Kekuatan
Rakyat Dukung KPK
( Wawancara )
Usman Hamid ; Mantan Koordinator Kontras,
Saat ini aktif di Lembaga Gerakan Perubahan change.org
|
SUARA
KARYA, 13 Oktober 2012
Jumat (5/10) malam,
suasana Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terasa mencekam. Sejumlah
aparat kepolisian terlihat berkeliaran di halaman gedung lembaga anti-korupsi
tersebut. Aparat dari Polda Metro Jaya dan Polda Bengkulu ini berupaya
menjemput paksa penyidik kasus simulator SIM, Kompol Novel Baswedan.
Tetapi, upaya itu tidak
berjalan mulus, karena petugas KPK melarang Novel dijemput paksa, tetapi
polisi tetap bersikukuh.
Di tengah suasana
tegang, satu per satu orang-orang yang merasa perlu memberi dukungan kepada
KPK berdatangan di halaman KPK. Semakin malam jumlahnya semakin banyak,
hingga halaman dan lantai satu gedung bekas bank pailit itu terasa sesak.
Sulit untuk menunjuk koordinator gerakan massa pendukung KPK itu. Namun,
keberadaan sosok aktivis antikorupsi, Usman Hamid pada malam itu terasa
dominan. Lebih jauh wartawan Harian Umum Suara Karya Sugandi, Nefan
Kristiono, dan Annisa mewawancarai mantan Koordinator Kontras yang
saat ini aktif di lembaga gerakan perubahan Change.org ini.
Pendapat Anda soal
kuatnya dukungan masyarakat terhadap KPK?
Kita sudah berpengalaman
selama 15 tahun dalam membongkar praktik korupsi yang diwariskan oleh rezim
Orde Baru. Begitu juga korupsi peninggalan pemerintahan setelah reformasi.
Kita berkali-kali dijanjikan, berkali-kali pula dikhianati oleh elite
kekuasaan yang bermain-main dalam upaya membongkar korupsi di Indonesia. Itu
yang membuat dukungan terhadap KPK menguat.
Pidato Presiden SBY
terkait solusi perseteruan Polri-KPK mendapat pujian masyarakat. Menurut
Anda?
Masyarakat jangan
mudah merasa puas. Jangan pula mudah terlena dengan janji-janji yang selalu
disampaikan penguasa melalui pidato-pidatonya. Karena, pidato-pidato penguasa
hanyalah di permukaan, tetapi tidak ada bukti di lapangan. Masyarakat yang
merasa puas dengan pidato Presiden SBY adalah masyarakat yang memiliki ekspektasi
rendah.
Sebetulnya yang harus
dipuji bukanlah SBY, tetapi masyarakat. Sebab, presiden itu berbuat karena
adanya tekanan dari masyarakat. Kalau masyarakat tidak berbuat, Presiden SBY
tidak akan berbuat apa-apa atas meningkatnya eskalasi konflik KPK-Polri.
Dalam konflik
KPK-Polri, kapan kemarahan masyarakat itu mulai muncul?
Perlawanan polisi saat
dilakukannya penggeledahan di Korlantas, beberapa waktu lalu adalah salah
satu pemicu kemarahan masyarakat. Polisi tidak perlu merasa khawatir KPK
melakukan pembersihan di institusinya jika memang memiliki komitmen yang
tinggi untuk memberantas korupsi. Jadi, kalau polisi melakukan perlawanan
ketika barang bukti kasus simulator diambil KPK, itu menunjukkan bahwa Polri
khawatir akan terbongkarnya kasus-kasus korupsi lainnya yang ada di tubuh
mereka.
Kemudian dipicu lagi
dengan penarikan penyidik dari KPK, lalu dimunculkan wacana revisi UU KPK
oleh DPR yang melemahkan kewenangan penuntutan, penyadapan dan pembentukan
badan pengawas. Padahal, itu semua sebetulnya tidak perlu dilakukan.
Termasuk, di dalamnya soal upaya kriminalisasi terhadap penyidik.
Rentetan itu membuat
publik semakin marah dan geram. Buntutnya, mereka datang ke gedung KPK untuk
memberikan dukungan penuh terhadap lembaga itu, yang kemudian diikuti oleh
elemen masyarakat lainnya.
Apakah besarnya
dukungan masyarakat dapat mempengaruhi semangat KPK dalam memberantas
korupsi?
Ketika kekuatan rakyat
hadir, maka hukum akan tergantikan. Itu kemungkinan yang akan terjadi jika
penguasa terus-menerus bermain-main dengan membohongi rakyat. Banyaknya
masyarakat mendatangi gedung KPK pada Jumat malam lalu menjadi contoh kecil
bahwa hukum tergantikan. Kekuasaan pun tidak berjalan sebagaimana mestinya,
sehingga rakyat mengorganisir diri menunjukkan kekuatannya. Di situ rakyat
menjadi hukum, hanya kemudian diformalisir oleh pidato Presiden SBY dan sikap
DPR yang tiba-tiba menyetujui anggaran gedung baru KPK.
Artinya, pemberantasan
korupsi di Indonesia berada di tangan kekuatan rakyat?
Jelas, jiwanya ada di
kekuatan rakyat. Tapi, sayangnya, kekuasaan tidak merefleksikan jiwa kekuatan
rakyat. Sehingga, penguasa selalu tampil dalam keraguan, ketidakberanian,
kelemahan, dan kelambanan. Dan, menurut saya, kekuatan rakyat yang cepat,
kuat, berani itu muncul sehingga mengubah sikap kekuasaan dan wakil rakyat
untuk merespons satu persatu tuntutan kekuatan rakyat.
Apakah pidato Presiden
SBY dapat dikatakan sebagai sebuah solusi atas perseteruan KPK-Polri?
Bisa dikatakan solusi
karena Presiden SBY mengatakan bahwa penanganan kasus dugaan korupsi
Simulator SIM dilakukan oleh KPK. Tetapi, itu bukanlah hal baru, karena
selama ini itulah yang rakyat inginkan. Tetapi, ada kalimat terakhir dari
Presiden SBY yang mengatakan bahwa pengadaan barang ditangani oleh
kepolisian. Ini seolah-olah Presiden melakukan pemecahan kasus. Artinya, yang
kasus simulator ke KPK, yang pengadaan barang ke Polri.
Ini kan seperti
mengasumsikan bahwa kedua lembaga memang menginginkan pembagian itu. Padahal,
KPK bisa saja ke depan dalam penyelidikan simulatornya, berkembang sedemikian
rupa mengarah ke pengadaan barang, dan melibatkan keuangan negara yang jauh
lebih besar. Artinya, kalau di simulator SIM hanya Rp 98-200 miliar, tapi di
pengadaan barang dan PNBP, jumlahnya bisa mencapai triliunan rupiah.
Berarti isi pidato
Presiden SBY masih tidak tegas?
Ya! Seharusnya
Presiden SBY cukup mengatakan, "Saya minta kasus Simulator SIM
diserahkan ke KPK". Jadi, tidak usah disambung dengan kalimat
"sementara penanganan pengadaan barang dan jasa ditangani Polri".
Yang tampil bukan SBY
sebagai Presiden atau kepala negara dan kepala pemerintahan, tetapi sebagai
pribadi. Karena, dia berulang-ulang selalu mengatakan, 'Saya memediasi'.
Padahal, sesungguhnya tidak ada yang sedang berkonflik. KPK sedang
menjalankan hukum, tapi pelaksanaan hukum yang dilakukan KPK itu menjadi
terhalang oleh sikap resisten dari kepolisian.
Kepolisian kan berada
di bawah presiden langsung. Jadi, seharusnya, presiden menegur dengan sikap
resisten kepolisian itu. Kalau tidak mau ditegur, ya, copot saja. Begitu pula
soal menanggapi revisi UU KPK. Seharusnya Presiden SBY mengatakan,
"Seluruh partai pendukung saya minta untuk menarik RUU KPK."
Lalu soal Novel?
Presiden SBY mengatakan, penanganan kasus Novel, waktu dan penanganannya
tidak tepat. Itu saya setuju. Itu yang kita suarakan. Tapi, apa setelah itu?
Penanganannya apakah dihentikan atau dilanjutkan? Kalau dilanjutkan, apakah
harus polisi yang menangani atau Komnas HAM, atau kompolnas, atau
kedua-duanya?
Saat publik memuji
pidato Presiden SBY dan DPR menyetujui anggaran gedung baru KPK, apakah itu
berarti KPK sudah bisa "berlari"?
Lihat saja nanti,
pasti KPK masih diserang. Setelah pelemahan penuntutan, penyadapan, dan
pembentukan badan pengawas, bisa saja nanti diperlemah dengan mempersulit
proses penyelidikan dan penyidikan, mempersulit proses pemanggilan,
mempersulit dengan tidak bekerjasama untuk menyerahkan bukti atau lainnya.
Artinya, peluang untuk melemahkan KPK ke depan masih sangat luas.
Lalu, apa harapan Anda
terhadap KPK dalam upaya pemberantasan korupsi?
Yang jelas, pidato
Presiden SBY yang tidak tegas merupakan bagian dari kegamangan otoritas
pemegang kekuasaan dalam memberantas korupsi. KPK jangan menyia-nyiakan
harapan besar masyarakat dalam menangani kasus simulator SIM. Kalau masyarakat
berharap kasus Hambalang diungkap, KPK harus membongkarnya. Begitu juga
kasus-kasus lainnya, termasuk kasus simulator, sekalipun harus berhadapan
dengan jenderal. KPK jangan ragu-ragu karena kita selalu siap berada di
belakang KPK. Koruptor pun tidak merasa terancam dengan pidato Presiden SBY
tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar