Komitmen
Menjaga Keutuhan
Da’i Bachtiar ; Mantan Kapolri, Utusan Khusus Presiden untuk Kerja
Sama Negara East ASEAN Growth Area (EAGA)
|
SUARA
MERDEKA, 29 Oktober 2012
MENGAPA pemuda-pemudi kita pada 28 Oktober
1928 merasa perlu menyatakan tekad membangun entitas baru yang bisa
menyatukan mereka, terkait dengan besarnya perbedaan antara satu dan yang
lain pada masa itu? Perenungan itu bisa mengantarkan pada jawaban bahwa waktu itu kondisi
lingkungan sosial politik tidak mendukung mengingat kita masih terjajah.
Terlebih, Belanda sebagai penjajah gencar melancarkan adu domba atau
memecah belah antarkomponen di Nusantara, yang lebih dikenal dengan politik devide et impera.
Kini, 84 tahun kemudian, minimal melewati satu generasi, kita bersyukur bisa menikmati kehidupan sebagai bangsa bermartabat dalam naungan NIKRI, sejajar terhadap bangsa-bangsa lain di dunia ini. Semua karunia yang kita nikmati hingga saat ini bukan take for granted melainkan harus diraih melalui perjuangan berat. Kita bisa merunut dari gangguan keamanan berupa keinginan memisahkan diri dari NKRI (separatisme), konflik bermotif SARA, hingga terorisme, narkotika, dan kejahatan transnasional yang lain. Sekalipun ancaman musuh dari luar tidak tampak, realitasnya tetap ada upaya melemahkan NKRI oleh pihak luar. Mereka memanfaatkan kondisi di negeri kita, dan bukan berdimensi menganeksasi wilayah melainkan menguasai sumber-sumber kekayaan alam dalam bidang perekonomian. Ada peristiwa bersejarah dan monumental, terkait dengan pembentukan embrio ''negara bangsa'', yaitu pengucapan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Ada baiknya kita merenungkan pernyataan mengenai ''bahasa yang satu'', yaitu Bahasa Indonesia, yang berbasis Bahasa Melayu. Bagaimana ada suku berpopulasi besar dan mempunyai bahasa sendiri, bersedia menerima Bahasa Indonesia sebagai ''bahasa yang satu''. Ada keterpanggilan, antara suku yang berpopulasi besar dan kecil, untuk ikhlas melebur menjadi ''bangsa yang satu''. Suku yang besar mau melebur menjadi satu bangsa. Dia bukan mendasarkan pada besarnya melainkan dengan kebesaran dan kerelaan yang lebih besar, serta rasa hormat kepada suku yang populasinya lebih kecil. Kita juga bisa berkaca dari sikap para tokoh pendiri bangsa ini tatkala menyusun dasar negara menjelang kemerdekaan. Sikap kelompok ataupun pemeluk agama yang berjumlah lebih besar (mayoritas), dengan kelegawaannya tidak memaksakan atas kemayoritasan mereka. Sebaliknya mereka memberi payung untuk kenyamanan kaum yang lebih kecil dan berbeda. Keikhlasan itu hingga keberterimaan dasar negara Pancasila tertuang dalam pembukaan dasar negara RI 1945. Transkrip preambul dasar negara saat ini bukanlah yang dulu, yang dikenal dengan nama Piagam Djakarta. Keberterimaan itu lebih mendasarkan atas kelegawaan para tokoh Islam untuk menerima perubahan transkrip mukadimah tersebut. Pertanyaannya adalah bila hingga saat ini kita mampu mengatasi semua gangguan, bahkan memulihkan ke kondisi seperti diharapkan, apakah ada jaminan gangguan itu tidak kembali muncul? Bercermin pada perjalanan bangsa ini, kita perlu selalu meningkatkan kewaspadaan agar peristiwa sejarah yang merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak kembali terulang. Negara Hukum Pengawalan keutuhan NKRI bisa berawal dari tataran konstitusional supaya seandainya ada rencana mengamendemen UUD 1945, tidak sampai mengubah esensi dari pokok-pokok pikiran dalam pembukaannya. Memang tak mudah tapi kita bisa menyandarkan pada empat pilar: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Garda terakhir ada pada Mahkamah Konstitusi (MK), dan para hakim punya peran sangat menentukan. DPR yang bertugas memilih hakim konstitusi pun harus benar-benar jernih, terbebas dari kepentingan, supaya bisa memilih figur yang tepat. Artinya, memilih sosok yang punya integritas terhadap NKRI, terbebas dari kepentingan politik golongan dan partai, Peran institusi negara, termasuk parpol dan para pemimpinnya, sangat menentukan dalam tataran operasional. Kita membutuhkan kesetiaan pemimpin di semua institusi negara, untuk tidak berkompromi terhadap upaya yang melemahkan, bahkan berisiko meruntuhkan NKRI dengan dalih apa pun. Dalam bahasa sederhana, NKRI menjadi harga mati. Kita bisa mencontohkan usaha pihak tertentu yang ingin mengungkit hasil pepera Irian Barat. Menghadapi sikap semacam itu, seluruh komponen bangsa harus teguh menegakkan prinsip bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukanlah negara kekuasaan (machstaat). Artinya, negara harus tampil lebih kuat ketimbang kekuatan kelompok apa pun yang ingin menekan kekuasaan negara. Pokok-pokok pikiran itu sangat bergantung pada orang-orang yang mendapat peran mengawal keutuhan NKRI. Sejatinya, rakyat bisa menjadi sumber kekuatan yang mampu mendorong pada kohesi negara bangsa, sebagaimana diikrarkan oleh pemuda-pemudi pada 28 Oktober, 84 tahun yang lalu. Karena itu, semangat Sumpah Pemuda tetap relevan sepanjang kita punya komitmen terhadap keutuhan NKRI. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar