Multifaktor
Agresivitas
Widiastuti Samekto ; Spesialis
Saraf, Dosen Program Pascasarjana
Fakultas
Kedokteran Undip
|
SUARA
MERDEKA, 13 Oktober 2012
SUNGGUH memprihatinkan melihat eskalasi
kasus tawur antarsiswa dan antarmahasiswa, belakangan ini. Bentrok
antarmahasiswa di kampus Universitas Negeri Makassar (UNM) menyebabkan dua
mahasiswa tewas (SM, 12/10/12). Sebelumnya, tawur antarsiswa SMA di Jakarta
juga menelan korban jiwa.
Terasa lebih memprihatinkan tatkala pelaku
tawur di Jakarta yang menewaskan korban mengaku puas tapi menyesal tatkala
ditanya Mendiknas M Nuh. Mengapa kejadian itu selalu berulang, dan tidak
adakah cara tepat untuk menghentikannya, tanpa memasung kedinamisan jiwa
remaja mereka?
Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa
riwayat paparan terhadap kekerasan bisa memengaruhi kondisi emosi dan
perilaku seseorang ke arah agresivitas (Scarpa, Luscher 2000). Perilaku
agresif secara umum bisa kita jumpai pada seseorang dengan reaktivitas
fisiologis yang meningkat.
Namun dalam kasus tertentu, agresivitas
bisa kita jumpai pada seseorang dengan reaktivitas fisiologis yang justru
menurun, atau bahkan tumpul. Yang termasuk tipikal ini adalah orang yang
terlihat ''jinak'' di mata banyak orang tetapi berubah menjadi sangat
berbahaya setelah dihadapkan pada perilaku menantang atau keadaan kacau.
Orang dengan tipe seperti itu bisa berubah menjadi agresif yang tak
terkendali karena sinyal hambatan di otak yang terlalu rendah (Hasting dkk
2007).
Melihat agresivitas di luar takaran,
sebagaimana kita lihat dalam tawur antarpelajar dan antarmahasiswa yang
menelan korban jiwa padahal pelaku terlihat ''biasa-biasa saja'', seyogianya
kita perlu membedah latar belakang kehidupan pelaku. Bagaimana tipe
kepribadian, situasi keluarga, kondisi sosial ekonomi keluarga dan
lingkungan, yang kait-mengait.
Tayangan televisi yang memperlihatkan
kekerasan akan mengaburkan batasan antara baik dan buruk buruk bila anak
menonton tanpa pendampingan yang memadai dari orang tua. Sangat dimungkinkan
ketidakhadiran orang tua karena sibuk bekerja, atau memang harus meninggalkan
anak terkait pekerjaannya. Realitas itu menakibatkan keminiman, bahkan
kenihilan sentuhan kasih sayang terhadap anak.
Keluarga broken home bisa menghadirkan
stressor berat terhadap anak. Contoh, seorang ayah yang berperilaku keras,
dan juga kasar, secara tidak langsung akan memberi contoh perilaku agresif
kepada anak. Perilaku itu bisa saja muncul karena si ayah mengalami tekanan
hidup yang berat.
Beban pendidikan di sekolah atau kampus
bisa saja menjadi beban berat bagi siswa atau mahasiswa. Semua tekanan bawah
sadar ini mudah sekali muncul ke permukaan hanya lewat pemicu kecil, dan akan
termanifestasikan dalam perilaku agresif yang menakutkan. Dalam kondisi itu
orang tua atau orang terdekat merasa heran bagaimana mungkin anak yang
sehari-hari terlihat baik dan santun berubah brutal atau agresif.
Seyogianya anak dibiasakan berperilaku
baik, dengan pengendalian diri yang baik pula melalui tuntunan orang tua.
Otak mempunyai kemampuan belajar dan berkembang, yang disebut neuroplasticity
atau plastisitas saraf. Otak akan mencatat dan mempelajari kebiasaan apapun,
dan dalam situasi yang relevan kebiasaan atau perilaku itu bisa kembali
dimunculkan.
Berbasis Keluarga
Orang tua atau guru bisa menularkan
kebiasaan atau perilaku baik dan penuh kasih sayang. Yang sangat jarang
disebut-sebut adalah orang bisa saja kekurangan nuansa rasa sayang atau
perhatian (care). Rasa itu hanya bisa diperoleh apabila ia dekat secara batin
dengan orang tua. Bila terpisah jauh secara fisik, rasa itu bisa dipupuk
lewat komunikasi intens, semisal lewat peranti telekomunikasi.
Dalam konteks ini, orang tua, keluarga,
sekolah, kelompok murid, organisasi, dan sebagainya dapat mengambil peran
masing-masing. Hal itu dengan mendasarkan dalil bahwa orang tua yang keras di
rumah akan memberi contoh perilaku keras bila si anak menghadapi keadaan
tertentu. Anak dalam satu kelompok pertemanan (peer group) juga bisa mendapat
contoh buruk bila ada figur dekat yang dominan berperilaku buruk.
Masalah yang terkait dengan cinta atau
kasih sayang memang harus dimulai dari keluarga, sejak anak masih kecil.
Manifestasi perilaku seseorang punya rangkaian lintasan impuls khusus yang
multikompleks di otak. Setelah melewati masa pendidikan atau pembelajaran,
yaitu sejak bayi, kanak-kanak, hingga dan remaja, lintasan impuls itu
menjadi pola yang terprogram.
Tak mudah menghilangkan kecenderungan tawur
antarsiswa dan antarmahasiswa mengingat banyak faktor penyebab yang
melingkupi, kait-mengait. Menjadi sia-sia bila masing-masing pihak saling
menghakimi. Akan lebih baik bila semua pihak introspeksi untuk merencanakan
sesuatu yang menghasilkan perubahan ke arah yang lebih baik.
Kita tidak bisa mencapai kondisi itu secara
instan. Sesuatu hal yang kompleks faktor penyebabnya pasti butuh waktu lebih
lama untuk menuju proses integrasi. Bagaimanapun, kita berharap ada perhatian
yang lebih serius dan konkret dari semua pihak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar