Senin, 29 Oktober 2012

Revolusi Lambat pada Produksi Pangan


Revolusi Lambat pada Produksi Pangan
Bustanul Arifin ;  Guru Besar Universitas Lampung, Anggota Komite Inovasi Nasional
KOMPAS, 29 Oktober 2012
  

Jika tidak ada halangan serius, awal November nanti Badan Pusat Statistik akan mengeluarkan angka ramalan produksi pangan, setidaknya untuk padi, jagung, dan kedelai. Walaupun BPS tidak secara reguler memutakhirkan data produksi gula dan daging sapi, masyarakat akan mampu menilai apakah target swasembada untuk lima komoditas pangan strategis itu tercapai atau tidak.
Target swasembada jagung mungkin dapat tercapai karena struktur permintaan dan insentif harga dari industri pakan ternak yang relatif lebih baik. Akses benih unggul dan hibrida oleh petani relatif lebih mudah karena gencarnya sektor swasta dalam melakukan pemasaran benih jagung bersertifikat tersebut. Swasembada kedelai hampir pasti tidak akan tercapai karena sistem insentif dalam produksi kedelai telanjur rusak selama dua dasawarsa terakhir. Swasembada gula juga masih jauh dari harapan karena sistem usaha tani di hulu dan manajemen produksi di hilir yang tidak sepadan antara tebu rakyat, perkebunan swasta besar, dan badan usaha milik negara. Swasembada daging sapi mungkin dapat tercapai apabila sistem insentif penggemukan sapi benar-benar dilaksanakan dan kebijakan perdagangan impor cukup konsisten.
Salah satu penjelasan di balik lambatnya peningkatan produksi dan produktivitas pangan strategis itu karena sekian macam program dan kebijakan yang dikembangkan belum berhasil meningkatkan kapasitas produksi pangan. Konsistensi kebijakan pemerintah untuk mencetak sawah baru, memelihara saluran irigasi, mengelola saluran air, menanggulangi hama dan penyakit tanaman, dan lain-lain ternyata kalah cepat dengan hilangnya kapasitas produksi pangan, baik karena konversi lahan maupun karena penurunan kapasitas produksi itu sendiri.
Di tengah rasa frustrasi seperti itu, produk rekayasa genetika tanaman pangan atau yang dikenal dengan tanaman transformasi genetika (transgenik) tiba-tiba masuk ke ranah diskusi publik. Masyarakat awam pun membahasnya secara intensif walaupun informasi yang disajikan para ilmuwan dan birokrasi pemerintah masih sangat minim. Esensinya, produk rekayasa genetika seakan-akan dianggap sebagai harapan baru untuk meningkatkan kapasitas produksi pangan di Tanah Air. Dalam literatur ekonomi pembangunan pertanian, produk pangan transgenik atau genetically modified organism sering disebut sebagai Revolusi Hijau Generasi Kedua, untuk membedakan dengan fenomena Revolusi Hijau setengah abad lalu.
Pada Revolusi Hijau Generasi Pertama telah terjadi kerja sama yang cukup rapi antara ilmuwan (peneliti), dunia usaha, dan pemerintah untuk mengembangkan dan mengaplikasikan teknologi biologi-kimiawi pada pangan berbasis biji-bijian. Kerja sama tiga pihak, ilmuwan, swasta, dan pemerintah, sering dinamakan Triple Helix, untuk menunjukkan keberhasilan kerja sama yang menghasilkan peningkatan produktivitas pangan biji-bijian, terutama gandum, beras, jagung, dan kedelai.
Di Indonesia, fenomena Revolusi Hijau bersamaan dengan program besar yang dikenal dengan Bimas dan Inmas yang dikembangkan pada masa Presiden Soekarno serta Insus dan Opsus yang dicanangkan pada masa Presiden Soeharto. Swasembada beras pada masa lalu itu merupakan salah satu contoh keberhasilan Triple Helix dalam mewujudkan kerja sama yang sinergis guna meningkatkan produksi pangan.
Pada Revolusi Hijau Generasi Kedua, dengan tumpuan bioteknologi pertanian, arena pengembangan kapasitas produksi pangan wajib melibatkan masyarakat, terutama petani yang merupakan stakeholder penting dalam ekonomi pangan. Falsafah Quadruple Helix, governansi kelembagaan ABGC (academics, business, government, and civil society), perlu menjadi pilar utama dalam Revolusi Hijau Generasi Kedua. Langkah governansi kebijakan tidaklah harus diartikan bahwa setiap jengkal perumusan kebijakan pangan harus dilakukan melalui voting, tetapi bahwa pemerintah dan dunia usaha wajib memberikan informasi yang terbuka terhadap produk transgenik yang telanjur beredar di pasaran.
Rekomendasi oleh Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika bahwa jagung varietas RR NK603 dan jagung Bt Mon89034 aman untuk konsumsi pakan akan menimbulkan pertanyaan di dalam masyarakat. Bukan hanya karena dua varietas jagung tersebut dihasilkan oleh perusahaan multinasional, melainkan juga kekhawatiran ketergantungan petani pada benih, produk ikutan, pupuk, bahkan pestisida dapat mengancam kedaulatan pangan, sebagaimana dimandatkan dalam Undang-Undang Pangan baru yang disahkan pada 18 Oktober 2012.
Singkatnya, peningkatan kapasitas produksi pangan memang penting. Hal itu tidak hanya untuk mencapai kepentingan birokrasi pencapaian swasembada, tetapi juga untuk menjawab tantangan masa depan yang pasti lebih kompleks.
Semua komponen Quadruple Helix harus sering berjumpa, berdialog, dan mencari kesepahaman, bukan menjadi lapisan elite yang tidak dapat menerima kritik. Kualitas governansi, keterbukaan informasi, dan keterlibatan masyarakat menjadi salah satu kunci keberhasilan (dan kegagalan) masa depan pangan transgenik di Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar