pernah bersilangan jalan dan saling menafikan
itu tidak terprovokasi. Mereka sudah hidup berdampingan dan merasakan
nikmatnya keteduhan dan kedamaian, yang bebas dari ingar-bingar peperangan.
Oleh
karena itu, konflik vertikal—negara menghadapi kelompok pro-kekerasan—harus
segera diselesaikan agar tidak merambat ke konflik horizontal—komunitas yang
satu melawan komunitas lainnya—yang menguras air mata rakyat.
Tesis
inilah yang jelas menggugurkan anggapan bahwa kekerasan demi kekerasan di
Poso yang terjadi belakangan ini bukanlah refleksi dari konflik komunal,
seperti yang terjadi sepuluh tahun silam. Tidak ada dua kelompok yang saling
mengapak dan membunuh di sana sekarang. Yang terjadi adalah serangan sepihak
dari sejumlah orang yang mengklaim dan memutlakkan kebenaran subyektif,
kepada negara.
Lepas
dari itu semua, secara geografis Poso adalah wilayah dengan hutan lebat yang
amat strategis untuk menyembunyikan diri dan identitas. Gunung, bukit, danau,
juga sungai serta laut amat membantu para teroris berlalu lalang kapan saja untuk
melakukan aksi mereka. Mereka menjadi susah terlacak, pelik terdeteksi.
Kondisi alam tersebut amat pas untuk kegiatan gerilya teroris dengan pola hit
and run.
Itu
pula sebabnya mengapa Poso kerap ditengarai sebagai tempat pelatihan militer
bagi para teroris. Faktanya, memang, Poso sekarang menjadi tempat berkumpul
para pelaku kekerasan dari sejumlah daerah yang melarikan diri dari kejaran
aparat negara. Maka, Poso pun dipersepsikan dan dijadikan sebagai pondok
reuni yang nyaman bagi sesama pelaku kekerasan lain.
Dengan
kondisi alam seperti ini, negara harus melengkapi aparat kepolisian dan TNI
dengan peralatan yang memadai. Dukungan logistik juga harus berlipat ganda.
Medan dengan hutan yang lebat mutlak memerlukan kehadiran perangkat
helikopter yang siap beroperasi 24 jam. Ingat, kelengahan aparat adalah
derita rakyat.
Menurut
pengakuan sejumlah orang yang kami temui di Poso, belakangan ini ajaran
ekstrem kian merebak. Malah ada yang menyaksikan bahwa tempat seseorang yang
telah menunaikan shalat di masjid langsung dibersihkan oleh seseorang. Orang
yang membersihkan itu
Orang
atau kelompok lain dianggap tidak memiliki kebenaran dan oleh karena itu
semua dianggap sebagai Toghut: iblis atau musuh besar. Inilah yang terjadi,
dan inilah perang yang sesungguhnya sedang terjadi di Poso sekarang. Ini yang
lebih penting. Bukan yang lain-lain.
Maka,
penyelesaian kekerasan di Poso kali ini haruslah dengan ikhtiar serius untuk
membendung ajaran sesat tersebut. Virus paradigma yang nyasar itu tidak boleh
menular ke masyarakat. Para juru dakwah harus segera dimobilisasi dan diberi
jaminan keamanan untuk menyampaikan dakwah yang lebih menghargai perdamaian
dan perbedaan ke masyarakat, sekaligus mengingatkan bahwa ajaran yang
disebarkan dan dipaksakan kelompok tertentu itu adalah ajaran sesat.
Biar
masyarakat dengan mudah memahami bahwa para pelaku kekerasan itu justru
salah. Ajaran agama yang menyesatkan harus dilawan dengan ajaran agama yang
benar. Pemahaman dan praktik agama yang keliru harus dihadapi dengan
pemahaman agama yang benar. Dogma mereka harus dihentikan agar tidak pelan- pelan
menyusup ke dalam pikiran orang banyak.
Setelah
itu, rakyat di Poso dan sekitarnya harus diberi keberanian moril untuk secara
bersama memperlakukan kelompok yang memaksakan kehendak dengan kekerasan itu
sebagai musuh bersama. Negara harus melindungi dan menguatkan rakyat untuk
berani berteriak bila mereka melihat sosok asing di lingkungannya. Negara
harus menyiapkan mekanisme agar teriakan rakyat itu tidak justru menjadi bala
buat rakyat sendiri.
Jangan
sampai Poso berkubang dalam kekerasan lagi. Jangan sampai kita ”digiring”
untuk prihatin dan berseru: ”Poso, dan Poso lagi”.
Saya
khawatir, jika Poso dibiarkan berlarut dengan kekerasan, ucapan seorang raja
2.500 tahun silam akan menemukan kebenarannya. Sang raja berucap: ”Dalam
damai, anak-anak menggendong dan menguburkan ayah mereka. Dalam perang, ayah
menggendong dan menguburkan anak-anaknya.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar