Selasa, 30 Oktober 2012

Menunggu Damai di Tanah Poso


Menunggu Damai di Tanah Poso
Sulaiman Mamar ;  Guru Besar Antropologi Pembangunan
di Universitas Tadulako, Palu
KOMPAS, 30 Oktober 2012



Sejak Soeharto lengser, lalu digantikan BJ Habibie yang menerapkan reformasi demokrasi, konflik di sejumlah wilayah Indonesia pun bermunculan. Salah satunya di Poso, Sulawesi Tengah, yang hingga kini masih menunjukkan gejala tak berkesudahan.
Dalam beberapa pekan terakhir, gejala konflik—yang sudah terjadi sejak 1998—itu muncul kembali, ditandai peristiwa terbunuhnya dua personel Polri dan ledakan bom di beberapa tempat di Kabupaten Poso. Kontan peristiwa itu menimbulkan ketakutan di masyarakat Poso. Bahkan, sebagian warga harus mengungsi ke berbagai tempat.
Sejak tragedi kemanusiaan itu terjadi, 14 tahun lampau, kurang lebih sudah 2.000 orang terbunuh. Sedikitnya 60.000 rumah penduduk terbakar dengan kerugian harta benda yang tak terhitung nilainya akibat rangkaian peristiwa kelam tersebut.
Dari Horizontal ke Vertikal
Konflik Poso sesungguhnya bermula dari peristiwa yang tergolong sepele. Pada 24 Desember 1998, sekelompok remaja dari Kelurahan Lombogia, Poso Kota, yang sedang mabuk mendatangi kelompok pemuda lain yang sedang berada di Masjid Pondok Pesantren Darussalam di Kelurahan Sayo. Keributan pun tak terelakkan, mengakibatkan satu pemuda terkena bacokan senjata tajam. Berita ini dengan cepat meluas di kalangan masyarakat, yang kemudian memicu dimulainya episode panjang kerusuhan dalam kasus konflik horizontal di Poso.
Sejak itu eskalasi konflik kian meningkat bahkan menggelora dalam empat tahap konflik besar (Sulaiman Mamar dkk, 2001), ditandai berbagai kerusuhan berbalut isu suku, agama, ras, dan antargolongan alias bernuansa SARA. Kedua pihak yang bertikai saling serang, bunuh-membunuh, dan membakar rumah- rumah di permukiman kedua belah pihak. Baru awal 2001 konflik terbuka—saling menyerang secara besar-besar—mulai mereda.
Akan tetapi, ”konflik tertutup” dalam wujud aksi penculikan, penghadangan dan pembunuhan antarpihak masih terjadi. Konflik antarwarga (baca: konflik horizontal) Poso baru benar-benar mereda setelah pemerintah menggelar pertemuan perdamaian yang diinisiasi Jusuf Kalla (saat itu Menko Kesra) di Malino pada 20 Desember 2001. Pertemuan yang melibatkan tokoh- tokoh dari kedua pihak yang bertikai (Muslim dan Kristen) itu melahirkan butir-butir kesepakatan sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Malino.
Hingga tahun 2004, tak terdengar lagi konflik horizontal yang melibatkan antarwarga. Namun, belakangan muncul konflik vertikal antara pihak kepolisian dan kelompok sipil bersenjata.
Pihak kepolisian berusaha melakukan tindakan persuasif agar kelompok sipil bersenjata menyerahkan diri. Akan tetapi, upaya itu tidak berhasil. Akhirnya, Jusuf Kalla (kali ini dalam kapasitasnya sebagai Wapres RI) memerintahkan pihak kepolisian melakukan penyerangan terhadap kelompok sipil bersenjata di tempat persembunyian mereka pada malam Idul Adha (2006).
Sejak itu sebetulnya kondisi kehidupan masyarakat Poso mulai kondusif. Namun, suasana kondusif tersebut kini mulai terkoyak kembali, menyusul terbunuhnya dua anggota Polri dan meledaknya bom di beberapa tempat di Kabupaten Poso baru-baru ini.
Akar Konflik
Konflik Poso pada dasarnya dipicu oleh beberapa faktor. Pertama, tidak berfungsinya nilai budaya pada masyarakat. Nilai budaya suku Pamona, yang disebut sintuwu maroso, kini telah mengalami degradasi sehingga kurang berfungsi lagi sebagai pedoman tingkah laku warga masyarakat. Nilai budaya suku pendatang awal ini mengandung tiga makna utama: hidup saling menghargai (tuwu mombetuwunaka), hidup saling menghidupi (tuwu mombepatuwu), dan hidup saling menolong (tuwu mombesungko).
Ketiga makna falsafah hidup situwu maroso tersebut seyogianya berfungsi sebagai pedoman tingkah laku orang Pamona dan masyarakat Poso lainnya. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan, falsafah hidup ini tak berfungsi lagi. Demikian pula nilai budaya suku bangsa lain (sedikit ada 32 suku bangsa) yang ada di kawasan ini juga cenderung tak lagi berfungsi.
Kedua, adanya kesenjangan etos kerja dan penguasaan sumber daya alam antara migran lama (orang Pamona) dan migran baru. Suku bangsa migran baru yang memiliki etos kerja tinggi sering diberi label memiliki sifat monopoli. Bahkan, tak jarang dipandang sebagai penjajah baru setelah Belanda meninggalkan wilayah Sulawesi Tengah. Fenomena sosial budaya seperti itu terjadi pada semua aspek kehidupan masyarakat. Kesenjangan ini menyebabkan kecemburuan sosial ekonomi di antara mereka, yang diam-diam menumbuhkan benih-benih konflik antara suku pendatang lama dan yang tergolong pendatang baru.
Ketiga, agama dijadikan sebagai kendaraan politik yang dikemas dengan simbol tertentu. Keempat, adanya kebiasaan mengonsumsi minuman keras dan pengaruh seni tradisi tari modero yang menyebabkan mabuk-mabukan di kalangan generasi muda. Kelima, kurang profesionalnya Polri menangani konflik dan sering terjadi salah tangkap (Sulaiman Mamar dkk, 2001).
”Anak-Anak Bebek”
Guna mengatasi konflik horizontal tersebut pemerintah telah menerapkan pendekatan keamanan, hukum, agama, dan budaya (rekonsiliasi secara adat). Namun, semua pendekatan itu gagal menghentikan konflik. Oleh karena itu, Menko Kesra Jusuf Kalla melalui stafnya, Dr Faried Husain, melakukan ”mediasi ulang-alik” kepada pihak Muslim di kota Poso dan pihak Kristiani di Tentena. Tujuannya untuk memperoleh aspirasi perdamaian dari kedua belah pihak.
Penerapan mediasi ulang alik ini berhasil mengajak beberapa tokoh Muslim dan Kristiani ke Makassar untuk dipertemukan dan mereka sepakat melakukan pertemuan lanjutan di Malino. Untuk itu, mereka diberi amanah mengajak tokoh-tokoh berpengaruh dari kedua belah pihak untuk melanjutkan pertemuan puncak di Malino. Pertemuan Malino yang melibatkan 25 orang Muslim, 23 orang Kristiani, 25 peninjau, dan 7 mediator itu akhirnya memang dapat mengakhiri konflik horizontal di Poso. Namun, yang terjadi belakangan, justru muncul konflik vertikal, melibatkan kelompok sipil bersenjata.
Puncak konflik Poso sudah 14 tahun berlalu, meninggalkan berbagai permasalahan bagi masyarakat Poso. Salah satu permasalahan pokok adalah generasi muda korban konflik yang kini rata-rata sudah berusia 20 tahun. Mereka belum dibina secara khusus dan belum memiliki pekerjaan tetap sehingga kepribadian sangat labil.
Menurut Bupati Poso Ingriawan, saat ini ada sekitar 1.000 pemuda korban konflik Poso. Mereka ini ibarat ”anak-anak bebek” lantaran gampang ”dihalau” oleh pihak lain dengan tujuan tertentu. Oleh karena itu, pemerintah perlu memberdayakan generasi muda tersebut dalam bentuk ekonomi produktif.Jika mereka hidup layak, sejahtera, dan rukun damai di tanah Poso, niscaya tak gampang dimanfaatkan oleh dan untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar