Menunggu Damai
di Tanah Poso
Sulaiman Mamar ; Guru Besar Antropologi Pembangunan
di
Universitas
|
KOMPAS,
30 Oktober 2012
Sejak Soeharto lengser,
lalu digantikan BJ Habibie yang menerapkan reformasi demokrasi, konflik di
sejumlah wilayah Indonesia pun bermunculan. Salah satunya di Poso, Sulawesi
Tengah, yang hingga kini masih menunjukkan gejala tak berkesudahan.
Dalam
beberapa pekan terakhir, gejala konflik—yang sudah terjadi sejak 1998—itu
muncul kembali, ditandai peristiwa terbunuhnya dua personel Polri dan ledakan
bom di beberapa tempat di Kabupaten Poso. Kontan peristiwa itu menimbulkan
ketakutan di masyarakat Poso. Bahkan, sebagian warga harus mengungsi ke
berbagai tempat.
Sejak
tragedi kemanusiaan itu terjadi, 14 tahun lampau, kurang lebih sudah 2.000
orang terbunuh. Sedikitnya 60.000 rumah penduduk terbakar dengan kerugian
harta benda yang tak terhitung nilainya akibat rangkaian peristiwa kelam
tersebut.
Konflik
Poso sesungguhnya bermula dari peristiwa yang tergolong sepele. Pada 24
Desember 1998, sekelompok remaja dari Kelurahan Lombogia, Poso Kota, yang
sedang mabuk mendatangi kelompok pemuda lain yang sedang berada di Masjid
Pondok Pesantren Darussalam di Kelurahan Sayo. Keributan pun tak terelakkan,
mengakibatkan satu pemuda terkena bacokan senjata tajam. Berita ini dengan
cepat meluas di kalangan masyarakat, yang kemudian memicu dimulainya episode
panjang kerusuhan dalam kasus konflik horizontal di Poso.
Sejak
itu eskalasi konflik kian meningkat bahkan menggelora dalam empat tahap
konflik besar (Sulaiman Mamar dkk, 2001), ditandai berbagai kerusuhan
berbalut isu suku, agama, ras, dan antargolongan alias bernuansa SARA. Kedua
pihak yang bertikai saling serang, bunuh-membunuh, dan membakar rumah- rumah
di permukiman kedua belah pihak. Baru awal 2001 konflik terbuka—saling menyerang
secara besar-besar—mulai mereda.
Akan
tetapi, ”konflik tertutup” dalam wujud aksi penculikan, penghadangan dan
pembunuhan antarpihak masih terjadi. Konflik antarwarga (baca: konflik
horizontal) Poso baru benar-benar mereda setelah pemerintah menggelar
pertemuan perdamaian yang diinisiasi Jusuf Kalla (saat itu Menko Kesra) di
Malino pada 20 Desember 2001. Pertemuan yang melibatkan tokoh- tokoh dari
kedua pihak yang bertikai (Muslim dan Kristen) itu melahirkan butir-butir
kesepakatan sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Malino.
Hingga
tahun 2004, tak terdengar lagi konflik horizontal yang melibatkan antarwarga.
Namun, belakangan muncul konflik vertikal antara pihak kepolisian dan
kelompok sipil bersenjata.
Pihak
kepolisian berusaha melakukan tindakan persuasif agar kelompok sipil
bersenjata menyerahkan diri. Akan tetapi, upaya itu tidak berhasil. Akhirnya,
Jusuf Kalla (kali ini dalam kapasitasnya sebagai Wapres RI) memerintahkan
pihak kepolisian melakukan penyerangan terhadap kelompok sipil bersenjata di
tempat persembunyian mereka pada malam Idul Adha (2006).
Sejak
itu sebetulnya kondisi kehidupan masyarakat Poso mulai kondusif. Namun,
suasana kondusif tersebut kini mulai terkoyak kembali, menyusul terbunuhnya
dua anggota Polri dan meledaknya bom di beberapa tempat di Kabupaten Poso
baru-baru ini.
Konflik
Poso pada dasarnya dipicu oleh beberapa faktor. Pertama, tidak berfungsinya
nilai budaya pada masyarakat. Nilai budaya suku Pamona, yang disebut sintuwu
maroso, kini telah mengalami degradasi sehingga kurang berfungsi lagi sebagai
pedoman tingkah laku warga masyarakat. Nilai budaya suku pendatang awal ini
mengandung tiga makna utama: hidup saling menghargai (tuwu mombetuwunaka),
hidup saling menghidupi (tuwu mombepatuwu), dan hidup saling menolong (tuwu
mombesungko).
Ketiga
makna falsafah hidup situwu maroso tersebut seyogianya berfungsi sebagai
pedoman tingkah laku orang Pamona dan masyarakat Poso lainnya. Namun,
kenyataan di lapangan menunjukkan, falsafah hidup ini tak berfungsi lagi.
Demikian pula nilai budaya suku bangsa lain (sedikit ada 32 suku bangsa) yang
ada di kawasan ini juga cenderung tak lagi berfungsi.
Kedua,
adanya kesenjangan etos kerja dan penguasaan sumber daya alam antara migran
lama (orang Pamona) dan migran baru. Suku bangsa migran baru yang memiliki
etos kerja tinggi sering diberi label memiliki sifat monopoli. Bahkan, tak
jarang dipandang sebagai penjajah baru setelah Belanda meninggalkan wilayah
Sulawesi Tengah. Fenomena sosial budaya seperti itu terjadi pada semua aspek
kehidupan masyarakat. Kesenjangan ini menyebabkan kecemburuan sosial ekonomi
di antara mereka, yang diam-diam
Ketiga,
agama dijadikan sebagai kendaraan politik yang dikemas dengan simbol
tertentu. Keempat, adanya kebiasaan mengonsumsi minuman keras dan pengaruh
seni tradisi tari modero yang menyebabkan mabuk-mabukan di kalangan generasi
muda. Kelima, kurang profesionalnya Polri menangani konflik dan sering
terjadi salah tangkap (Sulaiman Mamar dkk, 2001).
Guna
mengatasi konflik horizontal tersebut pemerintah telah menerapkan pendekatan
keamanan, hukum, agama, dan budaya (rekonsiliasi secara adat). Namun, semua
pendekatan itu gagal menghentikan konflik. Oleh karena itu, Menko Kesra Jusuf
Kalla melalui stafnya,
Penerapan
mediasi ulang alik ini berhasil mengajak beberapa tokoh Muslim dan Kristiani
ke Makassar untuk dipertemukan dan mereka sepakat melakukan pertemuan
lanjutan di Malino. Untuk itu, mereka diberi amanah mengajak tokoh-tokoh
berpengaruh dari kedua belah pihak untuk melanjutkan pertemuan puncak di
Malino. Pertemuan Malino yang melibatkan 25 orang Muslim, 23 orang Kristiani,
25 peninjau, dan 7 mediator itu akhirnya memang dapat mengakhiri konflik
horizontal di Poso. Namun, yang terjadi belakangan, justru muncul konflik
vertikal, melibatkan kelompok sipil bersenjata.
Puncak
konflik Poso sudah 14 tahun berlalu, meninggalkan berbagai permasalahan bagi
masyarakat Poso. Salah satu permasalahan pokok adalah generasi muda korban
konflik yang kini rata-rata sudah berusia 20 tahun. Mereka belum dibina
secara khusus dan belum memiliki pekerjaan tetap sehingga kepribadian sangat
labil.
Menurut
Bupati Poso Ingriawan, saat ini ada sekitar 1.000 pemuda korban konflik Poso.
Mereka ini ibarat ”anak-anak bebek” lantaran gampang ”dihalau” oleh pihak
lain dengan tujuan tertentu. Oleh karena itu, pemerintah perlu memberdayakan
generasi muda tersebut dalam bentuk ekonomi produktif.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar