Revolusi
Lambat pada Produksi Pangan
Bustanul Arifin ; Guru Besar Universitas Lampung, Anggota
Komite Inovasi Nasional
|
KOMPAS,
29 Oktober 2012
Jika tidak ada halangan
serius, awal November nanti Badan Pusat Statistik akan mengeluarkan angka
ramalan produksi pangan, setidaknya untuk padi, jagung, dan kedelai. Walaupun
BPS tidak secara reguler memutakhirkan data produksi gula dan daging sapi,
masyarakat akan mampu menilai apakah target swasembada untuk lima komoditas
pangan strategis itu tercapai atau tidak.
Target
swasembada jagung mungkin dapat tercapai karena struktur permintaan dan
insentif harga dari industri pakan ternak yang relatif lebih baik. Akses
benih unggul dan hibrida oleh petani relatif lebih mudah karena gencarnya
sektor swasta dalam melakukan pemasaran benih jagung bersertifikat tersebut.
Swasembada kedelai hampir pasti tidak akan tercapai karena sistem insentif
dalam produksi kedelai telanjur rusak selama dua dasawarsa terakhir.
Swasembada gula juga masih jauh dari harapan karena sistem usaha tani di hulu
dan manajemen produksi di hilir yang tidak sepadan antara tebu rakyat,
perkebunan swasta besar, dan badan usaha milik negara. Swasembada daging sapi
mungkin dapat tercapai apabila sistem insentif penggemukan sapi benar-benar
dilaksanakan dan kebijakan perdagangan impor cukup konsisten.
Salah
satu penjelasan di balik lambatnya peningkatan produksi dan produktivitas
pangan strategis itu karena sekian macam
Di
tengah rasa frustrasi seperti itu, produk rekayasa genetika tanaman pangan
atau yang dikenal dengan tanaman transformasi genetika (transgenik) tiba-tiba
masuk ke ranah diskusi publik. Masyarakat awam pun membahasnya secara
intensif walaupun informasi yang disajikan para ilmuwan dan birokrasi
pemerintah masih sangat minim. Esensinya, produk rekayasa genetika
seakan-akan dianggap sebagai harapan baru untuk meningkatkan kapasitas
produksi pangan di Tanah Air. Dalam literatur ekonomi pembangunan pertanian,
produk pangan transgenik atau genetically modified organism sering disebut
sebagai Revolusi Hijau Generasi Kedua, untuk membedakan dengan fenomena
Revolusi Hijau setengah abad lalu.
Pada
Revolusi Hijau Generasi Pertama telah terjadi kerja sama yang cukup rapi
antara ilmuwan (peneliti), dunia usaha, dan pemerintah untuk mengembangkan
dan mengaplikasikan teknologi biologi-kimiawi pada
Di
Indonesia, fenomena Revolusi Hijau bersamaan dengan program besar yang
dikenal dengan Bimas dan Inmas yang dikembangkan pada masa Presiden Soekarno
serta Insus dan Opsus yang dicanangkan pada masa Presiden Soeharto.
Swasembada beras pada masa lalu itu merupakan salah satu contoh keberhasilan
Triple Helix dalam mewujudkan kerja sama yang sinergis guna meningkatkan
produksi pangan.
Pada
Revolusi Hijau Generasi Kedua, dengan tumpuan bioteknologi pertanian, arena
pengembangan kapasitas produksi pangan wajib melibatkan masyarakat, terutama
petani yang merupakan stakeholder penting dalam ekonomi pangan. Falsafah
Quadruple Helix, governansi kelembagaan ABGC (academics, business,
government, and civil society), perlu menjadi pilar utama dalam Revolusi
Hijau Generasi Kedua. Langkah governansi kebijakan tidaklah harus diartikan
bahwa setiap jengkal perumusan kebijakan pangan harus dilakukan melalui
voting, tetapi bahwa
Rekomendasi
oleh Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika bahwa jagung varietas RR
NK603 dan jagung Bt Mon89034 aman untuk konsumsi pakan akan menimbulkan
pertanyaan di dalam masyarakat. Bukan hanya karena dua varietas jagung
tersebut dihasilkan oleh perusahaan multinasional, melainkan juga
kekhawatiran ketergantungan petani pada benih, produk ikutan, pupuk, bahkan
pestisida dapat mengancam kedaulatan pangan, sebagaimana dimandatkan dalam
Undang-Undang Pangan baru yang disahkan pada 18 Oktober 2012.
Singkatnya,
peningkatan kapasitas produksi pangan memang penting. Hal itu tidak hanya
untuk mencapai kepentingan birokrasi pencapaian swasembada, tetapi juga untuk
menjawab tantangan masa depan yang pasti lebih kompleks.
Semua
komponen Quadruple Helix harus sering berjumpa, berdialog, dan mencari
kesepahaman, bukan menjadi lapisan elite yang tidak dapat menerima kritik.
Kualitas governansi, keterbukaan informasi, dan keterlibatan masyarakat
menjadi salah satu kunci keberhasilan (dan kegagalan) masa depan pangan
transgenik di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar